Share

Bab 3 : Karena saya Yakin, Semuanya akan Baik-Baik Saja

Pagi sekali, sekitar pukul enam. Dari dalam kamarnya Anisa sudah tidak lagi melihat Satria yang tidur terlelap disampingnya. Kemudian setelah mencuci muka dan mengosok gigi, Anisa beringsut turun dari lantai dua. Dari atas tangga, Anisa bisa mendengar suara bising dari arah dapur

Begitu dia melongok kesana, bibirnya terukir sempurna, hanya karena sosok suaminya yang terlihat sedang berkutik dengan alat dapur.

Melihat Satria yang sibuk di depan kompor, selalu membuat Anisa terpana. Laki-laki itu selain bisa menyayanginya bisa juga memanjakannya melalui masakan. Pernah waktu mereka belum menikah Satria mengatakan seperti ini “Gak masalah kok, kalo nanti istri aku gak bisa masak, karena aku yang akan masakin dia setiap pagi.”  Tapi kenyataannya malah Satria ditakdirkan untuk mempunyai istri yang handal dalam urusan memasak.

Tapi hal itu tidak selalu membuat Satria bermalas-malasan, tetap saja laki-laki itu akan mengambil alih tugas Anisa untuk menyiapkan makanan sarapan pagi. Anisa selalu curiga, jika Satria orangnya memang segabut itu, tapi nyatanya tidak. Satria laki-laki yang romantis

Tanpa suara yang akan mengusik kegiatan Satria, Anisa begitu saja duduk di kursi meja makan. Menatap dengan secarik senyum yang mengembang, padahal hanya punggung yang dilihatnya, jangan salah. Bagi Anisa punggung Satria juga berupa, malah lebih ganteng dari laki-laki manapun.

“Sejak kapan kamu disitu?” begitu saat Satria berbalik badan, niatnya hanya untuk mengambil satu helai tissue, malah matanya melihat Anisa yang sudah duduk manis diatas kursi

“Baru aja, kok.”

“Apa aku ganggu kamu tidur?”

Anisa mengangguk, seraya terkekeh ringan “Kamu gak ada disamping aku, buat aku gak bisa tidur nyenyak.”

Satria merasa terpana dengan perkataan itu. Hatinya terasa meleleh begitu saja dilantai.

“Maaf, aku inget kalo kamu bangun pasti butuh asupan.”

Anisa tergelak “Kamu juga pasti butuhkan? Sini aku bantuin.”

Baru saja Anisa bangkit dari duduknya, belum melangkahkan kakinya satu langkah saja, Satria sudah menyuruhnya untuk tetap diam disana

“Gak,gakk! Kamu diem disana. Biar ini jadi urusan aku.”

“Kok gitu sih?”

“Pokoknya kamu diem, gak usah bergerak sedikit pun!”

Anisa pasrah, jadi dia duduk lagi dikursinya. Kini dia hanya bisa melihat pergerakan Satria yang sedang menuangkan makanan ke dalam piring

“Makan yang banyak ya, istriku,” katanya merayu, seraya dengan sodoran satu piring sup ayam yang terlihat sangat menggugah selera, dengan potongan daun seledri yang memperalus hidangan

“Kamu juga dong, suamiku,” Anisa menyentuh rahang suaminya gemas. Meski sudah sama-sama menginjak masa tua, tetap saja jika keadaan sedang berdua seperti ini, rasanya dunia mereka masih sangat remaja

“Kamu berangkat jam berapa hari ini?” menyuapkan satu sendok sup tanpa nasi ke dalam mulutnya, Anisa tetap fokus melihat ke arah suaminya, menuntut jawaban

“Kaya biasanya. Tapi pulangnya rada malem, gak pa-pa ya?”

Anisa tertawa ringan “Gak pa-pa apanya, aku bukan anak kecil kali.”

Satria hanya tertawa, sebab kemudian mulutnya buru-buru ia masukan satu sendok sup buatannya, lalu setelah tertelan, wajah yang tampak manis itu, menukik “Kayanya rada asin.”

“Asin apanya, ini udah pas.”

“Masa? Tapi menurutku keasinan nih.”

“Nggak kok, aku aman-aman aja.”

Kadang urusan selera, Satria dan Anisa memiliki perbedaan. Seperti sekarang ini contohnya

“Aku gak bisa makan kalo gini,” Satria menyingirkan mangkuknya, dia memilih mellihat Anisa makan saja, itu sudah lebih cukup baginya

“Mau aku bikinin sereal aja,mas, roti gitu?”

