Home / Romansa / Kesesuaian Jiwa / Bagian Kedelapan

Share

Bagian Kedelapan

last update Last Updated: 2021-09-23 23:17:22

Makan malam yang berantakan tadi, membawa dampak besar. Akibatnya malam itu aku tidak bisa tidur. Percakapan dengan Mama masih terekam jelas dalam memoriku. Aku benar-benar merasa “ditampar”.

Pertama, ketakutan Mama. Mama tak mau seperti Papa yang tidak bisa melihat aku menikah. Yah, walaupun aku tahu itu cukup dramatis. Menikah agar orang tua sempat menyaksikan sebelum meninggal. Namun alasan Mama ingin melihat diriku menikah kini menjadi alasanku juga.

Sehingga sekarang lebih mendesak karena alasan-alasan yang kuat. Jelas dari dalam diri aku ingin menikah, mengikuti sunnah rosul. Usiaku juga sudah lebih dari cukup. Kemudian melihat keponakanku Fiyah, ingin sekali rasanya mempunyai anak sendiri. Tak bisa dipungkiri, ini juga menjadi alasan. Ditambah keinginan Mama, membuatku ingin semakin mempercepat menikah.

 Kedua, ada kalimat Mama yang cukup terngiang-ngiang di kepalaku. Ialah kalimat simple ini, “…Kalau tidak jelas, buat apa kamu tunggu? Cari yang jelas saja Nak”. Aku merasa itu adalah cara Tuhan berbicara kepada diriku. Ini adalah sebuah tanda bukan?

Sekarang aku jadi tahu, bahwa sebenarnya Tuhan sedang terus berbicara kepadaku. Yaitu dalam dimensi ruang sebagai wadahnya. Dimensi waktu sebagai pengukur usia dan memahami urutan peristiwa. Dimensi materi untuk membentuk benda-benda. Dimensi energi sebagai sumber kekuatan penggerak. Dimensi informasi sebagai variabel perintah. Kesemuanya itu menjadi dinamika yang berjalan dengan sangat teratur dan terkontrol menuju proses terjadinya triliunan peristiwa. Salah satunya peristiwa makan malam tadi. Saat Tuhan “menegur” aku lewat perkataan Mama.

Mudahnya seperti ini. Kalau Ridho memang serius. Seharusnya ia tak membuat aku menunggu terlalu lama. Kalau Ridho memang serius. Seharusnya ia memperjelas kapan datang ke rumah dan meminta aku di depan orang tua. Kenapa aku baru menyadari ini yaa? Kenapa tidak dari dulu-dulu? Ah, barangkali dengan cara seperti inilah aku mendapat pelajaran lagi.

Jadi seumpama ada mahasiswa ditanya kapan lulus, terus tidak bisa jawab. Berarti ia tidak serius dengan kuliahnya. Kalau ada manajer ditanya kapan selesai, terus tidak bisa jawab. Berarti ia tidak serius dengan pekerjaannya. Kalau ada orang islam ditanya kapan umroh, terus tidak bisa jawab. Berarti ia tidak serius ingin umroh. Kalau ada perokok ditanya kapan berhenti, terus tidak bisa jawab. Berarti ia tidak serius ingin berhenti merokok. Dan seterusnya.

Aku jadi teringat minggu lalu waktu ke travel agen. Untuk pesan tiket saja harus sangat jelas: untuk kapan, tanggal berapa, jam berapa, ke kota mana, pesawat apa, cara bayar seperti apa, untuk berapa orang. Jadi kalau serius itu jelas. Sedangkan Ridho? Memastikan kapan saja tidak bisa. So lame!

Seperti yang aku katakan, demi mendengar perkataan-perkataan Mama itu, secepatnya akan aku pastikan bagaimana hubunganku dengan Ridho. Bagaimana kepastiannya? Bagaimana kejelasannya? Berlanjut ke pelaminan? Atau ganti cari yang lain yang lebih pasti. Ganti cari yang lain yang lebih jelas.

