"Waalaikumsalam." Aku dan Kang Marwan menjawab bersamaan. "Loh, kok Akang sudah pulang? Enggak turun?" lanjutku, bertanya pada pria yang tak lain adalah suamiku sendiri.Iya, Kang Surya lah yang menghampiri aku dan Kang Marwan di warung. Dia duduk di belakangku, membuat tubuh ini bergeser agar tidak memunggunginya. "Tadinya mau turun, tapi gak jadi." "Kenapa, Sur? Kini Kang Marwan yang bertanya. "Tidak apa-apa, Kang. Lagi gak pengen aja. Ngomong-ngomong, ini pada ngapain nongkrong di warung?""Tadinya, aku mau ke rumah kamu, Sur. Tapi, karena tahu jam segini kamu pasti di laut, akhirnya aku mampir saja ke warung untuk ngopi. Nah, kebetulan Aisyah ke sini mau beli garem, katanya. Aku ajak duduk aja, karena ada sesuatu yang ingin aku bahas." Kang Marwan menjelaskan. Suamiku manggut-manggut. Karena sudah ada Kang Surya, akhirnya Kang Marwan meminta kami untuk bicara di rumah saja. Aku pun langsung membeli bumbu dapur yang tadi sempat tertunda, kemudian pulang dengan dibonceng Kang
"Syah, jika nanti Neng Rahma pulang bersama Akang? Kamu tidak akan keberatan kan, kalau dia tinggal di sini bersama kita?" "Akang ...." Aku mengambil kedua tangan suamiku. "Kalau aku keberatan, tidak mungkin aku menyuruh Akang mencari tahu tentang Neng Rahma. Tidak mungkin aku mengatakan ada permintaan dia kepada Akang. Demi Allah, aku sangat ridho dia tinggal bersama kita di sini. Pergilah, Kang. Bawa Neng Rahma pulang," kataku seraya menatap sepasang bola mata cokelat di depanku. Kang Surya mengangguk pelan. Dia yang sudah rapi dan siap untuk pergi, langsung memelukku seraya berbisik di telinga. Memintaku mendoakan dia, agar diberikan kelancaran dalam perjalanan yang akan dia tempuh hari ini. Meskipun di dalam hati terbesit tanya, kenapa Kang Marwan tiba-tiba meminta pergi hari ini, tapi kejanggalan itu tidak aku sampaikan pada Kang Surya. Aku tetap mendoakan yang terbaik, meminta sama Sang Pencipta agar melindungi suamiku di mana pun ia berada. "Saga, Bapak pergi dulu, ya? Bap
Sambungan telepon langsung terputus setelah suara wanita tadi mengucapkan kalimat yang membuat dadaku sesak. Aku menyimpan ponsel, meraba dada seraya terus mengucapkan istighfar. "Ya Allah, Neng ...," gumamku dengan mata yang berlinang. Di sini, aku bisa merasakan bagaimana perasaan Kang Surya sekarang. Jika aku saja merasa sedih dan terkejut, apalagi dia. Ayah mana yang rela anaknya dijual? Ayah mana yang tidak marah, jika putrinya menjadi santapan para pria hidung belang? Tidak mampu menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk, aku pun menangis tersedu di samping tubuh Sagara yang sudah terlelap. Bukan hanya Neng Rahma yang ada dalam bayangan, tapi Kang Surya pun turut hadir menjadi penyebab jatuhnya air mata. Bagaimana keadaan suamiku saat tahu semua ini? Masihkah dia bisa tenang dan tersenyum? Ponsel yang tadi kusimpan asal, kini kuambil kembali. Aku mengirimkan pesan pada Kang Surya, memberikan kekuatan dari kejauhan. [Akang yang sabar, tetap tenang dan jangan terb
"Dia apa, Kang?" Aku kembali bertanya karena tak sabar. "Surya masih di kota. Dia tidak mau pulang tanpa Neng Rahma, Syah. Katanya, dia akan mencari celah agar bisa membawa kabur putrinya. Iya, sih, sebagai seorang ayah, Akang pun merasakan apa yang Surya rasakan. Mana mungkin bisa tenang, jika tahu keadaan darah daging kita berada dalam masalah. Apalagi, Neng Rahma bekerja jadi wanita malam, bukan karena inginnya. Tapi karena tekanan dan paksaan dari orang lain," ujar Kang Marwan menjelaskan. Air mataku langsung turun tanpa bisa dicegah. Iya, paham. Aku mengerti bagaimana perasaan suamiku. Sebagai orang tua, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama, jika itu terjadi pada buah hatiku. Meskipun seorang ayah tidak selalu ada di setiap waktu karena harus mencari nafkah, tapi kasih sayangnya tak kalah besar dari seorang ibu. Aku percaya, jika Kang Surya adalah ayah yang baik. Dia pria bertanggung jawab yang tidak akan membiarkan anaknya sendirian menghadapi ini semua. Aku bersaks
