Mata Erik menatapku tajam. Aku dibuat salah tingkah ditatapnya seperti itu. Apalagi sorot beberapa pasang mata yang menyaksikan kejadian ini membuatku semakin tak nyaman.Aku menunduk. Menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Mengurangi amarah yang masih menggelegak dalam dada. Bisa-bisanya Erik mengatakan sesuatu yang mustahil terjadi antara aku dan dirinya. Mungkin saja perasaannya itu hanya perasaan sayang seorang kakak pada adiknya. Karena ikatan batin saudara itu kuat. "Kenapa diam?" tanyanya. Masih menunggu kepastian dari mulutku.Aku mendongak perlahan. "Bukankan semuanya sudah aku katakan dengan cukup jelas? Aku ingin fokus belajar dan bekerja agar kelak jadi orang sukses. Bukan memikirkan hal konyol seperti ini." Aku berkata cukup pelan. Malu jika terdengar siswa lain."Ini bukan hal konyol. Ini menyangkut perasaan. Oke. Sekarang kita memang belum dewasa. Tapi dua atau tiga tahun lagi, kita sudah cukup dewasa. Dan aku pastikan aku akan kembali bertanya padam
"Ada apa, sih, Ri?" Tuan Raihan kembali bertanya. Menyimpan tas jinjing hitam yang biasa dibawanya bekerja di atas sofa. Lalu menggulung lengan kemeja navy yang digunakannya hingga ke siku. Matanya masih memandang ke arah Riana yang berwajah sembab."Gak apa-apa. Kakak tuh kepo terus sama urusan cewek," jawab Riana sambil menyusut cairan bening yang tersisa di kedua ujung netra sipitnya. "Beneran gak apa-apa? Kakak itu bukan kepo, tapi khawatir. Takut terjadi sesuatu sama kamu. Ya, meskipun kadang nyebelin, manja, cerewet, tapi kakak sayang." Tuan Raihan sedikit tergelak membuat bibir ranum Riana mengerucut seketika."Tuh, kan. Malah ngeledek lagi." Riana menghentakkan kakinya ke lantai. Membuatku tersipu melihat kelakuannya."Kakak percaya, selama Rindu ada di deket kamu, kamu akan baik-baik saja. Eh, tapi. Kok, kebalik ya? Bukannya kamu itu lebih tua dari Rindu? Harusnya sikapmu lebih dewasa dong," tutur Tuan Raihan."Ye ... biarin. Aku ini memang manja dan gemesin," sahut Riana ta
"Enggak, kok, Tuan. Beneran. Saya gak gak pernah minta Riana untuk mengajak saya ke Bali," belaku buru-buru. Takutnya Tuan Raihan berpikir akulah yang sudah menghasut Riana."Saya tau, kok. Kamu tenang aja. Saya yakin ini cuma akal-akalan Riana biar bisa liburan." Tuan Raihan memijit hidung mancung Riana, gemes."Habisnya ... selama ini, tiap aku minta liburan pasti gak diizinin. Apalagi alasannya kalau kakak takut terjadi sesuatu sama aku. Khawatir gini lah, gitu lah, gak ada yang nemenin lah, Raisa masih kecil lah. Kalau sekarang kan ada Rindu yang nemenin. Raisa juga udah cukup besar buat diajak liburan." Riana menjelaskan alasannya dengan muka sedikit ditekuk."Ri, kita kan udah berencana untuk berkunjung lagi ke rumah kakek sama nenek. Kamu gak inget pesan mereka waktu itu?" tanya Tuan Raihan mengingatkan peristiwa beberapa bulan silam."Apa yang dikatakan Tuan Raihan bener, Ri. Lebih baik liburannya di kampung kakek sama nenek saja. Mumpung mereka masih ada loh." Aku ikut member
Meja di hotel ini memang berukuran cukup panjang dengan beberapa kursi yang berjejer dan saling berhadapan. Keberadaan bapak di sekitarku sudah cukup menggores hatiku dan membuatku tak nyaman. Namun, aku sama sekali tidak menyangka Tuan Raihan justru menawarkan diri untuk bergabung bersama bapak dan keluarganya. Padahal dia tau, rasa sakit dan kecewaku kepada bapak masih begitu besar.Tuan Raihan berjalan ke meja kami."Ri, Rindu, kita pindah ya. Gabung sama Pak Ari dan keluarganya," tutur Tuan Raihan sambil menurunkan Raisa dari kursi dan menuntunnya menuju meja bapak tanpa menunggu jawabanku dariku dan Riana.Aku dan Riana saling berpandangan. Seolah meminta pendapat satu sama lain. Secara di meja tersebut ada Erik juga. Laki-laki yang begitu dilarang untuk kutemui oleh Riana.Namun sebuah anggukan pelan akhirnya terlihat dari kepala Riana. Sesaat kemudian kami pun bangkit bersamaan dan berjalan menuju meja bapak.Sekilas aku melirik Erik yang duduk di kursi sebelah bapak, tersenyum
