Share

Bab 2

Author: Ifly
Entah karena kecewa, aku mulai memandangi Dimas lebih saksama.

Dia mengenakan setelan jas mewah model slimfit buatan desainer ternama, menonjolkan tubuh atletisnya, dengan garis otot yang jelas terlihat hasil dari latihan rutin bertahun-tahun. Ditambah sikapnya yang hangat dan sopan, setiap gerak-geriknya memancarkan aura kemewahan. Belum lagi, matanya yang dalam dan wajahnya yang tampan…

Tiba-tiba, bayangan suamiku muncul di benakku…

Suamiku pemarah dan tidak sabaran. Sejak punya anak, dia hampir tak pernah di rumah seharian. Kalau pulang, tubuhnya selalu bau alkohol. Tiap kami bercinta, perutnya yang buncit selalu jadi penghalang di antara kami.

Jika dibandingkan, kami bak langit dan bumi.

Saat itu, aku mulai bertanya-tanya, apa yang membuatku dulu jatuh cinta pada Ragil?

Aku menghela napas panjang dan berkata, “Pak Dimas, boleh aku tahu di mana bayinya?”

“Mari ikut aku,” jawabnya. Suaranya seperti magnet, begitu menggoda!

Wajahku memerah. Aku mengikuti Dimas dari belakang. Mataku tertuju pada tubuhnya yang berbentuk “V” sempurna. Tanpa sadar, aku menelan ludah, lagi-lagi kagum betapa sempurnanya dia.

Pikiranku melayang, terlintas imajinasi liar, membayangkan sensasi saat dia menindihku di ranjang dan menggila bersamaku sekali saja.

Dimas membawaku ke kamar bayi. Di dalam, bayi itu digendong pengasuh, dibujuk dengan suara lembut, tapi tetap menangis kencang. Rupanya dia sangat lapar.

Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, lalu tersenyum sambil menggendong bayi itu.

“Halo, aku ibu susuannya. Berikan dia padaku.”

Mungkin karena mencium aroma ASI dariku, si bayi terus membuka mulutnya dan meronta-ronta ke arah dadaku. Ketika aku melihat Dimas, pipiku langsung memerah.

“Silakan, aku akan tunggu di ruang tamu.”

Mungkin melihat kecanggungan di wajahku, Dimas tersenyum dan berbalik pergi. Sikapnya itu membuat kesanku padanya semakin baik.

Aku duduk di kursi sambil menggendong bayi, menurunkan kerah untuk memperlihatkan payudara yang penuh, lalu mulai menyusui. ASI-ku melimpah meskipun sudah terpakai untuk anakku sendiri.

Melihat bayi itu menyusu dengan lahap, dengan ujung mulutnya yang masih tersisa sedikit cairan putih, rasa sakit di payudaraku perlahan menghilang. Payudara yang tadinya keras, kini terasa lembut. Akhirnya aku merasa nyaman...

Namun entah kenapa, saat menyusui, aku terus merasa ada tatapan panas ke arahku. Aku menoleh ke pintu beberapa kali, tapi tak melihat siapapun yang mengintip. Aku mengerutkan kening, bingung. Apa aku hanya berhalusinasi?

Setelah kenyang, bayi itu pun tidur nyenyak. Aku membaringkannya perlahan di ranjang bayi.

“Maaf, apa sudah selesai?” Suara Dimas terdengar dari pintu saat aku baru saja merapikan kerah baju.

Aku mengangguk pelan, lalu menjawab, “Silakan masuk, Pak Dimas.”

Dimas melangkah masuk. Dia menatap si kecil yang pulas, lalu tersenyum.

“Terima kasih, kalau bukan karena kamu, entah bagaimana jadinya si kecil tadi.”

Aku tersipu, menggelengkan kepala.

“Nggak masalah, Pak Dimas. Memang sudah menjadi tugasku.”

“Baik, aku akan kasih bayaran hari ini terlebih dahulu,” ucap Dimas sambil membuka ponselnya dan men-transfer uang enam ratus ribu kepadaku.

“Kita bertemu lagi besok, di waktu yang sama, ya.”

“Terima kasih, Pak!” ucapku dengan tulus.

Dimas tak hanya berwibawa dan menawan, tapi juga murah hati. Dia tersenyum sambil melambaikan tangan.

“Itu sudah hakmu. Bukannya kita sudah sepakat soal harga di awal?”

Aku mengangguk kuat. Namun, payudaraku yang lembut ikut bergetar. Dua ujung payudara yang kencang membuat kemejaku membentuk lengkungan indah. Saat ujung payudaraku menggesek kemeja, tubuhku bereaksi tiba-tiba.

Sensasi itu datang lagi!

