Dian segera masuk ke dalam kamarnya, dan benar saja telah ada dua orang MUA yang sudah siap memoles wajah Dian. "Kalian siapa? Kenapa ada di kamar saya?" tanya Dian. "Selamat sore, Kak. Mari duduk biar saya bantu," bukannya menjawab seorang MUA itu segera membawa Dian duduk di kursi yang sudah disediakan. "Kalian mau apa sih?""Releks ya, Kak.""Bagaimana aku bisa tenang?""Sudah Dian, diam sebentar nanti juga kamu akan tahu," ujar sang ibu membuat teka teki kembali. "Tapi ini ada apa dulu, Bu?" bukannya menjawab bu Dewi pergi begitu saja. Ingin rasanya Dian kabur saat itu juga, berbagai pikiran buruk telah memenuhi otaknya. 'Bagaimana kalau aku di paksa nikah sama juragan seperti di film-film?''Badannya gendut, perutnya buncit, istrinya banyak. Tidak!' teriak Dian tiba-tiba. "Stop!" "Kalian tidak usah memoles wajahku lagi. Aku tak mau di nikahkan!" bentak Dian. Ke dua MUA itu terus menenangkan Dian, dan membujuk Dian agar mau di make up. Namun sudah setengah jam mereka memb
Satu minggu berlalu, Sella tinggal sendiri di rumah yang siapkan Lucas untuknya. Namun setiap hari selalu ada pelayan khusus yang melayani semua kebutuhan Sella. Pagi hari sekali, Anita sudah izin pada Lucas jika dirinya akan bertamu ke rumah Sella. Sengaja ia datang pagi-pagi, agar Anita tahu kelakuan Sella yang sebenarnya. Anita menepikan mobilnya beberapa meter dari rumah Sella dan dirinya datang dengan berjalan kaki. Agar Sella berpikir jika Tika pelayanannya yang datang. "Sebentar!" jawab Sella dari dalam, pada saat Anita mengetuk pintu. Sella berjalan ke arah pintu, ia sengaja tidak menggunakan kursi roda karena Tika sudah mengetahui jika ia bisa berjalan normal. "Kok tumben jam segini sudah datang, Tik..," ucapan Sella terhenti tatkala melihat siapa orang yang datang. "Assalamu'alaikum, Mbak.""Kamu? Kenapa kamu ke sini?""Masuk, Mbak. Tak baik bicara di luar rumah nanti kedengaran orang lain.""Pergi kamu dari sini!" usir Sella. Tapi Anita memilih untuk menerobos masuk
Mendapatkan kabar buruk tentang istrinya, Lucas segera meninggalkan meeting penting yang baru saja di mulai. Baginya tidak ada yang lebih penting dari pada Anita. Dalam keadaan panik. Lucas memberikan kabar pada sang ibu untuk segera datang ke rumah sakit yang disebutkan Tika. "Bunda aku minta tolong segera datang ke rumah sakit Kasih Harapan kemungkinan aku terlambat.""Ini Bunda juga sudah persiapan mau jalan.""Bunda dengan siapa?""Bunda sama suster, karena Shakira rewel tidak bisa ditinggal.""Kalau begitu Bunda hati-hati.""Kamu juga ya. Usahakan tetap fokus mengemudi. InsyaAllah semuanya akan baik-baik saja." Bunda Clara memberikan nasihat pada anaknya sebelum memutuskan panggil itu. Tiga puluh menit berlalu. Lucas sudah sampai di pelantar rumah sakit, berkali-kali ia menelpon bunda Clara namun tidak mendapatkan jawaban. Lucas masih berpikir jernih, ia segera ke bagian informasi untuk menanyakan keberadaan Anita saat ini. "Jadi Bapak suaminya?" tanya suster yang berjaga.
