"Selamat Kanaya, kamu dinyatakan lolos seleksi Ibu pengganti."
Dokter Indra Wibisono, seorang Dokter endokrin dan fertilitas menjabat tangan Kanaya dengan senyum lebar di wajahnya.
"Terima kasih Dokter!"
Sejak dua minggu yang lalu, Kanaya telah menjalani serangkaian tes untuk menjadi ibu pengganti. Dan mendengar hasil tes itu, Kanaya merasa sangat senang.
Berita itu bagaikan embun yang turun di padang pasir, memberinya semangat dan harapan baru untuk kesembuhan ibunya.
"Sama-sama, Kanaya. Kami senang kamu mendaftar ke klinik kami. Sudah lama kami mencari seseorang dengan kriteria sepertimu," balas Dokter Indra dengan menghembuskan nafas lega.
"Namun ada satu hal yang saya ingin sampaikan terkait program bayi tabung ini, dan saya mengharapkan persetujuan darimu, Kanaya." Dokter Indra berkata dengan nada serius.
Persetujuan? Kanaya merasa ada hal lain yang ingin disampaikan oleh dokter itu.
"Apa ada masalah? Apa ini ada kaitannya dengan uang kompensasi yang saya minta?" Kanaya merasa was-was.
Apakah orang itu keberatan dengan uang dua puluh miliar yang ia minta?
"Begini Kanaya. Ada sedikit perubahan dalam kesepakatan kita." Dokter Indra menatap Kanaya dengan perhatian penuh.
Perubahan dalam kesepakatan? Perubahan apa?
"Untuk proses bayi tabung ini, bayi yang akan kamu kandung nanti bukan berasal dari sel telur orang lain.”
“Maksud Dokter, dari sel telur saya sendiri?” Kanaya membelalakkan matanya dengan terkejut.
Dokter Indra mengangguk. “Benar, Kanaya.”
“Tapi, kenapa?” Kanaya merasa heran.
Jika menggunakan sel telur miliknya, bukankah secara biologis anak itu adalah anak kandungnya dan bukan anak biologis orang yang membayarnya?
"Memang biasanya sel telur yang digunakan adalah milik orang yang menitipkan. Tetapi kali ini, hal itu tidak dimungkinkan. Yah, katakanlah sel telur orang tersebut tidak cukup kuat untuk melalui serangkaian proses ini.”
“Itu sebabnya, saya meminta persetujuan kamu, Kanaya. Jika kamu setuju, kita akan langsung memproses segala sesuatunya," papar Dokter Indra dengan cara yang lugas.
Kanaya menggigit bibirnya memikirkan perubahan kesepakatan itu.
Anak yang harus ia berikan kepada orang lain adalah anak kandungnya sendiri?
Dokter itu menarik nafas panjang sebelum berkata, "Mengenai kompensasi yang kamu minta,” ia menjeda.
“Mereka tidak keberatan. Asalkan, kamu setuju dengan kesepakatan ini,” sambungnya dengan tatapan penuh arti.
Kanaya balas menatap Dokter itu dengan bimbang dan ragu.
Mengapa ia merasa sangat berat memutuskan hal itu? Bukankah seharusnya ia merasa senang tujuannya bisa tercapai?
“Saya tahu apa yang kamu pikirkan dan kenapa kamu merasa berat menyetujuinya,” Dokter itu berkata setelah memberi Kanaya waktu untuk berpikir.
“Menyetujui hal ini, bukan berarti kamu menukar anakmu dengan uang. Sama sekali bukan,” Dokter Indra memberi tatapan dalam, meminta Kanaya untuk mencerna ucapannya.
“Cobalah berpikir dengan cara ini. Bahwa dengan melakukan ini kamu tidak hanya menolong ibumu, namun kamu juga menolong orang lain yang sangat mendambakan keturunan.”
Kanaya masih menatap dokter itu, ia masih membutuhkan sesuatu untuk meyakinkannya. Bagaimana dengan anak itu?
Seakan mengerti keresahan Kanaya, Dokter itu menjelaskan.
“Saya bisa memastikan. Anak itu akan hidup serba berkecukupan. Dia tidak akan kekurangan apa pun bahkan kasih sayang dari orang tua.”
Tatapan Dokter itu begitu meyakinkan seakan dia tahu persis bagaimana kedua orang suami istri itu akan membesarkan anaknya nanti.