Satria menggeleng “Nggak ah. Nanti kamu cape.”

“Mas—“

Satria kicep, saat mendapati pelototan dari istrinya. Kemudian setelah itu yang hanya Satria lakukan hanya mengangguk menurut

“Sereal aja, babe.”

Anisa mengangguk. Baru setelah itu tangannya terulur menuangkan sereal dalam box kemasannya ke dalam mangkuk, tak lupa membanjur sereal utuh itu dengan susu

“Nanti aku masakin buat makan siang ya?” Anisa bersuara saat meletakan satu mangkuk sereal buatannya ke depan Satria, yang langsung dibalas dengan respon tangan suaminya

“Boleh. Yang simple aja.”

“Yang simple tuh yang kaya gimana? Tempe goreng mau?”

“Ya, nggak gitu juga kali Nis.”

“Kamu sih, banyak nawar.” Anisa terkekeh setelahnya. Entahlah bagi Anisa itu kedengarannya sebuah perilaku manis dari Satria, laki-laki itu tidak banyak menuntut apapun tentang masakannya. Kadang Satria malah meminta untuk di masakin telur rebus saja, padahal Anisa ingin masak berupa yang lain. Masakan westren misalkan

“Aku bilang terserah kamu malah bingung sendiri, bilang aku harus jawab yang jelas. Sekarang aku minta yang simple kamu malah marah.”

Kadang untuk menjadi suami bagi Anisa, Satria merasa serba salah. Serba salah dalam artian macam ini contohnya.

“Aku gak marah.”

“Tadi ngotot gitu ngomongnya. Kalo gak marah apa namanya?”

“Biasa aja itu. Kamu doang yang mikir ke sana.”

Demi apapun, pagi mereka pasti selalu di awali pedebatan ringan seperti ini. Wajar saja, pernikahan mereka belum dikaruniai keturunan, jadi ya, kegiatan selain merecoki satu sama lain, apa lagi? tapi Satria maupun Anisa sangat menikmati suasana yang mereka buat entah suasana yang seperti apapun itu.

***

Sudah hampir pukul tujuh, dan pak Rahmat selaku supir pridadinya Satria sudah menunggu di depan. Tapi majikannya ini belum juga siap.

Anisa sedang menyiapkan pakaian suaminya. Bagi keduanya berjodoh bukan hanya tentang kecocokan sifat dan takdir, tapi juga kecocokan dalam selera busana. Satria selalu baik-baik saja saat dipilihkan baju oleh Anisa, sebab seleranya sama-sama saja.

“Nis?” wajah Satria terlihat kebingungan

Anisa menoleh “Handuk aku dimana,ya? Kok gak ada ditempatnya?”

“Tadi kamu pake pagi-pagi kan?”

“Iya, tapi seingetku disimpen lagi ditempatnya kok.”

Anisa menghela napasnya, bukan karena marah atau sedang kesal. Dia hanya sedang mewajari sikap Satria yang pelupa dengan barangnya padahal dia sendiri yang meletakannya.

“Ini apa?”

“Kok bisa ada di situ sih.”

“Mana aku tahu,” Anisa membawa handuk itu yang semula tergeletak di atas kursi rias miliknya. Dengan senyum jumawanya Satria menerima handuk itu

“Makasih,” katanya dengan wajah congaknya

“Kayanya kamar ini harus dipasang CCTV deh,mas.”

“Lho, kamu pengennya kok serem.”

“Biar kamu bisa lihat sendiri gerak gerik nyimpen barang kamu.” Kakinya beringsut dari hadapan Satria, kembali memilih pakaian untuk suaminya

“Buruan, jangan ngonser dulu. Pak Rahmat udah nungguin di bawah.”

“IYA.”

***

“Pak, nanti sekitar jam sebelasan ke sini ya, jemput saya.”

Pak Rahmat mengangguk, dia sangat hafal betul, jika majikannya ini kerap sekali meminta ini.

“Ini untuk sarapan bapak,” Anisa menyodorkan satu kantung makanan, pak Rahmat menerimanya meski sungkan “Makasih bu.”

“Sama-sama.”

Seiring dengan suara Anisa yang padam, suara langkah kaki Satria mengudara. “Aku berangkat dulu. Kamu baik-baik dirumah, kalo ada masalah, telpon aku langsung.”

Jika boleh jujur, Anisa sudah bosan mendengar kata yang selalu sama, saat Satria hendak akan pergi bekerja. Meski bosan, tetap Anisa akan mematuhinya, karena dosa bagi seorang istri membangkang perkataan suaminya

“Iya.”

