Share

Ketika Ibuku Menikah Lagi
Ketika Ibuku Menikah Lagi
Penulis: Siska_ayu

Bab 1

"Astaghfirullah." Aku langsung menutup kembali pintu yang baru saja kubuka. Dengan hati berdebar dan tubuh yang sedikit gemetar aku duduk di sebuah kursi kayu usang yang ada di teras rumahku.

Baru saja pulang sekolah, aku sudah melihat pemandangan yang sangat menj*j*kan. Ibuku sedang bermesraan dengan Om Haryo, lelaki yang beberapa bulan terakhir ini sering berkunjung ke rumahku.

Namaku Rindu. Usiaku memang baru menginjak 12 tahun. Akan tetapi aku tahu apa yang dilakukan oleh ibuku itu perbuatan dosa dan terlarang.

Ceklek

Perlahan pintu itu kembali terbuka. Sesaat kemudian Om Haryo keluar dari rumahku dengan senyum yang mengembang.

"Aku pulang dulu, ya," ucap Om Haryo pada ibuku yang berdiri di ambang pintu.

"Hati-hati," jawab ibuku dengan memberikan senyum termanisnya.

"Rindu, Om pulang dulu, ya." Om Haryo mengusap kepalaku pelan. Namun, aku tetap bergeming tanpa berniat menjawabnya.

Setelah melihat Om Haryo melesat dengan CRV hitam miliknya, ibu kembali masuk ke dalam rumah. Disusul olehku dari belakang.

"Rindu, kamu itu yang sopan kalau diajak bicara sama Om Haryo," bentak ibu.

Aku yang akan melangkahkan kaki ke kamar langsung berhenti.

"Bu, kenapa ibu melakukan semua itu? Itu dosa, Bu. Ibu sama Om Haryo belum menikah. Rindu malu, Bu. Rindu malu sama teman-teman Rindu. Mereka bilang kalau ibu itu pel*kor," tuturku pilu.

"Halah ... anak kecil tau apa sih? Memang kamu tau apa itu pel*kor? Kamu itu seharusnya bersyukur, sejak kenal Om Haryo, ibu gak perlu cari kerja sana sini. Kamu pikir, dari mana ibu punya uang buat kamu sekolah, buat makan, buat semuanya? Dari bapakmu? Bahkan bapakmu saja tidak pernah ingat sama kamu, anaknya. Sekarang sok-sokan nasihati ibu."

Aku hanya bisa menunduk. Tak berani menatap mata ibu yang sudah pasti terlihat tajam memandangku.

"Sudah, sekarang masuk kamar sana. Ganti bajumu. Habis itu masak buat makan siang," titah ibu sambil berlalu masuk ke dalam kamarnya.

Dengan gontai aku masuk ke dalam kamarku yang tanpa pintu. Hanya menggunakan gorden lusuh sebagai penutupnya. Dengan hati yang berdenyut nyeri aku duduk di pinggir ranjang. Ranjang kayu usang dengan kasur terbuat dari kapuk yang sudah menipis itu sedikit berderit. 

Dengan pelan aku lepaskan tas yang masih menempel di punggungku. Lalu meletakkannya di atas kasur. Perlahan aku baringkan tubuhku yang lelah setelah berjalan kurang lebih 1 km dari sekolahku. Mataku menatap langit-langit kamar yang terlihat menguning karena sering bocor jika hujan.

"Ya Alloh, kenapa hidupku harus seperti ini? Aku mempunyai ibu tapi dia seperti tidak menyayangiku. Aku juga mempunyai ayah tapi entah di mana dia sekarang. Dia bahkan meninggalkanku. Tak pernah menjengukku setelah 5 tahun kepergiannya dari rumah ini. Kata Ustadz yang mengajariku mengaji setiap malam, Alloh akan mengabulkan doa-doa hambanya. Tapi kenapa Alloh tidak mengabulkan doaku? Padahal setiap hari aku sudah solat, mengaji, juga berbakti kepada ibuku." Aku terus meracau dalam hati.

"Rin ... Rindu." Panggilan melengking dari ibuku membuatku buru-buru bangkit. Dengan tergesa aku membuka lemari plastik yang terletak di pinggir ranjang. Mengambil kaos lengan pendek dengan celana panjang. Kubuka seragam merah putih yang masih melekat di tubuhku. Seragam sekolah yang akan kupakai dalam waktu beberapa bulan lagi. Menggantinya dengan baju yang baru saja kuambil.

