"Mas, tolong pegangin Arum sebentar, ya. Aku mau mandi," ucap Marwa sambil menyerahkan bayi berusia dua tahun kepada suaminya. Marwa hendak menitipkan anaknya karena dirinya ingin melakukan hal lain.
"Apaan, sih! Suami baru pulang kerja, kok disuruh jaga anak!" ketus Galih tak memedulikan tubuh anak yang diserahkan.
"Arum demam, Mas, jadi rewel. Ga mau ditinggal sendirian. Tadi pun aku masak sama bersihkan rumah sambil gendong. Cuma kalau mandi, kan, ga mungkin dibawa," jelas perempuan berusia dua puluh empat tahun itu.
"Alasan aja, Kamu! Kan, bisa waktu Arum tidur terus kamu mandi," kesal Galih sambil melihat penampilan istrinya yang terlihat kucel. Selalu saja seperti itu ketika ia pulang kerja, menggunakan daster lusuh yang menurutnya tak enak dipandang mata, terlebih dalam keadaan belum mandi, membuat lengkap sudah pencemaran matanya. "Lagian kerjaanmu apa, sih, sampe mandi aja ga sempat," sungutnya lagi.
"Arum maunya digendong, Mas. Kalau ditaruh di ranjang, dia bakalan kebangun lagi. Mungkin lagi ngerasain ga enak di badannya." Marwa mencoba menjelaskan.
Tadinya ia berharap suaminya mau memegangi anak mereka sebentar saja, hanya untuk mandi. Bahkan ia pun sabar menunggu Galih untuk makan terlebih dahulu dan membersihkan diri. Namun, kenyataannya reaksinya selalu sama, menolak membantu.
Sebenarnya ia pun agak malas meminta bantuan sang suami, karena kejadian seperti ini pernah terjadi. Waktu itu ia meminta tolong untuk bergantian menjaga Arum yang tidak mau tidur semalaman. Marwa hanya meminta waktu sejam untuk terlelap. Namun, sang suami justru memarahinya. Dibilang istri tidak pengertian karena suaminya besok akan bekerja malah disuruh begadang.
Padahal Marwa hanya meminta waktu sebentar untuk tidur karena tubuhnya lelah dan mengantuk, tetapi suaminya selalu keliatan tak suka jika diminta berbagi beban. Galih pernah berkata jika tugasnya mencari nafkah, sedangkan Marwa mengurus rumah dan mengasuh anak.
Ah, andai Galih mau mendengar ceramah Ustaz Adi Hidayat, bahwa mengurus rumah bukan pekerjaam istri itu melainkan tugas sang suami, hanya saja jika istrinya tak keberatan atau kesulitan bisa menjadi ladang pahala. Namun, harus ada pengertian jika sang istri tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah, sang suami membantunya agar terasa lebih ringan atau mempekerjakan seseorang.
Beberapa kali selalu ditolak ketika meminta bantuan terkait apapun membuat perempuan berkulit putih itu memilih ntuk mengerjakan semuanya sendiri. Mengurangj perdebatan yang berakhir pertengkaran. Namun, kali ini ia sangat terpaksa karena tubuh yang lengket belum mandi sejak pagj.
"Udahlah, aku mau nonton tivi. Kamu mandi aja kalau Arum dah tidur," ucap Galih sambil berlalu menuju ruang depan.
Marwa menghela napas pelan, meredam kecewa atas sikap suaminya. Selalu seperti ini. Ia merasa jika rumah tangganya tak seindah yang dibayangkan. Suami istri yang saling melengkapi, menopang ketika duka melanda, saling membantu dikala kesulitan, tertawa bersama dikala suka, tapi nyatanya ia tak merasakan hal itu, merasa seperti hidup sendiri.
Ketika suaminya pulang kerja, ia pun mendambakan bisa mengobrol bersama mengisahkan kejadian yang dialami seharian. Tetapi, suaminya tampak tak peduli bahkan lebih tertarik melihat acara tivi ketika Marwa mulai berceloteh kesehariannya.
