Share

Bab 2

Author: Ciang #17
last update Last Updated: 2021-08-06 01:19:58

Kadang aku bertanya-tanya, apakah aku terlalu banyak menuntut hidup? Ataukah aku yang terlalu malas berjuang? Entahlah, jawabannya tidak pernah jelas. Yang pasti, ada bagian dalam diriku yang selalu kosong, yang belum kutemukan. Itulah yang membuatku terus merasa gelisah, terus merasa tak lengkap, meski dunia di luar sana tampak berjalan seperti biasa.

Baru beberapa jam yang lalu, suara Bapak itu kembali terngiang di telingaku, membawa serta sejuta pertanyaan yang tak terjawab.

"Nilaimu terlalu bagus untuk masuk Unidar. Apa kau tidak berminat untuk mendaftar di Unpatti? Atau di salah satu kampus yang bisa menunjang prestasimu! Sayang sekali jika nilai sebagus ini hanya menghabiskan waktu di kampus swasta! Tapi di luar itu, saya pribadi dengan senang hati akan menerimamu tanpa harus mengikuti tes. Jarang sekali kami mendapat calon mahasiswa dengan nilai sebagus ini."

Bapak itu—sama seperti yang lainnya—sepertinya hanya ingin memberikan nasihat, atau mungkin memang sekadar ingin memujiku. Namun, meski kata-katanya terkesan tulus, aku tak merasa terbuai. Aku hanya sibuk mengisi formulir dengan tangan yang hampir tidak terasa.

Ini bukan kali pertama aku mendengar kalimat yang sama. Banyak orang—guru, teman, bahkan keluarga—selalu mengingatkanku agar kuliah di tempat yang lebih baik, di universitas ternama yang bisa menunjang masa depan. Beberapa di antaranya bahkan menawarkan beasiswa atau jalur langsung ke universitas besar, tanpa tes. Tapi aku? Aku hanya terdiam.

Setelah lulus SMA, banyak kerabat yang menawarkan bantuan. Pamanku sendiri, misalnya, ingin mengangkatku menjadi anak angkatnya dan menyekolahkanku di universitas pilihan Beliau. Ada juga teman ayah yang menawarkan biaya penuh untuk pendidikan doktoral, dengan segala fasilitas yang menggiurkan.

Tapi aku menolak semua tawaran itu dengan tegas. Tanpa alasan yang muluk-muluk, aku hanya tidak suka jika hidupku diatur oleh orang lain. Aku tak ingin hidup dalam bayang-bayang ekspektasi mereka, terutama jika itu bukan keinginanku. Aku bukan tipe orang yang senang dikendalikan—bukan oleh orang tuaku, apalagi orang lain.

Lagi pula, aku merasa tidak cukup pintar untuk hidup di dunia yang penuh dengan standar dan harapan tinggi. Aku tidak pernah mengikuti lomba, apalagi meraih prestasi yang bisa membanggakan. Yang aku ingat hanya kebiasaan burukku selama di SMA—sebuah kebiasaan yang selalu mendatangkan masalah.

Kerap kali surat panggilan untuk orang tuaku datang ke rumah. Dan prestasiku di sekolah hanya satu: mencatatkan rekor buruk sebagai siswa pertama dari angkatan kelas 10 yang mendapat surat panggilan pada tahun 2008. Ya, aku adalah pembuat masalah itu—prestasi terbaikku saat itu.

Awalnya, semuanya berjalan seperti biasa. Aku masuk sekolah lebih awal, dengan semangat yang sebenarnya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk bertahan. Pukul 06.30 pagi aku sudah berangkat dari rumah, berjalan kaki, menuju sekolah yang sangat terkenal. Bukan sekolah sembarangan, hanya mereka yang berprestasi yang bisa masuk. Tidak mudah. Harus ada sedikit keberuntungan.

Setiap calon murid harus mengikuti serangkaian tes, dan hasilnya akan diumumkan melalui SMS. Sederhana, namun cukup untuk membuat siapa pun menahan napas menunggu hasilnya.

Sekolah ini menjunjung tinggi kedisiplinan, peraturan yang ketat, dan prestasi yang tinggi. Semua muridnya diharapkan pintar dan berbakat, hingga seringkali sekolah ini ikut dalam lomba-lomba internasional.

