Share

Bab 2 Pernyataan Ibu begitu menyakitkan

Dalam ruangan serba putih, disinilah Anisa dan Satria berada, melihat bagaimana sang ibu yang entah hanya perasaan keduanya saja atau memang begitu adanya. Jika Ratna sedang menatap kedua insan itu dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.

“Sudah sepuluh tahu ya, pernikahan kalian?”

Satria maupun Anisa mengangguk, dengan ukiran senyuman yang terlontar

“Jadi kapan kalian mau kasih ibu cucu?”

Pertanyaan itu, sukses membuat Anisa bergetar. Hatinya mendadak berdegup kencang, apalagi aura yang dipancarkan sang ibu mertua malah mampu menujukannya ke dalam ruangan yang penuh adrenalin

“Itu bukan pertanyaan yang bisa Satria jawab bu,” suaminya menjawab, dengan bahasa yang lembut seperti biasa, kemudian kepalanya menoleh pada Anisa, lalu bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis. Satria tahu, jika istrinya itu sedang menyimpan begitu banyak ketakutan

“Kenapa?karena itu urusan tuhan? Kalo begitu kenapa kakak kamu yang baru saja menikah 2 bulan, sudah bisa hamil?”

“Takdir orang itu beda-beda. Satria sama Anisa disini juga sudah berusaha, tapi tuhan selalu kasih jalan lain.”

Yang Anisa lakukan hanya menunduk, menghela napasnya dalam-dalam. Memang pada hakikatnya seorang perempuan harus mampu mengandung, dan memberi suaminya sebuah keturunan, tapi sampai sekarang dia belum mampu, jadi wajar jika Anisa merasa tertekan

“Alah, itu alasan kamu aja! Anisa kamu yakin, kamu gak punya kelainan?”

Anisa mendongak, dengan bibir yang bergetar, bahkan air matanya hampir saja tumpah. Jika saja suaminya tidak menjawab membelanya

“Apa maksud ibu? Anisa sehat-sehat aja.”

“Ibu curiga Anisa mandul.”

Kini Satria yang membuang napasnya kasar, Satria tahu jika wanita yang sekarang dihadapannya ini adalah ibunya, yang merawat dan mengandungnya, tapi mendengar wanita itu mengatakan hal yang tidak sepaptutnya dilontarkan kepada wanita yang berada disampingnya, Satria cukup marah.

“Bu, bicara apaan sih!”

“Ya, buktinya sampai sekarang Anisa belum juga hamil.”

“Kamu tuh yang sadar Satria. Kamu ini pemimpin perusahaan bapak, harus punya keturunan. Mau ditaruh mana muka ibu, kalo anaknya ini gak punya keturunan?!”

Kini, air mata yang sempat tadi Anisa tahan mati-matian, tumpah begitu saja, membanjiri pipinya yang mulus dan bersih, perkataan ibunya sangat-sangat menghujam ulu hatinya, sampai-sampai Anisa tidak tahu lagi caranya bernafas dengan benar itu seperti apa

“Kamu juga tahu, wasiat bapakmu apa sebelum meninggal? Tahta yang kamu pengang harus turun sama anak kamu. Gak bisa dikasih sama saudara yang lain! Pikirkan baik-baik tentang itu!”

Beriringan dengan Ratna yang beringsut, dari hadapan Anisa dan Satria. Tangis Anisa begitu saja pecah, dalam ruangan ini. Satria tidak tega melihat wanitanya menangis tersedu-sedu, sumpah demi apapun! Melihat Anisa menangis adalah bencana besar lebih dari apapun.

“Kamu yang tenang dulu,” Satria memeluk istrinya begitu hangat dan erat, seolah berharap dari hangat dan eratnya itu bisa mampu membuat tangis istrinya mereda.

“Jangan terlalu dipikirin,ya. Semua bakal baik-baik aja, kok. Aku yakin,” seiring suara lembut yang mengudara, sentuhan halus pada rambutnya juga terasa. Namun hal itu tidak begitu saja mensudahi tangis Anisa, biarkan saja, air matanya membasahi kemeja Satria, dirinya sudah tidak sanggup menahan semuanya.

***

“Dari dulu abang sudah bilang. Buat kamu pernikahan itu bukan Cuma perkara menyatukan dua manusia yang saling cinta, tapi ujung-ujung ke masalah perusahaan juga kan?”

Laki-laki yang berada dua tahun lebih tua dari Satria itu bersuara, tepat dibawah sinar matahari yang menyinari balkon rumah ibunya.

Perkataan Fahmi, memang benar adanya. Lalu Satria merasa bersalah, kepada apapun itu. Tapi tidak kepada Anisa, karena memutuskan untuk hidup bersama  Anisa bukan kesalahan baginya.

“Ibu aja yang terlalu gegabah, bukan gitu bang? Aku sama Anisa masih sama-sama muda, jalan kita masih panjang.”

Fahmi tersenyum tipis mendengar itu dari adiknya “Sepuluh tahun harusnya cukup, Satria.”