“Siapa mereka?”
“Saya tidak bisa memberitahukanmu mengenai identitas mereka. Tetapi percayalah, mereka berasal dari keluarga yang baik dan berkecukupan. Tidak ada yang perlu kamu kuatirkan.”
Mengamati tatapan mata dokter itu, Kanaya merasa dia tidak berbohong dengan ucapannya.
“Tidak mengetahui hal ini adalah jalan terbaik, demi kebaikanmu sendiri,” tambah Dokter itu dengan tatapan penuh arti.
Kanaya mengerti apa yang dokter itu maksudkan. Dengan tidak mengetahui identitas mereka, akan lebih mudah bagi Kanaya untuk memutuskan ikatan batin dengan anak yang ia lahirkan nantinya.
Setelah berpikir selama beberapa hari, Kanaya akhirnya menyetujui kesepakatan itu.
Kesempatan seperti itu tidak datang dua kali. Dan mungkin inilah satu-satunya harapan untuk kesembuhan ibunya.
Kanaya mulai menjalani proses awal mempersiapkan indung telurnya hari ini.
Ia harus menjalani serangkaian induksi hormon untuk meningkatkan kualitas sel telur miliknya.
Dokter Indra sendiri yang menanganinya langsung.
"Setelah ini langsung pulang dan beristirahat. Makan makanan yang bergizi dan jangan tidur terlalu malam. Boleh melakukan olahraga yang ringan, tetapi hindari melakukan aktifitas yang melelahkan," pesan Dokter Indra setelah mereka selesai dengan proses induksi pertamanya hari itu.
Kanaya mengangguk, mengikuti saja apa yang dikatakan oleh dokter itu. "Terima kasih, Dokter."
Kanaya berjalan keluar dari klinik menuju sebuah gedung apartemen yang terletak hanya beberapa ratus meter saja.
Apartemen itu adalah fasilitas yang disediakan oleh klinik untuknya agar memudahkan tim medis program bayi tabung untuk memonitor perkembangan kesehatannya setiap saat.
Sebelum pindah ke apartemen, Kanaya sudah menitipkan ibunya ke rumah Bude Laila, kakak kandung ibunya.
Kanaya tidak menceritakan kepada siapapun jika ia menjadi ibu pengganti. Selain harus menjaga kerahasiaan program itu, ia juga tidak ingin menjadi beban pikiran ibunya.
Ia beralasan mendapat pekerjaan baru di luar kota dan meminta tolong kepada Budenya untuk menjaga ibunya selama ia tidak ada.
Tidak sampai sepuluh menit berjalan, Kanaya sampai di apartemennya.
Ia ingin mandi dan segera beristirahat, menghilangkan rasa letih dan penatnya setelah berbagai proses yang dilaluinya hari ini.
Baru saja Kanaya masuk ke dalam apartemen, ia merasa gatal-gatal. Rasa gatal itu seakan menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Semakin ia menggaruknya, semakin ia merasa gatal.
"Aduh, kenapa gatal sekali? Ada apa ini?” Kanaya terus menggaruk bagian tubuhnya. Rasa gatal itu tidak tertahankan.
Keheranan Kanaya semakin bertambah tatkala melihat bercak kemerahan di lengannya yang sebelumnya tidak ada.
Merasa ada sesuatu yang tidak wajar, ia pun berjalan ke arah cermin.
"Ya ampun, kenapa ini?" pekik Kanaya dengan mata membelalak ketika mendapati kulit wajahnya memerah dengan ruam, dan bibirnya tampak membengkak.
Kanaya meremas dadanya, mulai merasakan sesak nafas. Ya Tuhan, ada apa lagi ini?
Ia berusaha fokus menganalisa apa yang ia rasakan. Semua gejala ini… apakah— alergi?
Obat itu! Mungkinlah ia alergi pada obat yang disuntikkan padanya?
Hanya ada satu cara mengetahuinya.
Dengan susah payah ia meraih telepon genggamnya dan menghubungi Dokter Indra.
"Halo Kanaya?"
"Dok-ter…"
"Ada apa? Apa kamu baik-baik saja?" suara Dokter Indra yang berada di ujung sambungan telepon itu terdengar khawatir.
Di ruangan kantornya di klinik Life's Blessing, Dokter itu menghentikan apa yang sedang ia kerjakan.