Dan sebelum tidur, tiba-tiba Tuhan memberiku “tanda” sekali lagi. Biasanya sepuluh menit sebelum tidur aku sekedar mengecek media sosialku. Entah itu F******k (F*), W******p (WA), atau BlackBerry Messenger (BBM). Kebetulan kali ini aku cek BBM, aku lihat pemberitahuan. Kemudian muncul DP (Display Picture) temanku. DP itu bertuliskan:

“Tiga sifat hubungan cinta yang terlalu lama dan sudah membiasa: 1. Tidak pernah jelas kapan mau menikah. 2. Tidak jelas sampai kapan hubungan tanpa status itu akan berlangsung. 3. Keduanya merugi, tapi yang paling rugi selalu pihak wanita”

Oh Tuhan. Aku jadi ketawa-ketawa sendiri lagi. Itu pas sekali, benar-benar menggambarkan aku. Maksudku hubungan diriku dengan Ridho. Terimakasih Tuhan atas teguran demi teguran yang Kau beri.

***

Kisahku dengan Ridho, bermula di tempat kerja. Kami dipertemukan di tempat kerja yang sama yaitu di salah satu bank nasional di negeri ini. Saat pertama bertemu, kami sama-sama bekerja sebagai Sales Support Specialist.

Usia Ridho lebih tua dua tahun dari usiaku. Namun jika dilihat dari track record-nya, aku memang lebih beruntung. Karena aku fresh graduate (baru lulus kuliah, usia dua puluh dua tahun) yang langsung diterima kerja sebagai Sales Support Specialist di bank tersebut. Sedangkan Ridho yang lulus kuliah dua tahun lebih dulu dari aku, tidak langsung menempati posisi itu.

Pertama-pertama Ridho menempati posisi Direct Sales Representative selama satu tahun. Kemudian naik posisi sebagai Team Leader, juga ia jalani selama satu tahun. Nah, barulah pada tahun berikutnya Ridho naik jabatan lagi di posisi yang sama seperti aku, yaitu Sales Support Specialist saat usianya dua puluh empat tahun.

Gedung bank nasional yang merupakan regional Surabaya dan berada di jalan Raya Darmo tersebut berlantai delapan. Pada lantai empat terdapat beberapa ruangan. Salah satunya adalah ruang Sales Support Specialist yang berada di bagian tenggara atau pojok timur-selatan. Ruangannya serba putih. Dinding, meja, dan sekat berwarna putih. Sampai alat pendukung pekerjaan seperti komputer dan telepon pun berwarna putih.

Masing-masing karyawan di ruangan serba putih itu dipisahkan sekat-sekat setinggi dada. Terbentuklah menjadi bilik-bilik yang kalau dilihat mirip seperti di warnet. Hanya saja jarak antar sekat lumayan lebar. Sehingga membuat nyaman para karyawan dalam privasi pekerjaan. Jumlah karyawan pada posisi Sales Support Specialist ada dua puluh enam orang.

Jam menunjukkan pukul dua belas. Berarti waktunya istirahat siang..

“Nai, ayo ke kantin” Ajak Ridho menghampiri bilikku. Aku dan Ridho terpisah satu bilik milik Candra.

“Kamu ke sana dulu sama Candra. Setelah ini aku menyusul”

“Yakin?”

“Iyaaaah” Kataku tanpa menoleh lagi.

“Okee baiklah”

Ridho, Candra, Vera, Ningrum, Agnes, dan juga  beberapa teman yang lain menuju ke kantin. Tempatnya berada di lantai dua bersebelahan dengan musholla. Jadi harus turun dua lantai. Dan kami terbiasa makan siang terlebih dahulu baru sholat dhuhur. Kecuali yang beragama non muslim, mereka akan lebih lama menghabiskan waktu istirahat di kantin.

Sepuluh menit berlalu, aku tak kunjung turun. “Nai, kamu ada apa? Seperti ada yang aneh deh. Ayoo turun, nanti keburu habis waktunya” Kalimat itu terkirim lewat media BBM yang tersusun menjadi empat pesan.

Mungkin Ridho sudah terasa. Karena kami biasanya turun sama-sama. Dan yang benar adalah aku sedang menyiapkan kata-kata. Aku harus mengatakan hari ini juga. Setelah merasa cukup untuk membayangkan segala kemungkinannya. Aku bergegas turun dengan lapang dada.