Beberapa kali tak ditanggapi, akhirnya Marwa pun memilih hanya menemani saja ketika menonton acara di layar datar itu. Mereka hanya akan mengobrol jika suaminya yang menghendaki seperti cerita mengenai kesulitan atau bebannya di luar juga hal lainnya. Ia akan selalu mendengarkan dengan seksama dan mengomentari menurut pendapatnya. Sayangnya suaminya tak bisa melakukan hal yang sama.
Hatinya terasa kosong. Kata orang ketika sudah menikah, setiap ada masalah akan menjadi terasa lebih ringan sebab ada dua kepala yang menyelesaikan. Kenyataannya, ia justru semakin merasakan berat, karena ketika ada masalah ia tak dapat menyelesaikan sendiri tanpa izin suami.
Meminta tolong kepada suaminya pun, tetapi kurang ditanggapi bahkan kadang tak peduli. Seperti saat ini, hal sepele tapi sangat melukai hati. Melihat suaminya yang sudah terlena dengan acara televisi, Marwa memutuskan ke kamar mencoba menidurkan anaknya.
"Loh, Dek, kok belum ganti baju udah tiduran di kasur?" Galih menepuk pundak istrinya yang terlelap tidur di samping anak mereka. Hampir dua jam melihat melihat tayangan televisi, matanya mulai mengantuk dan beranjak ke kamar setelah mematikan televisi.
"Eh, maaf, Mas, aku ketiduran," jawab Marwa sambil menggerakan tubuhnya untuk duduk.
"Kamu gimana, sih, masih bau keringat udah tiduran di kasur. Kan, nanti jadi bau kasurnya," omel Galih sambil menyuruh istrinya segera turun dari ranjang. "Mandi sana! Mumpung Arum tidur!" perintahnya dengan wajah tak suka. "Suami pulang kerja bukannya dandan yang cantik, ini masih pakai dasteran mana bau bawang pula," sungutnya lagi membuat perempuan yang telah keluar kamar menitikkan air mata.
Setelah masuk kamar mandi dan menutup pintu, tubuhnya luruh dan menangis tertahan. Hatinya pedih, susah payah menekan rasa sakit, tetapi akhirnya tumpah ruah. Suaminyabseolah tak peka dengan keadaannya malah menambah beban luka yang semakin menganga dengan sikap dan perkataannya.
Tidakkah lelaki yang dicintai itu mengerti kondisinya saat ini. Bukankah tadi ia sudah mengatakan jika anaknya sakit? Jangankan untuk mandi, sekedar makan pun Marwa mengalami kesulitan. Arum hanya mau digendong, diajak duduk pun ia akan menangis. Alhasil membuatnya makan sambil berdiri dan sambil mengayun-ayun dalam buaian.
Kalaupun sudah terlelap anak perempuannya itu tak mau diletakkan di ranjang, ia akan menangis kejer ketika tubuhnya mendarat di kasur. Entahlah, itu tak seperti biasanya. Mungkin sakit yang dirasakan lebih nyaman jika berada di gendongan sang ibu.
Seharian ini pun, Marwa mencuci baju dan piring, memasak, menyapu dan mengepel juga menjemur sambil menggedong Marwa. Betapa sulitnya ia melakukan itu. Andai saja ia hanya fokus untuk merawat anaknya mungkin tak akan selelah seperti yang dirasakan saat ini. Sayangnya, mengingat kemarahan sang suami jika rumah berantakan membuat Marwa memaksa mengerjakan semua.
Ia tahu Galih juga tidak suka jika ia kelihatan kucel dan bau keringat ketika menyambutnya pulang. Namun, hari ini kondisinya memang sulit. Jangankan untuk mandi, merebahkan badan saja tak bisa.