"Dok-ter sepertinya… saya… alergi…" Dengan nafas tersenggal-senggak ia mencoba memberitahu dokter itu.
Pikirannya mulai tidak fokus, pandangan matanya pun mulai terasa kabur dan nafasnya semakin terasa berat.
"Apa? Kamu yakin?”
"Dok-ter to--long sa-ya"
Kanaya merasa sulit sekali bernafas. Apakah ini saat terakhirnya? Lalu bagaimana dengan ibunya?
“Bertahanlah Kanaya! Bertahanlah!” Terdengar derap langkah cepat dan nafas Dokter indra yang memburu, sebelum telepon genggam itu terlepas dari tangannya yang gemetar.
Berkelebat wajah ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit
Tidak! Ibu…
Aku tidak boleh mati! Kalau aku pergi, siapa yang akan menjaga Ibu?
Bertahanlah Kanaya, bertahanlah!
Bruk! Samar Kanaya mendengar suara pintu didobtak dengan kencang, lalu derap suara langkah kaki-kaki yang berlari semakin jelas terdengar.
"Kanaya? Kanaya!!"
Dokter Indra? Pandangan mata Kanaya kabur, namun ia melihat dua titik bergerak cepat ke arahnya.
"Dokter, to--long saya..." ucap Kanaya dengan suara yang tak lagi terdengar jelas.
Ia menggapaikan tangannya. Namun saat ia merasa seseorang telah meraihnya, pandangan matanya menjadi gelap. Gulita.
“Freya,” ucap Bastian dengan senyum di wajahnya. “Freya Jacinta Dwipangga.” Miranda dan Ayunda saling bertukar pandang sebelum tersenyum dan mengangguk. “Freya. Nama yang Indah,” gumam keduanya menyetujui. Hari itu semua yang ada di Alpine Nest menyambut baik kehadiran bayi mungil bernama Freya Jacinta Dwipangga. Begitu pula Kenzo yang begitu senang ketika diperbolehkan melihat langsung adiknya itu. Mulai hari itu, ia telah menjadi seorang kakak. Apalagi, adiknya itu hadir sebagai hadiah ulang tahun terindah baginya. Keluarga besar Dwipangga hari itu sangat berbahagia. Bukan hanya karena ulang tahun pertama Kenzo, namun juga hadirnya Freya dalam keluarga mereka. Berita kelahiran Freya langsung tersebar ke seantero Emerald City, meskipun sosok bayi tersebut masih dirahasiakan dan belum di perlihatkan kepada publik. Publik ikut merasa senang dan tidak sabar untuk segera melihat sosok putri keluarga Dwipangga yang diberitakan memiliki paras yang rupawan. Berita persalinan K
“Ama… Ama.. atit?” tanya Kenzo pada Haidar, kakeknya. Tampak ia mengkhawatirkan mamanya.Apalagi ia melihat Papanya begitu panik saat membawa mamanya pergi masuk ke dalam ruangan dengan kolam besar yang ada di dekat mereka. Haidar tersenyum dan menggeleng. Ia berusaha untuk tidak tampak gelisah atau khawatir. “Mama tidak sakit, tapi saat ini sedang melahirkan adiknya Kenzo,” terangnya pada cucu kesayangannya itu.“Kenzo di sini dulu ya sama Kakek. Nanti kalau adik sudah keluar dari perut mama, Kenzo bisa ketemu sama adik.” Haidar pun duduk dan memangku Kenzo di sofa.Kanaya sudah pernah menceritakan pada Kenzo mengenai adik bayi yang ada di dalam perutnya, sehingga Kenzo tidak terlalu bingung atau panik saat mengetahui Kanaya akan melahirkan. “Sini, Kenzo boboan di sini.” Haidar menepuk ruang kosong diantara dirinya dan Azhar, agar cucunya itu bisa beristirahat dan tidur. Ia tahu Kenzo tidak akan mau pergi tidur ke kamarnya mengetahui mamanya tengah melahirkan adiknya.Akan tetapi