“Ehm... Pak Dimas, kalau nggak ada urusan lain, aku mau pamit.”

Untuk menutupi rasa malu, aku sengaja buru-buru pergi.

Belum sempat aku selesai memakai sepatu, tubuhku terhuyung dan jatuh ke dalam pelukan yang kuat dan hangat.

Tanpa kusadari, tanganku menyentuh sesuatu yang panas melalui celana tipisnya.

“Pak Dimas… Bapak…” Aku kaget menatapnya.

Dimas hanya menatap lembah di antara dadaku. Wajah tampannya yang tegas tampak dingin namun memikat. Dia menelan ludah, tatapannya penuh nafsu. Aku merasa canggung, menundukkan leherku sebentar.

Aku mencoba melepaskan diri dari pelukannya, tapi perbedaan kekuatan antara pria dan wanita membuat usahaku tampak seperti menolak, sekaligus menggoda. Satu tangannya melingkari pinggangku, sementara tangan yang lain menyentuh dadaku yang berisi.

Gawat… celana dalamku sepertinya sudah basah...

Aku panik dan berusaha bangkit.

“Jangan, Pak Dimas! Aku… pekerjaanku cuma menyusui anak Bapak…”

Aku tergagap, tak mampu mengucapkan satu kalimat utuh pun. Saking gugupnya, aku sampai bisa mendengar detak jantung sendiri.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Aku Menjadi Ibu Susuan Profesional   Bab 8

    Setelah momen kenikmatan itu berlalu, hatiku langsung dipenuhi rasa bersalah.Tiga tahun pacaran, dua tahun menikah… tapi aku tak mampu menahan godaan di luar sana. Setiap kali melihat wajah suamiku, rasa bersalah itu makin menyiksaku. Aku mencoba menebusnya dengan berbagai cara. Namun, tiap kali bertemu Dimas, aku kembali tak berdaya di hadapan nafsu.Aku dan Dimas terus menjalani hubungan terlarang ini dalam konflik batin yang tak berujung, tanpa sedikit pun rasa menahan diri. Aku pikir, kami bisa merahasiakannya selamanya. Tapi ternyata, Ayla mengetahuinya.Suatu hari, setelah selesai menyusui bayi, Ayla datang. Dia memegang beberapa lembar foto memalukan kami berdua. Fotonya dilemparkan tepat ke wajah kami, membuatku terkesiap.“Kalian berdua benar-benar nggak tahu malu!” teriaknya.“Bilangnya menyusui anak, tapi kalian malah bermain serong! Dimas, apa kamu sudah mengincar wanita ini sejak awal? Pantas saja banyak calon ibu susuan yang kamu tolak!”Didikan yang baik membuat Ayla ta

  • Ketika Aku Menjadi Ibu Susuan Profesional   Bab 7

    Beberapa hari terakhir, aku rutin memerah ASI ke dalam botol kaca untuk Dimas. Dia selalu meminumnya selagi masih hangat, lalu sisanya kusimpan di lemari es untuk dipanaskan kembali saat malam ketika sakit lambungnya kambuh.Selama berinteraksi dengannya, aku sadar Dimas cukup tahu diri. Setiap janjinya ditepati. Bahkan saat aku memerah ASI, dia selalu memalingkan wajahnya. Sikapnya itu membuatku tenang, sampai aku merasa nyaman dan mulai berani tampil lebih bebas. Aku pikir, hari-hariku akan terus berjalan damai seperti ini.Tapi rupanya aku salah. Rutinitas menyusui ini membuat semua bajuku sesak, jadi yang tersisa cuma pakaian tipis dan agak terbuka. Pagi ini, semua bajuku kotor terkena noda susu. Mau tak mau, aku pakai tank top ketat yang sudah lama tak tersentuh. Tanpa bra khusus, dua 'tonjolan' di dadaku jadi begitu jelas dan mencolok.‘Sudahlah, begini saja. Mungkin hari ini Dimas nggak ada di rumah,’ gumamku dalam hati.Setibanya di rumah Dimas, aku langsung ke kamar untuk meny

  • Ketika Aku Menjadi Ibu Susuan Profesional   Bab 6

    Seperti dugaanku, apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Saat melihatku berdiri kaku di ruang tamu, Dimas langsung memintaku duduk, ada hal serius yang harus dibicarakan.Hari ini, dia tak lagi menatap dadaku seperti kemarin. Dia tampak lebih sopan dan berwibawa. Setiap gerak-geriknya memancarkan aura pria sejati.Entah kenapa, melihatnya seperti ini justru membuat hatiku sedikit kecewa. Padahal, kemarin dia masih…Aku buru-buru menggeleng dalam hati. Astaga, apa yang kupikirkan ini! Wajahku memanas, pipiku merona, dan aku hanya bisa mendesis pelan.“Soal kejadian kemarin, itu memang salahku. Aku sungguh-sungguh ingin meminta maaf.”Permintaan maaf yang tak terduga itu membuatku panik. Aku buru-buru mengibaskan tangan.“Sebenarnya, ada alasan kenapa aku minum ASI,” jelas Dimas kemudian.Ada alasan? Aku hampir saja memutar bola mata.Dia mematikan rokok di asbak, lalu duduk lebih tegak, wajahnya berubah serius.“Beberapa tahun lalu, saat perusahaan baru berdiri, aku benar-benar bekerja m

