Share

Bab 2

Suara gedoran di pintu semakin kencang. Aku yang tidak mengerti apa-apa hanya bergeming. Memperhatikan ibu yang semakin terlihat ketakutan.

"Buka. Buka pintunya! Kalau tidak aku dobrak sekalian." Orang di luar sana kembali berteriak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.

"Bu, Rindu takut." Aku mendekati Ibu. Lalu bersembunyi di balik punggungnya. Meskipun aku tahu, ibu juga ketakutan. Terlihat dari tubuhnya yang gemetar dan keringat yang semakin membanjiri wajah cantiknya.

"Ma, sudah, Ma. Hentikan. Malu didengar orang." Samar aku mendengar suara yang tak asing. Ya, tidak salah lagi. Itu suara Om Haryo.

"Bu, itu suara Om Haryo," kataku pelan.

Ibu hanya mengangguk lemah. Wanita yang melahirkanku dua belas tahun yang lalu itu terlihat menghirup napas panjang. Kemudian mengembuskannya perlahan. Begitu terus berkali-kali.

"Ma, sudah. Ayo kita pulang." Lagi suara Om Haryo terdengar.

"Enggak, Mama tidak akan pulang sebelum ketemu sama gund*kmu itu." Suara keras seorang wanita terdengar lagi. Diiringi gedoran pada pintu entah untuk yang ke berapa kalinya.

Perlahan ibu mulai melangkahkan kakinya menuju pintu. Tangannya terulur hendak membuka pintu. Tapi kemudian ditariknya kembali. Begitu terus berkali-kali. Sampai akhirnya, ibu benar-benar membuka pintu itu dengan tangan yang terlihat gemetar.

Aku masih berdiri di balik punggung ibu. Sedikit mengintip keluar. Tiba-tiba saja rambut ibu ditarik oleh wanita yang bertubuh sedikit tambun.

"Aw ... sakit. Lepaskan." Ibu menjerit kesakitan sambil berusaha melepas tangan wanita itu dari rambut ibu.

"Sakit? Sakit, hah? Lebih sakit mana dengan hatiku yang suaminya kau rebut?" jawab wanita itu.

"Jangan sakiti ibuku, aku mohon." Aku menghampiri wanita itu.

"Ma, sudah, lepaskan." Om Haryo pun ikut mendekat. Berusaha untuk melepaskan tangan wanita itu dari rambut ibu.

Ibu masih meringis kesakitan. Aku tidak tega melihatnya seperti itu. Orang-orang mulai berkerumun. Membuat suasana semakin ramai.

"Dasar wanita j*l*ng. Berani-beraninya menggoda suami orang. Bangga kamu jadi pelak*r? Rasakan ini." Wanita itu semakin brutal menjambak rambut ibuku. Dia juga berkali-kali men*mpar pipi ibuku.

"Maafkan aku, aku mohon. Lepaskan. Sakit." Ibuku terus memohon. Namun wanita itu terus saja menghujani ibuku dengan j*mbakan juga t*mparan. Om Haryo pun semakin tidak berkutik.

"Oh, ternyata pelak*r. Pantas saja. Haj*r, Bu, biar kapok."

"Cantik-cantik bisanya jadi perebut suami orang. Gak laku ya sama yang single?"

"Pelak*r memang pantas diperlakukan seperti itu. Tuman. Nanti ngembat suami yang lain."

Riuh terdengar komentar orang yang menyaksikan. Bagi mereka, mungkin ini tontonan gratisan yang menyenangkan. Padahal bagiku, tentu saja ini sangat memalukan. Terlebih lagi menyakitkan. Bagiku juga ibuku.

"Tolong lepaskan ibuku, Tante." Aku berlutut memegang kaki wanita itu. Air mata sudah berderai membasahi kedua pipi. Tak kuat lagi rasanya melihat wanita yang membesarkanku itu merintih kesakitan.

"Ibumu ini seorang pelak*r. Dia sudah menggoda suamiku. Apa dia gak takut kalau anak perempuannya ini kelak akan mendapatkan karmanya?" Wanita yang ternyata istri Om Haryo itu menatap tajam ke arahku yang masih memegangi kakinya.

Aku semakin mengeratkan tanganku pada kaki istri Om Haryo. Air mata juga semakin mengalir deras.

"Maafkan ibuku. Lepaskan ibu, Tante, aku mohon." Lagi aku sambil sesenggukan. Aku mendongakkan kepalaku menatap wajahnya yang terlihat merah padam karena amarah.

Dalam keremangan malam dan pandanganku yang buram karena terhalang air mata, samar aku melihat seseorang yang begitu kukenal berdiri tak jauh dariku. Dia Andika. Teman sekolahku. Andika menatapku dengan sendu. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku darinya.

"Ada apa ini? Kenapa ribut malam-malam begini." Tiba-tiba lelaki paruh baya datang dari arah kerumunan.

"Ada pelak*r Pak RT," sahut salah seorang warga yang berada di kerumunan.

"Bubar, bubar. Semuanya bubar," titah Pak RT. Membuat orang-orang yang semula berkerumun pergi satu persatu.

"Huhhh." Terdengar beberapa orang mengumpat karena tontonan gratisnya dibubarkan.

"Ayo berdiri, Nak." Pak RT memegang bahuku kemudian membantuku berdiri.

"Tolong lepaskan Ibu Santi. Kalau ada masalah kita bicarakan baik-baik di dalam. Tidak enak ditonton banyak orang seperti tadi," tutur Pak RT bijak.

"Biarin. Biar semua orang tau kalau wanita ini pelak*r," jawab istrinya Om Haryo menggebu. Kilatan amarah masih terlihat jelas dari matanya.