Satria menghela napasnya berat, memang Satria juga tidak sedih? Jelas dia yang lebih sedih dan khawatir daripada semuanya disini. Tapi bagi Satria, daripada memastikan apa yang bukan tugasnya, hal itu malah akan menyakitinya secara perlahan, jadi Satria memilih untuk bersikap tidak terlalu memikirkan, yang terpenting dia bisa bahagia bersama Anisa

“Kamu ini bibit penerus, harusnya gak melulu mikirin soal bahagia kamu aja sama Anisa. Hidup kamu itu sejauh manapun pasti selalu akan terikat dengan perusahaan.”

“Aku tahu,bang.”

“Kalo tahu, kenapa kamu gak berusaha?”

“Jadi abang juga sama kaya ibu?”

“Jelas dong. Kamu juga pasti kalo diposisi abang, ya bakal begini.”

Satria hanya membuang napasnya, merasa jika sekarang disini tidak ada satupun lagi yang bisa ia ajak berbicara. Semuanya pasti akan menyangkal. Mereka semua terlalu memikirkan masa depan perusahaan, padahal ada yang lebih penting dari itu.

“Sekarang periksa dulu aja, siapa tahu Anisa betulan yang dikatakan ibu.”

“Bang. Gak mungkin. Ini cuman sekedar waktu.”

“Waktu, waktu,waktu. Itu aja yang kamu pikirin. Emang butuh berapa lama lagi, mau sampe perusahaan keluarga bangkrut?”

Satria diam, mendadak lidahnya kelu. Lantas apa yang harus ia perbuat lagi. semua keluarganya mendesak untuk dia segera mempunyai keturunan, Satria mau saja berusaha, tapi Satria tidak yakin akan berhasil dengan waktu yang cepat.

“Kalo Anisa beneran mandul, kamu harus bertindak, untuk nikah lagi.”

“Apa?!”

Rentetan kata dari kakanya bagaikan peluru yang menghujam hatinya, bedanya ini malah berefek emosi yang menjalar, bagaimana bisa Fahmi berbicara enteng seperti itu

“Sampe kapanpun, saya gak akan pernah menikah lagi. istri saya cukup Anisa!”

Fahmi mendengus, dia tahu jika Satria sudah menggunakan bahasa saya, itu artinya dia sedang marah.

***

Dalam ruangan yang remang akan cahaya, Anisa meratapi kesedihannya. Ternyata hal yang ditakutinya selama ini terjadi begitu saja. Tanpa ia duga akan mengancurkannya perlahan-lahan.

Pintu kamarnya terbuka, menampakan Satria dengan wajah sedihnya. Sejujurnya Anisa enggan seperti ini, dia tahu ini akan berakibat juga kepada suaminya

“Kamu masih mikirin, kata ibu?”

Anisa menghapus jejak air matanya, tubuhnya yang semula diam, kini sedikit bergerak seiring tubuh Satria mendarat dikasur kamarnya.

“Gimana aku gak mikirin,mas. Jelas itu masalah yang penting banget.”

“Dengerin aku,” Satria membawa sang istri untuk menatap matanya, setelah kedua manik mata Anisa beradu dengan manik miliknya, Satria mengulum senyum. Sampai kapan pun Satria akan selalu tersenyum menenangkan seperti itu, Anisa tahu, itu bertujuan untuk membuatnya merasa lega

“Mereka semua Cuman terburu-buru, padahal waktu masih panjang. Kita masih bisa terus berusaha dan berdoa.”

“Gimana kalo bener apa yang dikatakan ibu, kamu mau apa,mas?”

Untuk saat ini, Satria meluruhkan senyumannya. Dari situ jelas, jika Satria sudah tidak bisa merasa baik-baik saja

“Omongan manusia itu gak ada yang benar kalo menyangkut paut tentang takdir. Kamu tahukan? Ini bukan tugas aku atau kamu, tapi tugas tuhan, mungkin tuhan mau kita bersabar lebih banyak lagi, sampai waktunya tiba tuhan percaya, kalo kita sama-sama sudah bisa menjaga titipannya.”

“Aku takut, kalo pada akhirnya ibu kamu, abang kamu. Akan nyuruh kamu nikah lagi, cuman itu yang aku pikirin,mas.”

“Syuutt, jangan bilang seperti itu,” kini Satria membawa terkasihnya ke dalam muara cintanya. Mengatakan kalimat, seolah perkataan Anisa tidak mungkin akan terjadi, meski Satria sendiri sama mempunyai pemikiran seperti itu, apalagi dia sudah mendengar langsung kalimat laknat itu dari abangnya tadi siang.

“Kamu tahu sendiri, kalo aku sangat mencintai kamu. Aku gak mungkin ninggalin kamu begitu aja. Aku gak peduli sama semuanya, karena yang aku pengen adalah kamu. Kamu adalah masa depanku, sampai kapanpun akan selalu seperti itu.”

Sesudah suara Satria mereda, Anisa masih saja diam dipelukannya, Satria tahu, jika Anisa sedang benar-benar rapuh, jadi yang harus dia lakukan adalah, meyakinkan kembali istrinya untuk tidak memikirkan yang macam-macam

“Kamu dengerkan?”

Anisa mengangguk, Satria kini bisa tersenyum lagi. menciumi pucuk kepala Anisa dengan lembut.

NEXT

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status