Bukannya tak mau mau menyenangkan mata dengan tampilan diri ketika suaminya pulang bekerja dengan kelelahan yang menggelayut raga bahkan mungkin jiwa.
Hanya saja, sejak memiliki anak, ia sering merasa kewalahan. Mengerjakan semua pekerjaan rumah sambil mengasuh, membuatnya tak punya waktu untuk berdandan. Pikirnya yang penting tubuhnya bersih dan tak bau keringat.
Bisa saja ia mempercantik diri, hanya saja itu artinya memakai uang untuk kebutuhan rumah tangganya. Sedangkan uang yang diberikan suaminya hanya cukup untuk makan dan juga keperluan sang anak. Tentu saja Marwa lebih mengutamakan kebutuhan keluarga dan anak semata wayangnya.
Suatu kali, pernah ia meminta dibelikan skincare untuk merawat wajah dan tubuhnya, tetapi suaminya mengatakan menyukainya apa adanya, lebih alami. Namun, belakangan ini Galih sering mempermasalahkan penampilannya.
"Marwa cepat mandinya! Arum nangis, nih!" teriak Galih. Marwa yang sedang menumpahkan asa terkesiap mendengar panggilan suaminya. Ia lalu bergegas membersihkan diri dan mengganti baju. Tak sempat mandi.
Sebuah bangunan di pinggir jalan raya terlihat sangat ramai. Dari kaca jendela yang besar, terlihat banyak pengunjung yang datang untuk mencoba restoran baru yang terkenal enak di Jakarta Selatan. Kini, tempat makan tersebut membuka cabang baru di Jakarta Timur. Tentunya masyarakat yang sudah mengetahui restoran khas Betawi lewat video viral di media sosial itu tak akan melewatkan kesempatan untuk mencicipinya. Dengan setengah harga mereka dapat menikmati makanan yang sudah sering didatangi para food blogger. Hampir semuanya menyatakan jika makanan di restoran tersebut patut diacungkan jempol. Walaupun di tempat berbeda, tetapi masih dengan pemilik yang sama, tentunya rasa masakannya pun akan sama. Tampak wajah-wajah ceria yang terlihat menikmati setiap suapan yang singgah dalam mulutnya. "Mantab ini, sih, masakannya. Rempahnya melimpah," puji seorang lelaki yang tampak merem-melek menikmati setiap gigitan pecak ikan yang termasuk makanan best seller.
Melihat video dari nomor tak dikenal, wajah Galih tampak pias. Suatu kebenaran telah dungkap oleh tiga orang yamg terlibat dalam kasus perselingkuhan sang istri. Tulang rahangnya mengeras dengan wajah memerah. Teringat dengan ibu juga kakaknya yang tega menuduh Marwa. Padahal ternyata itu adalah rencana jahat mereka. Marwa tidak bersalah.Napasnya memburu dengan dada yang mulai turun naik. Ingatannya melayang ketika perempuan yang dinikahinya diusir paksa bahkan dipisahkan dari Arum. Setelahnya, berbagai caci maki kerap dilontarkan Atik dan Gita terhadap Marwa. Galih mengeram, teriakan menggema di ruang tamu rumah ibunya. "Mas, Mas Galih!" Fitri yang baru keluar dari kamar bersamaan Pandu yang baru datang dari luar segera menghampuri Galih yang berteriak. "Mas, tenang, Mas!" Kedua adik kakak itu berusaha menenangkan kakak kedua mereka. Mereka juga sudah tahu apa yang telah terjadi. Video yang dikirimkam nomor tak dikemal juga membuat Pandu dan Fitri terkejut dan
Melihat orang yang sudah ramai, Dito semakin resah. Rencananya untuk melarikan gagal di saat bertemu adik iparnya. Namun, bukan Pandu yang menjadi penyebabnya, melainkan dua orang satpam yang menyapa sehingga, membuat Lila bangun dan keluar rumah.Kala itu perempuan yang masih menggunakan piyama mendelik tajam melihat kunci mobil di tangan Dito dengan kondisi pintu pagar terbuka. Terlihat wajah yang memerah, tetapi masih ditahan karena melihat dua orang yang sedang berkeliling untuk ronda ditambah Pandu yang mematung dengan tatapan dingin."Eh, ini yang ngaku adikmu, Mas." Setelah penjaga keamanan komplek pergi, Lila menunjuk Pandu dengan curiga. Dito pernah mengatakan jika adiknya masih di kampung, sehingga ia merasa orang yang mengunjunginya adalah penipu, tetapi melihat kehadiran Pandu di depan rumahnya membuat Lila curiga."Ini Pandu, adik iparku." Sejenak Lika terperanjat, kemudian ia langsung menguasai diri. Wajah ayunya menyunggingkan senyum sinis.