“Kok lama sekali? Ada apa Nai?” Tanya Ridho sesaat setelah aku sampai di meja makan mereka.

“Iyah, tumben deh” Saut Candra.

“Tidak ada apa-apa. Silahkan-silahkan dilanjutkan makannya. Aku pesan (makan) dulu”

Meja di kantin itu berjajar memanjang membentuk lima barisan. Tiap barisan ada enam meja. Antara satu meja dengan meja yang ada di sampingnya terdapat jarak yang cukup buat orang untuk lewat. Dan satu meja terdiri dari empat kursi. Saling berhadapan dua-dua. Jika semua kursi terisi penuh, maka total kantin di lantai dua itu dapat menampung seratus dua puluh orang.

Ridho dan Candra duduk berjajar. Dua kursi di meja yang ditempati mereka berdua masih kosong. Biasanya masing-masing devisi memilih duduk satu meja. Mungkin karena ada rasa kesamaan nasib, jadi lebih suka duduk bergerombol sesuai devisinya. Kecuali kalau kebetulan banyak yang istirahat jam dua belas, kantin akan penuh. Kalau sudah begitu asal saja memilih meja. Yang penting bisa duduk.

Setelah aku memesan makanan, aku duduk di depan Ridho dan Candra. Aku memilih fokus melahap makan siangku. Sementara mereka berdua mengobrol ini itu. Di sela-sela mengobrol dengan Candra, mata Ridho beberapa kali tertuju padaku. Aku tahu kalau Ridho sedang terus memperhatikan. Tetapi aku memilih tetap fokus melahap makananku.

Rasa penasaran Ridho pun sudah berada di ketinggian. Sehingga kalimat ini terjun bebas dari mulutnya, “Kamu ada apa sih?”

Candra juga ikut menimpali, “Iya nih, dari tadi diam terus deh. Tidak seperti biasanya”

Aku menjawab, “Tidak ada apa-apa kok, beneran”

Hening sejenak.

Aku meneruskan, “Oh iya Dho, nanti malam kita ke tempat biasanya yuk?”

Padahal aku siap mengatakannya. Tapi ketika fokus makan tadi aku pikir-pikir, ternyata aku keliru. Karena tidak mungkin aku katakan di tempat seperti ini.

“Aku boleh ikut tidak?” Candra menawarkan diri. Dia memang kadang-kadang ikut nimbrung bersama teman-teman yang lain.

Ridho lantas memandang ke arahku. Ingin tahu apa jawabanku atas pertanyaan Candra. Mataku pun melirik ke Candra dengan ekspresi keberatan. Sehingga tanpa aku katakan, Candra sudah menangkap pesan itu. Candra tahu kalau khusus nanti, aku cuma mau berdua sama Ridho.

“Oh, tidak boleh yaa?” Candra bertanya yang dia sendiri tidak butuh jawabannya. “Ya sudah. Aku sholat dulu yaa, mau bareng?” Candra bertanya lagi sembari menoleh ke arah Ridho.

Ridho mengibaskan tangan. Tanda menyuruh duluan.

“Oke, oke, bersiaplah Dho” Kata selamat tinggal dari Candra.

Ridho pun membuka suara setelah Candra sudah berlalu, “Ada apa sih? Random sekali tiba-tiba kamu mengajak ke sana”

“Ada yang mau aku katakan”

“Apa itu?”

“Ya ada, nanti”

“Tidak bisa dikatakan sekarang yaa? Di sini?” 

Aku menggelengkan kepala dengan sedikit memonyongkan bibir.

“Ya sudah. Nanti kita ke sana” Jawaban Ridho.

Saat pertama bertemu di tempat kerja dulu, tidak serta merta aku langsung suka sama Ridho. Malah Ridho yang lebih dulu tertarik untuk mengenal aku lebih jauh. Sedangkan aku awalnya merasa biasa saja.