Awalnya, aku semangat. Aku sempat diminta mengikuti bimbingan belajar bahasa Inggris untuk persiapan ke London dan bimbingan Geografi untuk persiapan ke Surabaya. Namun, kesempatan-kesempatan itu malah aku sia-siakan.

Dan benar kata orang, penyesalan selalu datang terlambat. Kesempatan yang kuabaikan itu, kini terasa seperti beban yang berat di dadaku. Aku tak pernah menyesal dengan keputusan-keputusan lain dalam hidupku, tetapi kali ini, untuk pertama kalinya, aku merasa sangat menyesal.

Andai saja saat itu aku bisa mengalahkan rasa malas dan lelah, mungkin sekarang aku sudah bisa bercerita tentang London, kota yang hanya bisa kulihat di layar televisi.

Surabaya, tidak terlalu kusesali. Itu masih dalam jangkauan, bisa dijangkau dengan biaya yang lebih terjangkau, tanpa perlu paspor atau visa. Kapan pun aku bisa ke sana, jika kantongku cukup tebal.

Namun, alasan terbesar aku menolak tawaran itu semua adalah karena waktu. Ya, waktulah yang menjadi penghalang. Waktu yang terlalu sempit untuk mengejar impian itu. Waktu yang membuatku merasa lelah dan malas mengikuti bimbingan belajar setelah jam sekolah.

Setiap hari, aku harus berjalan kaki menuju sekolah, berangkat pukul 06:30 pagi, pulang pada pukul 14:00, lalu berjalan kaki lagi untuk menaiki angkutan umum yang pulang ke rumah. Aku lelah, sangat lelah. Dan rasa lelah itu akhirnya mengalahkan semangatku.

Apa yang bisa aku lakukan jika hanya sedikit yang bisa kumiliki? Uang jajanku pun kadang tidak cukup. Aku bukan anak yang punya fasilitas atau kemewahan. Semua hal itu, semua yang terlihat mudah bagi orang lain, terasa sangat sulit bagiku. Kelas bimbingan? Itu bukan untuk orang sepertiku.

Dan di tengah segala kelelahan itu, aku tahu ada satu hal yang selalu mengganjal dalam pikiranku—aku yang merasa seperti orang biasa, dengan segala keterbatasan yang tak bisa kuatasi. Akankah aku terus seperti ini? Ataukah akhirnya akan ada satu titik di mana hidup ini memberikan jawabannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 35

    Alhamdulillah setibanya di Ambon, beliau langsung di bantu oleh Ayahnya Ahmad. Rumah pengungsi yang di janjikan pemerintah benar – benar dibangun, dengan ukuran 2×3m per unit. Sebagian orang mungkin akan bertanya – tanya mengapa rumah pengungsi yang dibangun terlalu kecil! Apa jadinya bila satu kepala keluarga berjumlah 4 atau 5 orang atau bahkan lebih. Karena ukurannya yang terbilang kecil, ada sebagian warga yang memilih untuk mencari tempat tinggal di tempat lain. Entah itu dengan mengontrak rumah atau hanya sekedar mencari kerabat dekat. Meskipun terbilang kecil setidaknya ada hunian, bukan! Kebetulan saat itu Ayahnya Ahmad adalah kepala RT di komplek pengungsian. Ibuku diberikan satu unit. Biar bagaimanapun, Ibuku adalah korban dari kerusuhan kota Ambon dan sudah seharusnya beliau mendapatkan bagiannya. *** Setelah Ibu menjelaskan keadaan kami. Alahamdulillah pamanku tidak keberatan, toh juga si Adit hanya mampir. Beliau meminta agar Ibuku tidak perlu repot – repot mengurus si

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 34

    Sebelum matahari terbit, aku langsung menuju pasar. Pagi ini aku sendirian, aku tidak mengajak Fahri ataupun Umar. Mereka masih tidur. Terlalu pulas untuk dibangunkan. Lagipula tidak ada lagi taruhan diantara mereka. Juli juga tidak pernah lagi bermalam disini. Dan itu membuat Umar tidak mempunyai partner untuk bertaruh dengan Fahri. Orang – orang mulai memadati pasar. Dari pedagang, pembeli hingga orang – orang yang hanya sekedar mampir untuk memanjakan mata. Semuanya menyatuh dalam satu frame.Ratusan kata terdengar samar – samar ditelingaku. Ada yang sedang menawar harga barang karena ingin membeli, ada juga yang hanya sekedar iseng menawar seakan ingin membeli dan itu sudah menjadi seni layaknya musik pengantar. Seakan ingin memberikan sentuhan terakhir, suara roda dua dan empat tidak luput dari perhatianku. Bukan karena itu mobil sport atau harley davidson, akan sangat lucu jika itu benar - benar terjadi. Itu hanyalah angkutan umum dan ojek yang selalu setia menunggu penumpang.