"Iya, Bu," jawabku sambil keluar kamar. Menyibak gorden biru bergambar angsa.

"Kamu lama banget, sih. Cepetan dong ibu lapar." Ibu menatap tajam ke arahku.

"Maaf, Bu. Tadi Rindu istirahat sebentar. Rindu cape baru pulang sekolah." Aku mencoba mengiba. Barangkali wanita yang sudah melahirkanku itu akan terketuk hatinya.

"Jalan kaki segitu aja cape. Ga usah manja. Kalau mau enak-enakan santai, sana cari bapakmu. Ini semua juga kan gara-gara bapakmu. Udah mah kere, gak bertanggung jawab lagi," cerocos ibu.

Aku segera berlalu menuju dapur. Dari pada mendengar omelan ibu yang pasti panjang sepanjang rel kereta api. Aku berdiri, terpaku dekat kompor. Bingung harus memasak apa.

"Masak mie instan aja biar cepat," teriak ibu dari tengah rumah. "Jangan lupa pakai telor terus tambah cabe rawit tiga biji," lanjutnya lagi.

Aku pun segera menjarang air di teplon. Kemudian memasukkan mie setelah airnya mendidih. Hanya butuh waktu tak lebih dari sepuluh menit, mie instan itu sudah matang. Wanginya menguar membuat air liurku hampir menetes. Sayang mie instannya tinggal satu. Tak ada lagi.

Aku segera mengantarkan semangkuk mie yang masih mengepul itu kepada ibu.

"Ini, Bu." Aku menyimpan mangkuk itu di meja meja di hadapan ibu.

Wanita yang baru saja memasuki usia tiga puluh tahun itu langsung menyimpan gawainya. Meraih sendok yang ada di dalam mangkuk, lalu meniup mie yang masih mengepul itu kemudian melahapnya. Aku memperhatikannya sambil menelan ludah.

"Ngapain kamu berdiri di situ?" tanya ibu dengan mulut yang penuh dengan mie.

"Rindu juga lapar, Bu," jawabku sambil meremas perut yang mulai terasa perih.

"Kalau lapar tinggal makan. Bukannya berdiri aja lihatin ibu. Emangnya kenyang cuma lihatin doang?"

"Tapi ... mienya habis, Bu. Tinggal satu."

"Makan aja apa yang ada. Tuh di meja masih ada kerupuk. Makan sana sama kerupuk." Ibu menunjuk ke arah dapur.

"Habis makan jangan lupa langsung cuci semua piring kotor. Terus itu baju-baju ibu juga sudah numpuk yang belum disetrika." Ibu terus saja memberi perintah. Seolah ini aku robot yang tak punya rasa lelah.

Aku hanya bisa mengangguk lesu. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju dapur. Mengambil nasi dari magic com kemudian duduk di kursi. Membuka toples plastik lalu mengambil satu buah kerupuk.

Dengan mata yang mulai memanas, aku mulai menyuap nasi ke dalam mulutku, lalu menggigit kerupuk.

"Ah, ternyata sudah agak melempem," lirihku. Namun, aku tetap saja memakannya sampai nasi dalam piring habis tak bersisa. Aku butuh tenaga untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah.

***

"Rindu ... Ibu pergi dulu, ya. Jangan lupa kunci pintu." Kepala ibu menyembul dari gorden yang menutupi kamarku.

Ibuku memang kerap pergi malam hari. Dengan siapa lagi kalau bukan Om Haryo.

Aku hanya mengangguk lalu kembali melanjutkan membaca buku. Belajar untuk ulangan besok.

Tok tok tok tok

Tiba-tiba suara pintu diketuk dengan kasar. Bahkan ibu saja belum sempat keluar dari rumah. Aku langsung bangkit, keluar dari kamar. Ibu terlihat masih berdiri di dekat pintu, hendak membukanya tapi terlihat ragu.

"Keluar kau wanita j*l*ng!" teriak orang itu sambil terus menggedor pintu.

"Siapa, Bu?" tanyaku pelan.

Ibu hanya menggeleng. Wajahnya terlihat ketakutan.

"Keluar! Dasar wanita m*r*han. Pelak*r!" Lagi-lagi orang di luar sana berteriak.

Perlahan ibu mundur dari dekat pintu. Wajahnya yang dipoles make up sedikit menor mulai berkeringat. Padahal udara tidak panas. Bahkan sedikit dingin karena hujan turun sore tadi. Apalagi ibu mengenakan dress selutut tanpa lengan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status