“Yaudah aku pergi sekarang,ya.” Seperti biasa, Satria mencium kening Anisa. Rasanya ingin berlama-lama, tapi waktu seakan tidak mengizinkannya, ini yang Satria tidak suka. Waktu kadang jahat telah memonopoli waktunya untuk bersama Anisa

Tubuh suaminya yang tampan, dengan setelan jas, apalagi posisinya sebagai CEO. Membuat Anisa tidak ingin lepas memandanginya, meski gagahnya Satria sudah hilang dibalik pintu mobil, Anisa seolah enggan mengalihkan retinanya dari lembah surganya. Sampai mobil berwana hitam itu menjauh, dan lenyap dibalik belokan.

Barulah setelah itu, dirinya membiarkan tubuhnya hilang dibalik pintu besar rumahnya.

PRANK!

Anisa berjengit, saat setibanya di dalam rumahnya, dia disambut oleh sebuah foto figura yang terjatuh di atas dinding. Padahal tidak ada hal yang membuatnya terjatuh

Dengan gerak biasa, Anisa membersihkan foto figura itu. Dia melihat jika figura yang jatuh itu, foto pernikahannya. Mendadak perasaanya tidak enak

“Kenapa bu?”

Suara Yati – asisten rumah tangganya membuat Anisa menoleh “Tolong kamu bersihkan ini ya.”

Yati mengangguk, kemudian badannya membungkuk memunguti pecahan beling itu. Sementara Anisa larut dalam pikirannya yang mulai memikirkan sesuatu hal-hal buruk.

***

Di depan cermin, Fahmi melihat pahatan indah yang ada pada dirinya melalui pantulan cermin itu. Tak lama, sang istri memberikannya satu buah jam tangan mewah, yang kalau dihitung harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah

Sang istri –Anya ikut menatap pantulan suaminya, hingga mulutnya bersuara “Mas, kamu gak mau coba buat ambil alih perusahaan?” kata itu mampu membuat Fahmi menoleh cepat

“Kamu pikir mudah?”

Yang hanya dibalas oleh helaan napas kasar Anya “Ibu lagi mempersalahkan Satria kan, karena sampai sekarang belum punya anak. Nah, kamu sudah punya tiga, harusnya bisa bujuk ibu.”

Fahmi diam tidak merespon, tapi ketahuilah keterdiaman itu hanya nampak dari luar saja, akan tetapi dari dalam hatinya bersuara seperti ini “Kalo aku bukan anak adopsi, pasti sudah bisa jadi pewaris utama.”

“Hidup kita sudah enak bukan, walau aku cuman jadi bawahannya saja? Kamu gak perlu punya ambisi lain-lain lagi, nikmati saja hidup yang ada.”

Kemudian tubuh bongsor itu berlalu, keluar dari kamar. Anya mengikuti dari belakang tentu saja, seraya membawa tas kerja milik Fahmi

“Mamaaa.”

Anya menoleh, hanya untuk mendapati wajah putrinya yang beler “Kamu kok belum mandi?”

“Gak mau mandi,” keluhnya

“Kok gitu? Cepet, nanti sekolahnya telat lho!”

“Mau sama mama.”

“Iya bentar, mama lihat papa dulu ke depan,ya?”

Sang putri Zidnia, mengangguk. Yang dia lakukan hanya bisa menatap punggung mamanya yang mulai menjauh. Kehidupan Anya, memang dipenuhi urusan rumah, kadang saja Anya jarang memiliki waktu bersama Fahmi. Meski ada asisten yang membantu, tetap saja kehadiran Anya selalu dibutuhkan oleh suami maupun anak-anaknya.

“Mas, nanti aku anterin kamu makan siang,ya ke kantor,” seraya menyodorkan tas kerjanya, Anya menawari

“Kamu gak sibuk?”

Ibu tiga orang anak itu menggeleng “Nggak kok, anak-anak hari ini mau main sama oma katanya. Jadi,ya ini kesempatan aku buat jamu kamu,iya kan?’

Fahmi tergelak “Bisa aja. Telpon aku dulu kalo mau ke sana. Kalo gak bisa gak usah dipaksain.”

Fahmi tahu, jika seorang Anya bukan lagi seorang istrinya yang utuh, tapi juga sebagai seorang ibu yang selalu siap siaga mendidik dan merawat anaknya, jadi Fahmi mewajari, jika waktu untuknya hanya sedikit. Karena baginya anak-anak lebih penting ketimbang urusan pribadinya.

NEXT

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status