"Wa–waalaikumsalam ... Akang! Alhamdulillah, akhirnya Akang pulang juga!" Aku berseru, lalu memeluk suami yang sangat aku tunggu kepulangannya."Kenapa lama, Kang? Akang baik-baik saja, kan?" tanyaku lagi, lalu memindai tubuh suamiku dari atas sampai bawah. Kang Surya tersenyum tipis, lalu di menoleh ke belakang di mana seseorang tengah berdiri seraya menunduk dalam. "Masya Allah, Neng .... Sini masuk, Geulis." Aku menarik pelan tangan Neng Rahma yang bergeming di belakang ayahnya. Seperti pada Kang Surya, aku pun memeluk Neng Rahma, meskipun tidak ada balasan dari gadis itu. Sama seperti terakhir datang ke sini, wajah Neng Rahma masih pucat dan terlihat tidak bersemangat. Mungkin dia lelah karena perjalanan jauh dari kota. "Saga, sudah tidur, Syah?" tanya Kang Surya seraya merendahkan tubuh, lalu duduk di kursi kayu paling ujung. Neng Rahma mengikuti ayahnya. Dia pun duduk di samping Kang Surya."Sudah tidur sejak tadi, Kang. Aku ke dapur dulu, ya? Mau ambil minum." Tanpa me
Hatiku terenyuh melihat Sagara yang ada di pangkuan Neng Rahma.Aku tidak menyangka, jika anak sambungku mau mengajak ngobrol Saga sampai anak itu tertawa. Mudah-mudahan ini awal yang baik buat mereka ke depannya. Aku akan sangat bahagia jika Neng Rahma mau menganggap Sagara sebagai adiknya. Meskipun Saga tidak lahir dari rahim yang sama dengannya. Aku yang tidak ingin mengganggu mereka, memilih duduk seraya menonton televisi. Tidak lama kemudian, Kang Surya keluar dari kamar Neng Rahma seraya menggendong putra kami. "Wah, ternyata gorengannya sudah jadi?" ujar suamiku. "Sudah, Kang. Si Eneng lagi apa?" "Lagi mau mandi, katanya.""Oh, kalau gitu, aku masakan air, ya? Biar dia enggak kedinginan." "Tidak usah, Bu," ujar gadis manis yang baru saja keluar dari dalam kamarnya. "Aku mandi air dingin saja, biar seger."Aku yang hampir berdiri, akhirnya duduk kembali seraya mengangguk dan tersenyum. "Kang, tadi aku lihat si Eneng ngajak Saga ngobrol, rasanya hati ini adeeeeem ... bange
"Dia juga anakku, Salsa! Dan aku pun berhak atas Neng Rahma! Aku tidak akan membiarkan putriku dibawa oleh manusia setengah siluman sepertimu! Kamu wanita stres! Kamu tidak pantas dipanggil ibu karena kelakuanmu yang tidak punya nurani. Kamu menjual anakku, kamu menyuruh dia melayani pria hidung belang dengan alasan balas budi karena telah bertaruh nyawa melahirkan dia. Kamu pikir, dia mau dilahirkan oleh wanita murahan sepertimu? Tidak! Aku yakin anakku tidak sudi beribukan wanita sepertimu!" Kang Surya berujar menggebu-gebu. Dada suamiku naik turun, sama seperti mantan istrinya yang wajahnya sudah sangat merah padam. "Jaga mulutmu, Kang Surya." Suara Teh Salsa melemah. "Lupa, kalau kamu pernah menggilaiku, sebelum akhirnya seleramu merosot turun pada wanita seperti dia?"Aku memalingkan wajah saat telunjuk Teh Salsa tertuju padaku. "Dia lebih baik darimu. Derajat Aisyah jauh lebih tinggi darimu yang hanya seorang wanita penghibur," ujar Kang Surya membela. Teh Salsa yang merasa
Beberapa hari setelah kejadian datangnya Teh Salsa, Neng Rahma jadi buah bibir di seantero desa. Anak sambungku itu sampai tidak mau keluar rumah, merasa malu dan jijik pada dirinya sendiri. Aku dan Kang Surya terus memberikan dukungan, memberikan semangat pada dia agar tidak usah menanggapi ucapan orang lain yang menyakiti hati. Akan tetapi, tetap saja. Neng Rahma lebih suka mengurung diri daripada bersosialisasi. "Aku nggak mau ikut acara perpisahan sekolah, Pak. Aku malu, nanti pasti diledekin teman-teman," ujar Neng Rahma pagi ini. Aku dan Kang Surya saling pandang, kemudian mengembuskan napas seraya beralih melihat pada Neng Rahma. Acara perpisahan di sekolah akan dilaksanakan esok hari. Namun, Neng Rahma enggan menghadiri. Iya, aku paham perasaan anak itu. Jika jadi dia pun, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Bahkan lebih dari itu. "Yasudah, kalau gak mau mah, gak apa-apa. Tapi ... nanti kamu gak ada di foto alumni sekolah, loh." Kang Surya masih berusaha membujuk.