"Mbak Ratih, maaf, ya. Aku jarang datang, sekalinya ke sini malah bawa keluh kesah." Marwa terlihat tak enak hati pada guru mengajinya. Sejak menikah, ia hanya berkunjung satu kali ketika perempuan yang selalu memberikan ilmu agama padanya itu pindah ke Bogor. Setelah itu, karena kesibukan suaminya, ia agak sulit untuk berpergian. Ingin keluar sendiri, tetapi Galih tidak pernah mengizinkan. Sebagai istri, Marwa hanya berusaha patuh. Namun, tidak dipungkiri jika ia jadi menjauh dengan guru mengaji juga temannya yang lain.Merupakan suatu kebahagiaan bisa bertemu kembali dengan perempuan berusia empat puluh lima tahun itu. Usia yang sama dengan almarhumah ibunya. Namun, Ratih terlihat lebih muda dan energik, terlebih anak kedua dari empat bersaudara itu selalu aktif dalam organisasi dan kegiatan masyarakat. Pembawaannya yang selalu berpikir positif dan ramah terhadap orang lain membuat Ratih banyak dikenal dan disukai sekitarnya."Ya ampun, ente kaya sama siapa
Setelah mematikan mesin, Galih langsung turun dari mobil dengan tergesa memghampiri rumah bercat hijau muda., kemudian menyibak kerumunan sambil mengucapkan maaf dan menghampiri ibunya."Ibu!" Suara panggilan seseorang membuat semua yang berada dekat Atik menengok. Mengetahui bahwa keluarga korban telah hadir, mereka bergeser memberi tempat untuk sang anak mendekati ibunya.Meskipun Galih selalu mendapat perlakuan buruk, tetap saja ia memiliki kekhawatiran ketika orang yamg membesarkannya mengalami musibah. Satu tangannya terulur memegang tangan yang sedikit berkeriput, sambil memanggil dan menanyakan keadaan. Namun, Atik hanya terdiam. Tatapannya kosong seperti memendam beban. Berkali-kali mengusap lengan juga bahu sang ibu, tetap saja perempuan paruh baya itu tak merespon. Akhirnya, dengan sentuhan agak keras, Atik baru menengok."Galih!" Atik lengsung menghambur memeluk anaknya. "Ibu takut!" pecah tangis Atik yang sejak tadi merasa ketakutan.