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 33

    “Apa istrimu memang selalu seperti itu! Atau,, apa karena aku membeli ini?” aku segera melontarkan pertanyaan saat aku turun dari motornya sambil menunjukan ponsel yang baru saja aku beli beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya aku sudah ingin bertanya sejak aku masih berada di rumahnya, tapi urung karena aku rasa itu akan terlihat sedikit tidak sopan, aku juga tidak ingin membuat suasana menjadi canggung. Dan aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya. Sejujurnya aku tidak akan terlalu perduli jika saja ini terjadi kepada orang lain. Tapi biar bagaimanapun dia adalah iparku, istri dari kakak kandungku. Aku tidak bisa diam saja sebagaimana biasanya aku bersikap. Kebetulan di halaman rumah ada beberapa kursi, kami segera duduk. Dia merabah sak celananya, meraih bungkusan rokok, mengambil sebatang. Pangkal bibirnya mengapit bagian filter kemudian menyalahkan pematik sebelum satu tarikan itu menyemburkan asap yang cukup menutup sebagian wajahnya. “Aku rasa pertanyaanmu suda

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 32

    Menerutku, pemicunya tidak lain adalah karena hubungan darah. Alih – alih memikirkan hubungan darah, skenario terburuknya bahkan kalian akan di peralat. Berbisnis dengan keluarga lebih cenderung berakhir dengan perselisihan. Rasa was – was tidak akan terhindarkan. Ya, tapi kembali lagi, selama bisa me_manage hubungan darah dalam bisnis, aku rasa semuanya akan baik – baik saja. Lain lagi ceritanya jika membangun sebuah bisnis dan bekerja sama dengan orang luar, kedua bela pihak akan saling terbuka dan berusaha meminimalisir kesalah pahaman. Pritoritasnya adalah kepercayaan. Dari pada hanya sekedar memanfaatkan keuntungan pribadi, mereka akan lebih cenderung meningkatkan progres usaha yang di jalankan. Kalaupun ada yang berani bermain di belakang, itu karena memang dari awal sudah di rencanakan. Tapi kemabli lagi kepada diri sendiri. Selama tidak ada niatan untuk memanfaat kerabat atau pun orang luar! Tidak akan ada keriguan yang berarti. Setidaknya semuanya akan baik – baik saja, buk

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 31

    Aku tidak perduli bagaimana sistem gaji disini khususnya bagi pedagang orang buton yang menyimpan gaji karyawan dengan iming – iming akan di berikan saat mereka pulang kampung atau paling tidak harus bertahan selama 3 tahun dengan imbalan akan di bantu menjajaki usaha dengan bantuan modal. Jadi begini! Pertama, setelah karyawan kios mampu bertahan selama 3 tahun. Mereka akan diberikan tanggung jawab untuk menjalankan sebuah usaha. Dalam hal ini mereka akan di berikan kios untuk di jalankan sendiri tanpa campur tangan orang lain. Mulai dari biaya kontrak kios hingga barang – barang yang di perlukan sesuai dengan kebutuhan pasar. Kedua, mereka akan di minta untuk mengisi barang – barang yang di butuhkan. Karena baru akan memulai sebuah usaha. Mereka tidak di berikan pilihan selain mengambil barang dari sang Bos. Setelah semua keperluan sudah terlaksana, Barulah sang Bos dan karyawan akan menghitung semua biaya yang di keluarkan. Biasanya, seorang karyawan di gaji Rp. 300.000/bulan. K