Namun karena intensitas pertemuan yang terlalu sering. Sering berinteraksi. Sering mengobrol. Makin ke sini makin nyambung. Makin ke sini makin nyaman. Benih-benih rasa pun tumbuh subur di hatiku. Akhirnya di tahun ketiga rasa itu sempurna bersemayam di jantung hatiku. Maka sejak tahun ketiga itulah kami menjalin hubungan. Berarti saat itu aku berusia dua puluh lima tahun. Sekarang usiaku dua puluh sembilan tahun lebih tujuh bulan. Mendekati usia kepala tiga.

Jadi kenyataannya, hubungan antara aku dengan Ridho juga sebentar lagi akan mencapai lima tahun. Itu kalau dalam sistem demokrasi Indonesia, pergantian pemimpin harus dilakukan pemilihan umum (pemilu) tiap lima tahun sekali. Sehingga diperoleh pemimpin petahana yang tetap bertahan atau diganti pemimpin yang baru. Agaknya demikianlah deskripsi hubunganku dengan Ridho. Aku akan mempertegas, masih terus berhubungan dengan syarat Ridho menikahi aku. Atau ganti cari “pemimpin” baru, yang jelas kapan mau daftar ke KUA bersamaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesesuaian Jiwa   Bagian Kedua Puluh Satu

    Sebelum menikah, aku sudah hidup bahagia. Karena aku yakin Allah selalu baik kepadaku di manapun aku berada dan dalam kondisi apapun diriku. Aku juga percaya, bahwa semua perkara orang yang beriman amatlah bagus. Allah memberi kabar baik, lalu aku bersyukur itu bagus. Allah memberi kabar buruk, yang sesungguhnya itu juga demi kebaikan diriku. Lalu aku bersabar, itu juga bagus. Maka setelah menikah tujuanku bukanlah mencari bahagia. Yang terjadi adalah aku dan istriku Reny saling berbagi kebahagiaan. Bukan saling menuntut kebahagiaan.Waktu melesat begitu cepat. Dan kebahagiaan kini bertambah sebab aku punya momongan. Buah hati itu kami beri nama Muhammad Abdullah. Nama panggilan Abdul atau lebih pendek lagi Dul. Usianya kini satu tahun delapan bulan. Setiap melihat Dul. Tanpa diperintah, bahagia menyeruak begitu saja mengisi jantungku. Dipompa oleh jantung dan kebahagiaan itu ikut mengalir layaknya aliran darah yang menyebar ke seluruh tubuh.“Gimana

  • Kesesuaian Jiwa   Bagian Kedua Puluh

    Pernah juga aku melihat ada staf yang tidak nyaman bekerja. Mudah saja melihatnya. Yaitu dari sikap, perilaku yang ditampilkan, dan tentu saja yang paling utama yakni mimik wajah. Karena pada wajah seseorang terkadang berbagai informasi dengan jelas terlihat di sana. Langsung saja aku menyuruh menghadap ke ruangku. Dalam ruangan.“Rizky, kamu tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?”“Tidak tahu. Ada apa ya Pak?”“Begini ya Riz. Aku perhatikan kamu itu kok seperti tidak nyaman bekerja. Ada apa?” Tanyaku kepada Rizky.“Oh iya betul Pak. Sebenarnya saya bukan tidak nyaman dengan pekerjaannya. Tetapi saya tidak nyaman dengan staf-staf yang lain” Jawab Rizky.“Memang ada masalah apa kamu dengan staf yang lain?”“Mereka itu suka ngomong di belakang Pak. Saya dari awal sudah terasa. Hingga akhirnya saya dengar sendiri”“Mereka

  • Kesesuaian Jiwa   Bagian Kesembilan Belas

    Alhamdulillah aku diterima PNS pada Kementerian Agama. Bagian yang mengurus tentang Perlindungan Jama’ah Haji. Aku suka sekali pada devisi ini. Karena para jama’ah haji adalah tamu Allah. Dan aku ingin menjadi salah satu yang terbaik dalam melayani tamu-tamu Allah tersebut.Segenap jiwa, raga, dan hati aku hadirkan sebagai abdi negara. Bekerja dengan cinta, agar jerih payah tak terasa. Bekerja dengan cinta, agar bernilai ibadah. Tak menunggu waktu lama. Karirku meningkat. Awalnya staf biasa. Sekarang sudah jadi Kepala Bagian. Seperti yang ku bilang. Aku hanya berpindah dari satu takdir ke takdir yang lain. Dan aku yakin takdir itulah yang dipilihkan Allah yang terbaik untuk diriku. Karena Allah yang paling tahu keadaan diriku, yang paling tahu kebutuhanku dibandingkan diriku sendiri. Terimakasih Allahku. Dan aku juga sering memperhatikan staf-staf yang ada di bawahku. Bukan untuk menghakimi tapi untuk memotivasi mereka. Supaya mereka mengeluarkan potensi ter