  • Ketika Aku Menjadi Ibu Susuan Profesional   Bab 5

    Malam itu, setelah pulang ke rumah dan menyusui anak, aku langsung pergi mandi. Biasanya aku jarang keluar rumah, tapi setelah seharian beraktivitas, tubuhku terasa lengket, jadi kali ini aku mandi agak lama.Saat kembali ke kamar sambil mengeringkan rambut, kulihat suamiku dengan perut buncitnya terbujur di atas ranjang, mendengkur keras… bahkan tanpa malu mengeluarkan kentut.Inikah pria yang dulu begitu kucintai?Hatiku seketika dipenuhi rasa putus asa.Aku teringat suami Ayla. Bukan hanya tampan dan berwibawa, tubuhnya juga atletis. Dan tanpa sadar, wajahku kembali memerah mengingat momen ambigu sore tadi.‘Maya, apa yang kamu pikirkan?’ Aku menepuk pipiku sendiri, mencoba mengusir pikiran kotor itu.Memang, suamiku payah di ranjang, sikapnya pun sudah tak sehangat dulu lagi. Namun, suamiku sebenarnya cukup baik. Aku tak boleh mengkhianatinya hanya demi mengisi kekosongan batin.Aku membuang pikiran gila itu, lalu merebahkan diri di ranjang, terlelap dalam tidurku. Namun malam itu,

  • Ketika Aku Menjadi Ibu Susuan Profesional   Bab 4

    Aku memejamkan mata karena malu. Dalam hati, aku terus merutuk.‘Maafkan aku, Suamiku. Aku benar-benar tak bermaksud seperti ini.’Namun respons tubuhku tak bisa bohong, rasa kesemutan menjalar ke seluruh badan, seolah aliran listrik menggetarkanku dari dalam.“Tenang saja, Sayang! Aku hanya lapar dan ingin melampiaskan. Aku nggak akan melakukan hal di luar batas,” bisik Dimas.Suaranya lembut, tapi lidahnya yang nakal menyapu lembut mahkota suciku. Setiap hisapan membuatku bergidik dan tanpa sadar menegeluarkan desahan nikmat.Aku terkejut mendengar suaraku sendiri. Begitu cepatkah aku bereaksi?Namun, celana dalamku yang basah membuktikan segalanya. Setiap sarafku dipenuhi hasrat seakan berteriak… aku butuh ini!Tangannya membelai pinggangku dengan lembut. Setiap sentuhannya membuatku merinding, seolah ribuan semut sedang menggerogotiku, membangkitkan hasrat terdalamku.“Pak Dimas…” Aku ingin menolak, tapi hisapan kuatnya membuat pikiranku seketika kabur.Aku terombang-ambing antara

  • Ketika Aku Menjadi Ibu Susuan Profesional   Bab 3

    Tangannya mulai meraba bagian sensitifku, sementara senyum nakal muncul di sudut bibirnya. “Mbak Maya… anakku memang sudah kenyang, tapi aku…” Suaranya serak, penuh godaan, “Masih belum.”“Jangan khawatir, aku bisa membayarmu lebih. Lagi pula, ASI-mu melimpah. Anggap saja aku membantumu mengurangi rasa sakit.”Sepasang mata tajam Dimas menyala, penuh gairah. Tatapannya begitu menggoda hingga sulit diungkapkan dengan kata-kata.Jantungku langsung berdebar kencang. Tubuhku memanas tanpa alasan, kedua kakiku bergesek perlahan. Sensasi ini… lebih menggairahkan daripada sekadar menjadi istri, lebih nikmat daripada sekadar menjadi simpanan, dan lebih memabukkan daripada hubungan terlarang yang tak pernah bisa dimiliki.Sensasi terlarang itu tiba-tiba memenuhi seluruh tubuhku, mengguncang setiap saraf sensitifku.“Pak Dimas, aku … aku…”Aku tak tahu harus bagaimana menjelaskan penderitaanku. Ingin menolak, tapi begitu melihat tatapannya yang dalam, semua kata penolakan langsung tercekat di t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status