Arka berangkat ke kantor untuk pertama kalinya menyandang gelar sebagai pemimpin perusahaan. Memang posisinya tidak langsung diserahkan padanya dan masih ada ikut campur Pak Dhanu karena pengalaman Arka yang belum banyak dan masih membutuhkan Papanya untuk memberikan masukan padanya.
Arka sedang duduk di kursi kebanggaan Papa nya yang menjadi saksi bisu perjalanan sang Papa mengelola perusahaannya menjadi besar seperti ini. Menjadi pengganti Papanya untuk mengurus perusahaan membuat beban tersendiri untuk Arka, ia harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan perusahaan City Grup tetap besar bahkan Arka ingin menjadikan perusahaan itu lebih besar lagi.
Saat ini Arka sedang mempelajari dokumen kerjasama dengan PT. Angkasa untuk membangun perumahan untuk karyawan yang bekerja di kelapa sawit. Memang perusahaan City Grup bergerak pada sektor perminyakan yang bahan utamanya dari kelapa sawit.
Namun dalam waktu dekat P
Selesai makan siang mereka berbincang ringan sambil menunggu perwakilan PT. Angkasa datang. Mereka membicarakan perjalanan mereka saat kuliah, namun lebih tepatnya Dila yang lebih banyak berbicara di banding Arka. Arka lebih suka mendengar Dila cerita tentang perjalanannya waktu kuliah hingga sampai ia bekerja di kantor Papanya. Cerita menarik yang membuat Arka semakin kagum terhadapnya karena Dila selalu bekerja keras untuk mencapai cita-citanya. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya perwakilan dari PT. Angkasa tiba, Dila dengan ramahnya menyapa dan mempersilahkan mereka duduk. Sebelum metting di mulai, pihak dari PT. Angkasa terlebih dahulu memberikan selamat kepada Arka atas posisinya saat ini dan Arka pun memberikan ucapan terima kasih atas ucapan tersebut. Karena waktu yang semakin sore, pihak dari PT. Angkasa segera mempersentasikan desain perumahan yang menarik pada mereka. Arka dan Dila memperhatikan pe
Saat ini Arka sedang mengantar Dila pulang ke rumahnya. Selesai mengerjakan lemburan Dila, Arka mengantarkannya. Dila sempat menolak ajakan Arka karena ia membawa mobil sendiri, namun Arka memaksa dengan alih-alih jika seorang wanita tidak boleh pulang sendiri waktu malam hari. Dan kini bersamalah mereka di mobil mewah milik Arka. Di dalam mobil mereka hanya diam, tidak ada percakapan yang membuat Dila berfikir untuk bertanya agar suasana mereka tidak canggung. “Kak kenapa sekarang bilangnya saya kalau bicara sama aku. Seingat aku Kakak dulu bilangnya aku?” Tanya Dila penasaran karena semenjak bertemu Arka selalu menggunakan saya dan Dila mendengarkan itu sedikit tidak nyaman karena terlalu baku.“Tidak mengapa. Saya merasa tidak enak karena sudah lama kita tidak berjumpa dan sekalinya berjumpa kamu sudah menjadi seseorang yang sukses dan patut di segani,” ucap Arka merendah. Dila merasa ucapan Arka sangat berlebihan. Bagaimana mu
Seusai mobil Arka tidak terlihat lagi, Dila segera menutup gerbang dan masuk ke dalam rumah. Dila ingin buru-buru mandi karena badannya terasa lengket. Namun belum Dila memberikan salam, Ibuanya membukakan pintu secara tiba-tiba yang membuat Dila terkejut. “Astaga Ibu buat aku kaget saja,” ucap Dila sambil memegang dadanya karena terkejut. “Maaf Dila, Ibu hanya penasaran saja. Siapa laki-laki yang bersama kamu tadi?” tanya Bu Nella. “Oh itu Kak Arka, dulu dia Kakak kelas aku dan sekarang jadi bos aku Bu,” jawab Dila sambil melepas sepatunya. “Benarkah? Kakak kelas kamu yang dulu pernah main ke rumah? Ah Ibu sangat menyukainya karena dia memiliki sikap yang sopan dan dia anak yang baik. Ibu tidak menyangka jika Arka sekarang sangat tampan. Apakah dia pacar kamu Dila?” tanya Bu Nella lagi. “Aduh Ibu bertanya terlalu banyak, aku bingung harus jawab yang mana dulu. Iya mema
