Share

Bagian Ketujuh

Saat makan malam tiba, di rumah yang terletak di Perumahan Citraland Bukit Palma Kota Surabaya hanya berpenghuni tiga orang. Iyah, rumah berlantai dua ini jadi terasa sepi. Hanya ada aku, Mama, dan asisten rumah tangga yang bernama Rahma. Di mana yang lain? Baik, aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan. Usiaku sekarang dua puluh sembilan tahun.

Adikku yang bernama Farhana berusia dua puluh tujuh tahun. Farhana menikah lima tahun yang lalu atau saat berusia dua puluh dua tahun. Farhana sudah mempunyai satu anak yaitu Fiyah yang siang tadi aku kunjungi.

Kemudian adik bungsuku yang bernama Sarah beda usia denganku tujuh tahun. Benar sekali, usia Sarah sekarang dua puluh dua tahun.

Sama seperti Farhana, Sarah juga sudah menikah. Tepatnya satu tahun yang lalu. Namun pernikahan adik bungsuku itu cukup membuat heboh di komplek perumahan kami. Pertama, apalagi kalau bukan heboh soal aku. Aku sekali lagi didahului adik-adikku menikah. Kedua, kehebohan karena Papa meninggal persis setelah ijab qobul Sarah selesai.

Memang sudah lama Papa ada riwayat sakit jantung. Cuma yang jadi persoalan. Kenapa begitu pas selesai ijab qobul? Yah, takdirnya memang seperti itu. Mau bagaimana lagi? Tapi jika boleh berandai-andai, setidaknya menunggu sampai semua acara selesai. Atau kalau boleh diundur lebih lama lagi, setidaknya sampai melihat giliran aku menikah nanti. Terasa sekali betapa tidak dapatnya berandai-andai!

Keluarga kami pun berduka. Hati kami terluka dan kecewa. Rasanya bagai diiris. Sakit. Kami pun mencoba tabah menghadapi kenyataan ini. Menerima ketentuan. Menenangkan diri. Melemaskan. Melepaskan. Tidak melawan takdir. Karena mustahil melakukannya.

Maka sungguh sekali-kali aku tak akan pernah melupakan hari itu. Hari bahagia berselimut duka. Bahagia melihat adikku melepas masa lajang. Duka karena itu berarti tak akan bertemu Papa lagi. Dan sebab Papa meninggal, rencana pesta pernikahan Sarah diurungkan alias tidak jadi dilaksanakan. Bagaimana mungkin ada pesta di dalam duka?

Amazing, wonderful, awesome, great, superb, sensationally, fantastic, incredible, etcetera. Correct, terkadang hidup memang seasyik itu. Kita bisa tertawa hingga menangis atau kita menangis sampai tertawa. Dua rasa berlawanan namun bisa bertemu. Lalu berpadu menjadi satu.

Jadi di rumah ini tinggal aku sama Mama dan Rahma asisten rumah tangga. Adik-adikku ikut sama suaminya masing-masing. Sedang Papa hanya bisa dikenang dalam hati.

Dan sejujurnya aku berkunjung ke rumah Farhana, bukan hanya mendapat pelajaran yang mengagumkan dari perkembangan Fiyah saja. Melainkan aku mendapat semangat terbarukan juga. Karena setiap melihat tingkah keponakanku itu. Aku selalu mendapat semangat baru. Buncah memenuhi rongga dadaku. Ah, apalagi nanti kalau lihat anak sendiri yaa.

“Nai, Naila..” Mama menegurku saat aku mengunyah makanan. Namun pikiran melayang dituntun imajinasi.

“Ah iya Ma?” Jawabku gelagapan seraya memandang ke sumber suara yang sedang duduk di depanku.

Meja makan di rumah kami berbentuk persegi. Dengan total delapan tempat duduk yang mengitari satu meja. Masing-masing dua tempat duduk pada tiap sisinya. Malam itu aku dan Mama duduk saling berhadap-hadapan.

“Kamu ada apa? Masa makan kok sambil melamun?” Selidik Mama.

“Oh emm. Tidak ada apa-apa kok Ma”

“Hmm..” Mama menggeleng-nggelengkan kepala.

“Oh iya Nai. Bagaimana itu? Si Ridho? Kapan dia datang (melamar) ke sini” Tanya Mama.

“Aku belum tahu Ma”

Wajah Mama seketika berubah. Mama menarik nafas dalam-dalam. Sudah jelas kan? Tinggal aku seorang dalam keluarga ini yang belum menikah.

“Terus sampai kapan Naila? Kalau tidak jelas, buat apa kamu tunggu? Cari yang jelas saja Nak”

Aku diam beberapa saat. Merenungi sejenak saran dari Mama.

“Mama takut..” Sebelum Mama sempat melanjutkan kalimatnya ini. Signal negative tertangkap dalam radar pikiranku. Aku pun segera memotong perkataan Mama.

“Takut apa? Sudahlah Ma, jangan seperti orang-orang. Kapan dilamarnya? Kapan nikahnya? Aku bosan ditanya seperti itu terus”

Entah kenapa, otakku memberi perlawanan sebab mendengar kata “takut” dari Mama. Apa Mama takut aku tak akan menikah? Atau jangan-jangan Mama takut aku menjadi perawan tua seperti kata-kata pembenci itu? Entahlah, yang jelas secara alamiah, perlawanan itu bagian dari self defence atau pertahanan diri karena terlalu sering ditanya “kapan”. Aku sudah mulai rapuh untuk bertahan. Bagaimana tidak? Pertanyaan-pertanyaan itu terlalu sering datang menggempur diriku.