"Dokter, Apakah Kak Gita dan temannya baik-baik saja?" Galih memastikan berkali-kali mengenai kondisi kakaknya. Melihat kedua orang ditemukan dalam kondisi terikat dan tak berdaya membuat lelaki berambut ikal itu khawatir jika ada mental yang terganggu. Terlebih, temannya Vika selalu berteriak ketika tidur. Seolah ada yang sedang menyiksa di alam mimpinya."Kemungkinan pasien mengalami trauma. Apalagi kejadian tersebut hampir saja membahayakan nyawa mereka. Beruntung ditemukan pada waktu yang tepat," jelas lelaki berjas putih tersebut. "Nanti kami akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut terkait kesehatan mental keduanya." Secara fisik, Gita dan Vika tidak mengalami luka yamg serius, hanya saja bibir Vika mengalami memar karena gesekan paku.Galih mengangguk, membenarkan perkataan dokter. Beruntung ia dan Pandu memilih datang ke rumah kakaknya untuk mencari petunjuk. Pada saat membuka gerbang, suara teriakan minta tolong bergema dari ruangan di depan mereka. Walau,
"Ah, sial! Dimana kuncinya?" Hampir lima belas menit Dito mencari benda pembuka pintu itu, tetap tak ditemmukan. Padahal biasanya Lila selalu meletakkan di lubang kunci atau digantung di dinding samping plintu. Akan tetapi, benda itu tak ditemukan dimanapun.Padahal, ia sudah menunggu moment ini selama berjam-jam. Pada saat kekasihnya lelap tertidur, Dito akan keluar rumah untuk mencari keberadaan Gita. Apalagi mertuanya sejak tadi selalu menelepon menanyakan keadaan sang anak. Dengan terpaksa Dito berbohong, mengatakan belum menemukan. Nyatanya ia sama sekali belum mencari, masih terjebak di rumah Lila.Seingatnya, ia meletakkan kunci serep yang pernah diberikan Lila di dalam tasnya, tetapi benda itu juga menghilang tanpa jejak. Jika seperti ini kejadiannya, sudah pasti ini adalah perbuatan Lila yang tak ingin dia pergi."Argh!" Lama-lama Dito merasa kesal dengan sikap perempuan itu. Belakangan ini, Lila terlalu banyak menuntut. Sungguh, kondisi seperti
Pada saat orang lain mempertanyakan keberataan Gita, dua orang di dalam gudang sedang berusaha untuk melepaskan diri. Semenjak mereka disembunyikan dalam ruangan berukuran 5X7 meter itu, hanya kesedihan dan ketakutan yang menguasa hati keduanya. Mereka tak berpikir hal lain, hanya berharap ada yang segera datang menolong. Namun, hampir waktu hampir terlewat setengah hari, tak menunjukkan ada orang yang datang. Mereka semakin putus asa dan terus menangis dengan tangan dan kaki yang terikat juga mulut yang disumpal lakban dengan diberi lubang kecil di tengah mulut untuk mereka mengambil udara. Tetap saja itu terasa sesak, karena mereka tak leluasa menghirup udara bersih dan mengeluarkan karbondioksida Gita memiliki rumah tiga lantai dengan lantai bawah diperuntukkan untuk parkir mobil dan gudang. Sedangkan, lantai dua untuk ruang tamu, ruang santai, dapur, kamar pembantu, dan kamar utama dan di lantai tiga terdapat kamar tamu dan taman. Akses tangga menuju lantai
Galih berhenti di depan pagar rumah berlantai dua, kemudian ia turun hendak menekan bel untuk meminta dibukakan pintu. Akan tetapi gerakannya terhenti ketika seorang lelaki dengan seragam cokelat bertanya dari balik pagar."Siang, Pak, maaf cari siapa?""Marwa, Pak." "Dengan siapa?""Galih, suaminya.""Oh, Pak Galih. Bentar, Pak." Lelaki paruh baya itu menggeser gerbang dan mempersilahkan Galih masuk. "Mbak Marwa tadi sudah pesan jika Pak Galih datang. Silahkan langsung masuk saja, Pak.""Terima kasih, Pak." Galih melangkah menuju mobil dan masuk ke halaman yamg dipenuhi dengan tumbuhan hijau di pinggir kanan dan kiri jalan menuju pintu utama. Setelah mematikan mesin mobil Galih mengambil beberapa kantong makanan kecil, kue bolu, dan buah-buahan untuk tuan rumah. Hatinya berdebar kencang, tubuhnya merasa gugup untuk bertemu istri dan anaknya. Ia akan berusaha bersikap sebaik mungkin, dan mencoba mengambil hati Marwa juga m