"Sabar, Bu. Tenang. Semua ini tidak akan selesai dengan jalan kekerasan seperti ini. Ayo kita masuk dan cari jalan keluarnya." Pak RT masih berusaha membujuk istrinya Om Haryo dengan lembut.

"Ayo, Bu. Turuti kata Pak RT." Om Haryo yang dari tadi tidak bisa berbuat apa-apa akhirnya kembali bersuara.

Akhirnya istrinya Om Haryo melepaskan cengkeramannya pada rambut ibu, kemudian mendorong tubuh ibu hingga terjerembab.

Aku mendekat. Mengulurkan tanganku pada ibu. "Ayo, Bu." Aku menatap ibu dengan nelangsa. Rambutnya yang semula tergerai indah kini acak-acakan. Di kedua sudut bibirnya terlihat sedikit darah. Ibu meraih tanganku. Kemudian bangkit dengan lesu. Aku menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah. Diikuti Pak RT, Om Haryo juga istrinya. Perlahan aku membantu ibu untuk duduk di sofa. Pak RT, Om Haryo dan istrinya pun turut duduk.

"Rindu, tidurlah. Besok kamu harus sekolah," titah ibu sambil mengusap kedua sudut bibirnya.

Aku hanya mengangguk pasrah. Lalu berjalan masuk ke dalam kamarku. Namun, tentu saja aku tidak akan tidur dulu. Aku akan mendengarkan apa yang akan dibicarakan mereka. Aku tidak mau ibuku disakiti lagi. Cukuplah ayah kandungku yang menyakiti hati ibu. Juga menelantarkan aku.

"Baiklah. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?" Pak RT memulai pembicaraan.

"Suami saya selingkuh dengan wanita murah*n itu Pak RT. Saya tidak terima." Suara istrinya Om Haryo terdengar.

"Benar itu, Pak?" tanya Pak RT.

"Be-benar Pak RT," jawab Om Haryo terdengar gugup.

"Nah, Pak RT dengar sendiri kan? Saya benar-benar tidak menyangka kalau suami saya berani bermain ser*ng," timpal istrinya Om Haryo.

"Ini masalah rumah tangga. Saya tidak berhak ikut campur. Bicarakanlah baik-baik dengan kepala dingin. Apa yang sekarang diinginkan ibu, ataupun diinginkan bapak. Namun, karena ini terjadi di lingkungan saya, terpaksa saya ikut campur. Saya hanya minta, jangan sampai terjadi lagi hal memalukan seperti ini. Berbuat keributan di muka umum. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik, dicari jalan keluarnya." Pak RT berbicara dengan bijak.

"Pak RT tidak mengerti perasaan saya. Saya sakit hati. Saya tidak terima," jawab istri Om Haryo emosi.

"Saya mengerti perasaan ibu. Lalu, sekarang apa yang ibu inginkan?" tanya Pak RT.

"Saya ingin suami saya tidak pernah menemui wanita itu lagi. Dan kamu, wanita murah*n, jangan coba-coba dekati suami saya lagi," hardik istri Om Haryo.

Aku sedikit mengintip dari balik gorden. Terlihat ibu hanya menunduk tanpa bersuara.

"Heh, denger enggak apa yang saya bilang?" bentak istri Om Haryo pada ibu. Ibu terlihat tersentak, lalu mengangkat wajahnya yang terlihat menyedihkan.

Ibu mengangguk pelan.

"Jadi pelak*r aja berani, giliran didatangi istri sah nyalinya langsung ciut. Dasar j*l*ng." Istri Om Haryo masih saja memaki ibu.

"Sudah, Ma. Hentikan. Semua ini salahku. Aku yang terus-terusan mendekati Santi. Padahal dulu dia sudah menolak," bela Om Haryo.

"Dasar suami tak tahu diri. Bu*ya. Kurang apa selama ini aku sama kamu, Pa?" Istri Om Haryo menangis meraung.

"Maaf, Ma. Tapi aku sudah tidak kuat lagi dengan sikapmu yang semena-mena. Sering berbicara dengan nada tinggi. Juga sikapmu yang selama ini terlalu mengekang. Kamu juga selalu sibuk dengan teman-teman arisanmu, pergi shoping atau pelesiran. Aku mencintai Santi. Aku akan menikahinya. Terserah kamu setuju atau tidak. Kamu bisa menggugat cerai kalau tak setuju," ucap Om Haryo panjang lebar.

"Tega kamu, Pa." Tangisan istri Om Haryo semakin terdengar pilu. Wanita yang terlihat lebih tua dari ibuku itu terus menangis sambil memukul-mukul dada Om Haryo yang duduk di sampingnya. Aku sungguh kasihan melihatnya.

"Maaf kalau saya ikut campur. Apa tidak ada jalan keluar lagi, Pak? Coba dipikirkan lagi. Sayang kalau rumah tangga bapak sama ibu kandas begitu saja karena kehadiran orang ketiga," saran Pak RT.

"Tidak Pak RT. Sebenarnya sudah lama sekali saya ingin berpisah dari istri saya. Saya juga sudah bertekad untuk menikahi Santi dari beberapa bulan yang lalu. Hanya menunggu waktu yang tepat," jawab Om Haryo tenang. Meskipun istri yang di sampingnya masih terisak menangis.

Pak RT terlihat menghirup napas panjang sebelum akhirnya kembali berkata. "Baiklah kalau begitu. Bagaimana Bu Sinta, apa Ibu mau menikah dengan Pak Haryo meskipun ibu mengetahui kalau beliau masih mempunyai istri?" Pak RT menatap ke arah ibuku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status