Seperti ketika berkunjung ke rumah bibi suatu waktu lalu ditanya, “Kapan kamu menyusul adikmu?”. “Kamu kapan giliran mainnya ke KUA Naila? Hehe” Sindir sahabatku Nisa. “Menunggu apa lagi Bu Naila? Cepetan, seret saja dia” Teman kantor mengejekku. “Budhe, ada apa kok senyum-senyum sendiri? Seneng yaa lihat keponakannya? Makanya Budhe, jangan lama-lama..” Komentar adikku tadi siang. Dan kalimat-kalimat senada.

Memang sih, sebagian pertanyaan itu ada yang tujuannya memotivasi. Ada juga yang karena khawatir sama aku. Dan beberapa kali ada yang terang-terangan  mengejekku.

Sebenarnya simple, kalau tidak ingin ditanya lagi yaa aku harus menikah. Tapi jauh-jauh hari aku sudah berkata kepada diriku sendiri. “Apa iya aku harus tergesah menikah hanya agar tak menemui lagi pertanyaan-pertanyaan itu? Apa iya aku harus tergesah menikah karena kesepian dan karena orang lain sudah menikah semua? Apa iya aku harus tergesah menikah karena tidak enak terlihat aneh sendiri? Dan terlepas dari itu, bukankah banyak orang yang setelah menikah namun tetap merasa sepi, sendirian?”

“Lagi pula hidup ini memang tidak pasti dalam kepastian. Pasti berjodohnya. Pasti rezekinya. Pasti matinya. Tetapi tidak pasti kapannya. Tidak pasti sama siapanya. Tidak pasti di mananya. Tidak pasti jumlahnya berapa. Tidak pasti bagaimananya. Dan ketidakpastian lainnya. Memangnya siapa sih yang tidak ingin menikah?”

Dan malam itu Mama juga bertanya. Ralat, sebenarnya sudah beberapakali Mama bertanya. Yah, walaupun aku tahu persis, itu pasti karena khawatir. Cuma momennya tidak pas. Lagi tidak mau bahas. Sensi mendapat dua “pertanyaan” sekaligus hari ini.

“Kamu kok gitu sih? Mama itu khawatir. Mama takut..”

“Sudah deh Ma!” Aku memotong perkataan Mama sekali lagi. Kali ini dengan intonasi agak tinggi. “Begini yaa Ma, aku pasti menikah kok. Tapi mungkin sekarang belum waktunya saja! Lagi pula yang menjalani hidup ini aku, bukan Mama!” Maksimal, malam itu aku benar-benar menumpahkan semua kekesalanku. Secara spontan, kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Siapa sangka, tanpa sadar kalimat yang terakhir adalah sebuah kesalahan. Lihatlah, mata Mama terbelalak setelah mendengarnya. Mama tak menduga aku akan seperti itu. Butiran-butiran air pun terjun bebas dari mata Mama. Tak begitu lama, suara tangis juga terdengar. Walaupun lirih, tapi tangisan Mama malam itu begitu menyayat hatiku. Peristiwa ini seperti dejavu ketika Deni memarahi Fiyah tadi siang.

Aku benar-benar melakukan kesalahan besar. Tak sepatutnya aku seperti itu kepada perempuan yang berjuang antara hidup dan mati agar aku bisa hadir di dunia. Yang membesarkan aku dengan penuh cinta. Dan yang selalu membingkai nasihat-nasihat dengan keikhlasan dan doa.

Dengan kecepatan tak berhingga. Perasaan kesal dan marah yang ku rasakan menukik tajam. Lalu berganti menjadi rasa bersalah dan menyesal. Tanpa disuruh, air mataku juga ikut keluar. Perasaan yang Mama rasakan saat menangis, tersambung ketika aku melihatnya. Seperti ada getaran di hati Mama yang turut juga menggetarkan hatiku. Maka begitu mendengar suara tangis dan melihat sendiri air mata Mama. Otomatis menggugah saraf-saraf kelenjar air mataku sebagai ungkapan ekspresi jiwa.

Hampir bersamaan, kini kami berdua menangis. Aku pun bangkit dari tempat dudukku. Lalu menghampiri tempat duduk Mama dan bergegas memeluk Mama dari samping.

“Maafkan aku Ma. Aku tak ada maksud melukai perasaan Mama. Aku tahu Mama begitu khawatir sama aku. Maaf yaa Ma, maafkan Naila”

“Tidak apa-apa Nak. Cuma yang Mama takutkan itu, Mama takut seperti Papa. Tak sempat melihatmu menikah” Kata Mama datar, namun gelombangnya tepat sasaran. Pas mengenai hatiku.

Itulah sebenarnya ketakutan Mama. Air mataku jadi merembes kemana-mana. Ada rasa sedih berkecamuk bersamaan ingin tertawa. Sedih yang teramat dalam karena mendengar ketakutan Mama. Dan ingin tertawa, lebih tepatnya menertawai diriku sendiri karena salah mengartikan kata “takut” dari Mama.

Aku mengira dengan tak kunjung menikah di usia mendekati kepala tiga ini. Mama takut aku tak akan menikah. Nyatanya ketakutan Mama adalah tak pernah melihatku menikah. Takut seperti Papa yang telah meninggalkan kami. Sekarang aku jadi tahu apa harapan Mama. Yaitu sempat melihat aku menikah di sisa usianya.

Demi mendengar perkataan Mama itu, aku menatap mata Mama lamat-lamat lalu mengatakan..

“Terimakasih atas semua kasihmu Ma. Aku janji, dalam minggu ini Mama akan mendapat jawaban atas kepastian hubunganku dengan Ridho. Janji..”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status