Kepergian orang baik memang selalu memberikan kesan dalam bagi orang yang ditinggalkan. Begitu juga di kediaman Lucas saat ini, di halaman depan di penuhi dengan pekarangan bunga yang dikirim orang-orang mengantarkan kepergian bunda Clara. Anita terduduk lemah di atas kursi roda, baru saja dia kehilangan janin dalam kandungannya dan sekarang harus menerima kenyataan jika Shakira anaknya dan bunda Clara meninggal dalam kecelakaan tragis itu. Beberapa kali Anita pingsan karena tak kuat menerima kenyataan ini. Namun, dirinya memaksakan ikut menyaksikan anak dan mertuanya pergi ke tempat peristirahatan terakhirnya. "Bunda, Shakira," lirih Anita hampir tidak terdengar. Selesai di pemakaman, Lucas sibuk menghubungi orang-orang kepercayaannya. Ia sibuk mencari bukti kenapa kecelakaan ini terjadi. "Bagaimana mungkin bisa kabel rem mobil itu terputus, sedangkan aku rutin menservis?" 'Saya tidak tahu, Bos. Tapi memang seperti itu kenyataannya.'"Selidiki terus!" ucap Lucas singkat. Ia seg
"Auhhh!" Marwan memegangi dadanya yang terasa sesak. Seakan ada beban besar yang menghimpit bagian dalam hatinya. "Kenapa Pa?" tanya Yuni. "Dadaku sesak, Ma."Yuni melirik sekilas, "loh kok Papa nangis sih? Ada apa?"Bukannya menjawab Marwan malah semakin terisak, hatinya bagaikan diiris sangat sakit. Namun ia juga tak paham kenapa bisa seperti itu. "Anakku," lirih Marwan pelan. "Maksud kamu apa, Pa?""Anakku. Aku kangen anakku Ma.""Makanya Pa. Jangan kamu habiskan waktumu untuk bekerja, Al juga membutuhkan kamu. Dia juga ingin bermain bersama kamu.""Bukan Al Ma. Papa kangen anak perempuan Papa."Brak! Yuni menggebrak meja dengan kasar. Ia segera berdiri. "Maksud Papa apa? Sejak kapan kamu ingat anak perempuan murahan itu Pa?""Jaga bicara kamu Ma. Kamu tidak ada hak untuk memaki Anita dan juga anakku."Yuni terkekeh mendengar pembelaan dari Marwan. "Oh jadi sekarang kamu mulai membela mereka? Sejak kapan? Kerasukan setan apa kamu Pa?" ujar Yuni dengan sinis. Bukannya menjawa
"Masuk!" ucap Lucas dengan datar. Yang langsung berlalu. Dengan perasaan heran, pak Anang membuka pintu lebar mempersilakan Marwan untuk memasuki rumah mewah itu. Setelah diantarkan oleh pak Anang, akhirnya Marwan menginjakkan kaki juga di rumah mewah milik suami baru Anita. Ekor mat Marwan tidak berhenti memindai sekitar. Ia begitu mengagumi interior rumah bergaya modern itu. "Beruntung sekali hidup Anita sekarang," gumam Marwan. "Silakan duduk," ucap Lucas yang baru saja kembali diikuti dengan Anita di belakang. "Terima kasih." Marwan segera menjatuhkan badannya di kursi empuk. "Sekarang jelaskan kebusukan apa yang sudah kalian lakukan di belakang saya?""Bang stop menuduh seperti itu!" Anita berucap dengan lirih. "Katakan sekarang atau mau polisi yang langsung menginterogasi kalian?""Ma-ksud anda apa?" tanya Marwan terbata. "Seorang suami yang pergi meninggalkan istrinya demi perempuan lain, dan tiba-tiba menyusun rencana dengan mantan istrinya untuk mengamankan masa depa
Kekecewaan akibat kehilangan ternyata membuat Lucas benar-benar kehilangan arah hidupnya. Dari arah beberapa meter. Sella melihat Lucas berjalan memasuki Bar ternama di ibu kota. "Ini adalah kesempatan emas untuk aku memanfaatkan keadaan," gumam Sella. Dengan penuh semangat Sella keluar dari mobilnya, sebelum itu tak lupa dirinya membenarkan riasan pada wajahnya juga menyemprotkan parfum di area tertentu. Sella mengambil duduk sedikit berjarak dengan Lucas. Agar dirinya leluasa memperhatikan objek fantasinya selama ini. Dari kejauhan Sella melihat Lucas terus menuangkan minuman beralkohol kedalam gelasnya. Sudah lima botol minuman itu ia habiskan dan sepertinya Lucas sudah mabuk berat. "Ini adalah saatnya." Sella berjalan mendekat ke arah Lucas."Stop jangan tuangkan lagi! Kamu sudah mabuk berat," cegah Sella mengambil botol itu. "Kembalikan," desah Lucas dengan suara berat. "Tidak! Kamu sudah mabuk berat.""Kembalikan!"Lucas mencoba merebut botol itu. Namun, Sella dengan s
Sepanjang malam Anita terjaga, berkali-kali dirinya menghubungi Lucas. Namun tak ada satu pun panggilan yang di jawab hingga sering telpon itu terjawab oleh oprator pertanda ponsel Lucas telah kehabisan batrei. "Kamu ada dimana Abang?" ucap Anita dengan lirih. Luka bekas operasi saja belum sembuh, tapi sekarang ada yang lebih sakit dari luka itu. Yaitu hilangnya kepercayaan Lucas pada dirinya. "Aku bukan orang yang menyebabkan Bunda meninggal, Bang. Kenapa kamu tega menuduh aku seperti ini?""Aku kehilangan anak-anakku, mertuaku dan sekarang aku juga kehilangan kepercayaan kamu Bang."Beberapa kali pelayanan mengetuk pintu kamar Anita, tapi tak ada satu pun yang dihiraukan Anita. Ia larut dalam kesedihan yang mendalam. "Nyonya muda, anda harus makan. Dari pagi anda tidak makan apa pun, kalau Nyonya seperti ini Bunda Clara pasti akan sedih," ucap Bi Sum. Wanita berusia lanjut itu tidak pernah lelah membujuk Anita sedari tadi. Mendengar kata-kata Bunda Clara, seketika Anita bangki