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 30

    Saat aku menatap salah satu di antara mereka, aku tersenyum sambil sedikit membungkukan badan, berlalu mengikuti Kakak Ku. Selanjutnya aku asyik menonton melihatnya memasak.Fahri sudah pernah memberitahuku soal Kakak ku yang jago memasak. Dia menyalahkan kompor, menyiapkan wajan, tak lupa juga menuangkan minyak goreng.Aku mengamatinya dengan cermat, barangkali saja aku bisa sedkit belajar. Sambil menunggu minyak di panaskan. Dia menuangkan tepung bumbu di baskom mini, sepertinya dia akan membuat filet udang.Pyak,, pyak,, pyak!Suara itu terdengar mendominasi saat udang yang memang sudah di baluri tepung bumbu berenang ke dalam minyak yang sudah panas. Sambil menunggu, Perhatiannya teralihkan, dia mengambil pisau dan talenan.Mengiris beberapa bawang, cabe dan tomat. Tidak akan berlebihan jika aku berkata bahwa aku sedang menyaksikan perlombaan memasak, hanya saja kontestan yang mengikuti lomba hanya dia sendiri. Hehehe!Dia mengambi

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 29

    Ada begitu banyak gadis di pasar baru. Dan diantara mereka belum ada yang membuat jantungku berdebar, atau paling tidak membuatku tertarik. Ya, mungkin karena di hatiku masih ada Qilla. Meskipun aku belum mendengar kabar tantang Qilla, rasanya terlalu naif jika aku mengatakan bahwa aku tidak merindukannya. Aku sangat rindu padanya. Meskipun dia tidak pernah lagi mengabariku, aku pasti akan mencarinya setibaku di Ambon nanti. Entah 1, 2 atau 3 tahun berada disini aku tetap akan mencarinya. Aku butuh penjelasan. Lagi pula tidak akan semudah itu menghilangkan perasaan yang sudah tertanam selama 3 tahun. Namun, Seakan semua perasaanku untuk Qilla tidak berarti apa – apa! Gadis itu mampu menyihirku hanya dengan mendengar suara dan namanya. Aku masih tidak begitu mengerti dengan apa yang aku alami saat ini! Rasanya terlalu rumit. *** Beberepa keluarga berkumpul di bagian belakang. Mereka sedang asyik nonton TV. Pemandangan yang tidak begitu berbeda deng

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 28

    Siapa sebenarnya gadis ini? Mengapa hatiku seolah – olah sedang mencarinya! Apa karena aku kesepian? Ah, tidak! Menurutku itu bukan alasan yang tepat. Di pasar baru, Sentani, aku sering melihat banyak gadis. Selain para anak mudah, ada juga gadis – gadis yang merantau atau paling tidak, mereka mengikuti keluarga mereka untuk datang kesini. Ada yang fokus melanjutkan pendidikan, ada juga yang sekedar menjaga kios untuk mencari pengalaman. Mereka adalah gadis – gadis Buton yang baru menapakan kaki di kota. Bicara soal karakter, mereka masih terlampau jauh dengan gadis – gadis kota. Mereka masih harus banyak belajar. Lupakan soal attitude! Aku pribadi tidak begitu tertarik dengan mereka. Bukan karena aku membenci mereka! Tapi aku pernah berjanji tidak akan menjalin hubungan asmara dengan gadis Buton, dan aku tidak punya alasan yang jelas untuk itu. Ya, meskipun begitu, aku mengakui 4 dari 10 di antaranya masih terlihat sedap di pandang. It

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 27

    Selama ini aku tidak pernah berinteraksi langsung dengan mereka. Lebih tepatnya aku belum mengenal Kakak Ipar ku dengan baik. Meskipun aku selalu menyetor hasil penjualan barang kepadanya selama Kakak ku berada di Ambon. Aku hampir tidak pernah berbasa – basi dengannya. Jarak antara rumah Kakak ku dan tempat tinggalku sebenarnya tidak terlala jauh. Masih bisa di tempuh dengan berjalan kaki. Kebetulan satu arah dengan pasar baru, Sentani. Dia hanyalah seorang pria yang menurutku terlalu malas untuk berjalan. Itu bisa di lihat dari tubuhnya yang gempal dan perutnya yang semakin buncit. Apa jadinya jika aku memiliki tubuh yang sama dengannya. Memikirkannya saja membuatku merasa ngeri. Mereka tinggal di sebuah ruko. Jika aku tidak salah, panjang bangunannya kurang lebih 20 meter dan untuk lebarnya sendiri aku tidak begitu yaikin berapa meter! Karena semakin kebelakang, bangunannya semakin lebar. Yang jelas lebar pintu depannya mungkin sekitar 5 atau 6

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status