Ardyan dan Aliya telah menikah sejak 6 bulan yang lalu, dan sekarang kandungan Aliya telah menginjak 3 bulan.Mereka berdua memang tidak menunda kehamilan dan berharap segera diberikan keturunan. Selain itu, Ardyan juga sudah berusia lebih dari 30 tahun, sehingga dia tidak ingin lagi menunda.Dan meskipun kehamilan Aliya masih muda dan belum terlihat benar, namun jika diperhatikan dengan seksama, akan terlihat benjolan kecil di perutnya.Saat ini, Aliya masih bekerja di LiveTV, namun ia tidak lagi bekerja di lapangan untuk mencari berita setelah mengetahui kehamilannya. Ia memilih bertugas di dalam studio untuk sementara waktu. Sedangkan Ardyan, dia masih menjalani hari-harinya sebagai the best neurosurgeon di Emerald City, sekaligus Direktur Emerald Restorative Centre, Rumah Sakit terbesar dan tercanggih di Emerald City.“Bagaimana kehamilanmu kali ini? Ah, Kenzo pasti senang sekali akan segera memiliki seorang adik!” Aliya memegang perut besar Kanaya dan mengelusnya.“Untuk yang
Acara ulang tahun berlangsung dengan sangat meriah. Anak-anak panti yang diundang untuk datang tampak sangat senang. Berbagai macam permainan, hiburan bahkan hadiah-hadiah yang dibagikan membuat mereka tertawa sepanjang acara.Tamu undangan lainnya, keluarga, dan kerabat yang membawa anak-anak mereka juga menikmati acara itu. Mereka membawa berbagai macam hadiah, dari mainan anak-anak yang sangat populer dan diminati, hingga hadiah yang bernilai fantastis.Berbagai macam hidangan disajikan. Dari mulai hidangan berbentuk lucu bertemakan kerajaan untuk anak-anak hingga hidangan estetik dan lezat dari chef terkemuka yang menggunakan bahan-bahan berkualitas premium.Dan Kenzo, bocah berulang tahun yang memiliki paras rupawan perpaduan antara Kanaya dan Bastian, menjadi pusat perhatian di acara itu. Tidak hanya parasnya, tingkah polah anak berusia 1 tahun itu selain menggemaskan juga telah membuat decak kagum tamu undangan. Di usia yang masih sangat kecil, Kenzo telah menunjukkan sikap
Hari itu, di Alpine Nest ramai dengan banyak orang yang datang. Azhar, Haidar, Miranda, Ayunda, Laila, dan Fadly—sepupu Kanaya. Tidak lupa Alea, Fariz dan Clara juga sudah hadir di sana.Mereka semua datang untuk menghadiri ulang tahun pertama Kenzo yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat, keluarga dan teman serta anak yatim yang sengaja diundang untuk memeriahkan acara itu.Acara dilangsungkan di halaman belakang rumah mereka, dengan mengusung tema Royal Prince. Sesuai dengan tema, maka di dekat danau itu dibangun sebuah miniatur kastil kerajaan, dengan dekorasi balon dan hiasan lainnya yang berwarna emas, biru dan putih.Makanan yang dihidangkan pun dibuat sesuai tema. Mewah, namun dengan bentuk yang lucu dan menggemaskan sesuai dengan usia baby Kenzo yang baru berulang tahun pertama.“Apa semua sudah siap? Di mana Kenzo?” Kanaya baru selesai berpakaian, dan ia memastikan kembali persiapan mereka untuk acara itu.Ia dan Bastian juga ikut mengenakan kostum Royal King dan Queen
“Bos, itu orangnya!” Seorang pria dengan banyak tato di tangannya melapor pada seorang pria yang duduk di dalam sebuah mobil SUV.Jendela mibil SUV itu diturunkan dan tampaklah wajah seorang pria. Dia mengenakan jaket hitam dan kaca mata hitam. Rambut panjangnya yang diikat ke belakang, dicepol kecil dibagian atas, sehingga menampakkan potongan rambut pendek undercut dibagian bawah yang rapi.Pria itu membuka kaca matanya dan melihat ke luar pada sosok dua orang pria yang sedang berdiri membelakangi mereka yang berjarak cukup jauh. Kedua orang itu berpakaian parlente, kemeja rapi dengan sepatu kulit yang mengkilap.“Hanya berdua saja?” tanya Jono—pria berjaket hitam di dalam mobil.“Hanya mereka dan supir di dalam mobil.” Anak buah Jono menunjuk sebuah mobil Mercedes Benz S class berwarna hitam terparkir di ujung bagian jalan itu.Jono tidak mengetahui siapa orang itu. Mereka berpenampilan rapi dan parlente, namun mereka berdua bukan berasalah dari Emerald City.Jono memberi isyarat