  • Kesesuaian Jiwa   Bagian Kedelapan Belas

    “Bagaimana sayang ceritanya?” Kataku pada Reny.“Luar biasa. Senang sekali bisa baca cerita ini. Aku jadi ingin lebih banyak membaca karya-karya lain dari orang ini”“Nah, kan? Jadi ketagihan kan? Terus pelajarannya apa dari baca cerita tadi?” Tanyaku lagi.“Banyak sih pelajarannya. Salah satunya yang paling penting adalah dalam berumah tangga harus menjaga hubungan baik dengan Allah. Supaya hubungan kita dengan pasangan juga menjadi baik. Dan supaya hidup kita selalu dalam naungan cahaya Allah”“Mantab. Semoga kita kuat beribadah dan taat pada Allah sehingga cahaya-Nya selalu meliputi kita”“Aamiin..” Kami berdua hampir bersamaan mengucapkannya.“Nah, bacanya sudah selesai. Sekarang ayuk” Aku mengingatkan.“Kemana sayang?” Tanya Reny. Yang diingatkan malah lupa.“Loh? Kamu lupa y

  • Kesesuaian Jiwa   Bagian Ketujuh Belas

    Laki-laki itu bernama Anas. Kami bertemu di pengajian sebulan sekali yang diasuh Kyai Lukman Hakim. Oh iya tempat pengajiannya berada di masjid. Dan tidak ada sekat atau pembatas antara jamaah laki-laki dan jamaah perempuan. Hanya saja jarak antara laki-laki dan perempuan lumayan jauh. Laki-laki berada di bagian kanan sedangkan perempuan berada di sebelah kiri.Aku tak akan melupakan detail kejadiannya ketika pertama kali Anas memberanikan diri berkenalan denganku. Saat itu selesai pengajian, aku keluar dari masjid dan menuju mobil bersama anakku Fahri. Tiba-tiba.“Assalamu’alaikum. Permisi Bu”“Wa’alaikum salam. Iyah Pak?” Jawabku.“Emm, Ibu ikut pengajian tadi yaa?”Pertanyaan basa-basi. Sudah tahu kok bertanya.“Iyah betul. Ada apa Pak?”“Aaa.. Emm..” Bapak itu memegang bibir dengan ujung jarinya. Lama sekali ia dalam k

  • Kesesuaian Jiwa   Bagian Keenam Belas

    Dalam memperbaiki diri itu. Sebelumnya aku yang sering sholat di akhir waktu dan tidak berjamaah pula. Sekarang tidak demikian. Sebab melambat-lambatkan sholat sama dengan melambatkan terkabulnya doa, pertolongan, dan ampunan Allah. Aku benar-benar meningkatkan ibadah sholat. Melipatgandakan sedekah. Padahal sebelumnya jarang-jarang. Merutinkan puasa senin-kamis. Padahal sebelumnya hampir-hampir tidak pernah.Menakjubkan. Hanya dalam waktu enam bulan aku memperbaiki diri. Allah akhirnya memberi jawaban. Dia memberi mutiara hikmah. Mutiara hikmah yang pertama: Dia seperti berbisik, bukan di telingaku tapi ditransfer dalam pikiran dan ditancapkan di hatiku. Yaitu Allah memberiku pemahaman bagaimana “cahaya-Nya” bekerja.“Sungguh Allah Maha Pemberi. Pemberi kegelapan dan pemberi cahaya. Contoh kegelapan: Orang yang berharap jodoh, tapi tidak ketemu jodohnya. Apakah tidak ada orang yang perlu dengan jodoh? Apakah cuma dia sendiri sehingga tida

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status