Rasa lega yang Arka rasakan saat ini, langkah awal yang baik untuk hubungannya dengan Dila. Setiap perjalanan menuju kantor, Arka selalu menampakkan senyum manisnya dan hal itu tak luput menjadi perhatian Dila. “Dari tadi senyum terus Kak, lagi bahagia sepertinya,” ungkap Dila. “Iya memang aku sedang bahagia Dil,” jawab Arka yang terus tersenyum. “Waw ada kemanjuan sekarang tidak ngomong saya lagi,” balas Dila merasa senang karena Arka sudah berbicara seperti biasanya. “Iya karena aku ingin kamu nyaman berbicara denganku,” “Hmm baiklah,” sambung Dila yang tiba-tiba detak jantungnya berdebar. “Tadi waktu di rumah, aku tidak melihat Vano. Kemana dia?” tanya Arka penasaran. “Ah iya, Vano saat ini sudah mulai kuliah di Jepang Kak,” jawab Dila. “Hebat sekali dia. Memang bibit orangtua kamu pintar-pintar,” S
Melia sangat bimbang dengan kerjasama ini, dari awal niatnya sudah licik. Ia berencana memangkas dana yang City Grup berikan untuk menutup hutang perusahaannya, namun karena kepintaran Dila sepertinya langkah Melia akan sulit. Namun jika kerjasama di antara kedua perusahaan tersebut, nantinya akan membuat perusahaan Mahendra semakin jatuh karena semakin sulit mendapatkan pemasukan. Dengan sangat terpaksa akhirnya Melia menyetujui perjanjian tersebut. Meskipun konsekuensi jika pabrik yang di bangun tidak sesuai, perusahaan Mahendra harus menyerahkan saham perusahaan sebesar lima puluh persen. Akhirnya pembahasan mereka telah selesai dengan sesuai harapan Dila berbeda dengan Melia yang tidak sesuai dengan harapannya. “Oke pembahasan kita selesai, aku akhiri dan aku pamit pergi. Satu yang perlu aku katakan, sebetulnya kerjasama ini sangat berguna untuk perusahaanmu karena jika perusahaanmu menyelesaikan proyek i
“Apakah kau bisu! Kenapa tidak bicara? Jawab pertanyaanku Melia!” teriak Satria. “Seandainya masalah ini terdengar sampai ke telinga Arka, kau akan habis Melia! Sebenarnya yang menyuruhku selalu berada di dekat Dila itu karena Arka!” ungkap Satria. Mendengar nama Arka di sebut membuat bola mata Melia melolot. Ia tak percaya bahwa Arka melakukan itu pada Dila. Yang ia tahu, dulu Arka seperti tidak peduli dengan Dila. “Apa kamu bilang, Arka?” tanya Melia memastikan. “Kenapa, kau tak percaya dengan semua perkataan aku?” senyum sinis Satria melihat wajah Melia yang terlihat takut. “Selain picik, kau juga wanita yang bodoh Melia!” “Maksudmu apa bicara seperti itu!” teriak Melia tidak terima dengan perkataan Satria. “Dulu sewaktu SMA, kau pernah kehilangan ponselmu yang katanya mahal itu bukan?” tanya Satria.
Sepanjang perjalanan Dila terus mengumpat karena ulah Melia yang membuatnya naik pitam. Kata demi kata yang di lontarkan Melia padanya selalu saja mengandung kemurkaan. Dila rasa lama kelamaan akan terkena darah tinggi jika terus terusan menghadapi Melia. Untungnya kini Dila mampu melawan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Tak terasa mobil Dila memasuki lataran perusahaannya, perjalanan yang menurut Dila terlalu cepat dari biasanya. Ah mungkin saja karena ia terus memikirkan soal Melia, wanita itu memang sangat hobi mengusik hidupnya dari dulu sampai sekarang. Setelah memakirkan mobilnya, Dila segera berjalan menuju lift lalu menekan tombol dua puluh delapan. Belum juga lift itu sampai di lantai yang di tuju, namun lift itu terbuka di lantai tiga belas karena ada seseorang yang akan menumpang lift tersebut. Seorang pria berwawakan tinggi yang membawa jas nya di tangan kanannya, dan kemeja yang di gulung me
Sepanjang perjalanan kedua insan itu selalu menampakkan senyum di wajahnya. Hari itu menjadi hari bahagia untuk mereka karena akan menjadi moment yang langka. Perbincangan ringan di dalam mobil membuat suasana tidak canggung dan sepi. “Kak kita mau kemana?” tanya Dila pada Arka yang sedang fokus menyetir. “Rencana aku mau ke Saggara Ancol Dil,” jawab Arka. “Mau ngapain kesana Kak?” “Jualan cilok sepertinya ide yang bagus untuk bisnis Dil,” jawab Arka asal. “Serius kamu mau jualan cilok Kak?” tanya Dila serius dengan perkataan Arka. “Kamu ikut saja Dil, nanti kamu akan tahu tujuan aku ajak kamu ke sana,” jawab Arka tertawa heran karena Dila menganggapnya serius. “Hmm baiklah,” sambung Dila memutar bola matanya malas karena pertanyaannya justru di tertawakan oleh Arka. Membutuhkan waktu tiga puluh menit