"Astaghfirullah. Kenapa ngagetin sih, Kak?" Aku menatap sebal pada Erik yang justru nyengir kuda."Siapa yang ngagetin? Orang aku baru aja keluar kamar. Eh, taunya ketemu kamu. Emang ya, kalau jodoh itu gak akan ke mana," tutur Erik sambil bersandar di dinding dengan kedua tangan bersidekap di dada."Ya, Alloh. Ngomong apa, sih, Kak? Ngaco aja," sahutku sambil mengalihkan pandangan. Beralih menatap pintu kamar Tuan Raihan yang tertutup. Kemudian aku mulai mengetuknya perlahan."Gak baik loh, cewek masuk ke kamar cowok. Apalagi cuma berduaan di dalam kamar. Entar yang ke-tiganya setan," ucap Erik tiba-tiba serius."Makasih udah diingetin, tapi aku juga tau. Aku cuma mau nganterin Raisa sama ayahnya. Bukan mau berduaan di dalam kamar," jawabku menjelaskan."Baguslah," sahutnya singkat."Terus ngapain masih berdiri di situ?" tanyaku sedikit kesal."Gak ngapa-ngapain. Nungguin aja. Takutnya kamu malah beneran masuk ke kamarnya, kan?" "Ya Alloh, Kak. Suudzon aja jadi orang.""Bukan suudzo
Laki-laki dengan bibir menghitam itu tersenyum menyeringai. Menampakkan deretan giginya yang sedikit coklat karena terlalu banyak merokok. "Rindu, aku takut," bisik Riana dengan suara bergetar. Matanya sudah basah dengan cairan bening yang siap tumpah."Sama, Ri. Aku juga takut," jawabku pelan. Tubuh kami sama-sama bergetar."Ya, Alloh. Tolong kirim seseorang untuk menolong aku dan Rindu. Aku benar-benar takut," doaku dalam hati."Sini, Sayang." Laki-laki itu menarik lengan Riana membuat pelukan kami terurai."Lepasin. Mau ngapain kamu?" Riana berontak. Mencoba melepaskan cengkraman tangannya dari lelaki itu. Namun, tenaga lelaki itu lebih kuat.Aku nengok ke kanan dan ke kiri. Barangkali ada orang yang lewat. Sesekali ada motor yang melintas, tapi susah untuk dihadang karena rata-rata pengendaranya ngebut. Mungkin karena mereka sudah tau jika daerah ini sepi dan rawan. Ketakutan dan kebingungan semakin melanda tatkala laki-laki itu mencoba menyeret tubuh Riana yang terbungkus celana
Hatiku ikut tegang seketika melihat Tuan Raihan menutup panggilan dengan pandangan lesu."Kenapa, Kak?" tanya Riana dengan suara serak khas habis menangis."Barusan Teh Asih yang telepon. Kakek sakit katanya. Manggil-manggil kakak terus. Sudah tidak masuk makanan apapun, makanya dibawa ke RS." Tuan Raihan menjelaskan dengan sendu dan mata berkaca-kaca."Ya Alloh, Kakek," lirih Riana kembali menangis."Harusnya aku menuruti kakak untuk langsung ke Garut kemarin. Mungkin semua kejadian memilukan ini tidak akan terjadi." Riana tergugu menyesali semuanya."Sudah. Gak perlu menyalahkan diri sendiri. Ini semua sudah takdir. Lebih baik sekarang kita beristirahat. Besok pagi-pagi sekali kita kembali ke Jakarta. Terus langsung berangkat lagi ke Garut. Mudah-mudahan kakek segera sembuh," tutur Tuan Raihan lembut."Rindu, kamu juga istirahat, ya. Tolong jaga Riana. Dia pasti masih trauma dengan kejadian yang menimpanya tadi," pinta Tuan Raihan menatapku teduh."Baik, Tuan," jawabku singkat.Tuan
Suasana dapur yang remang-remang membuat bulu kudukku sedikit merinding. Tak ada suara apapun yang terdengar kecuali bunyi hewan malam khas pedesaan. Buru-buru aku berjalan meninggalkan dapur. Ketika melewati kamar nenek Tuan Raihan, samar aku mendengar suara tangisan. Pelan tapi begitu memilukan. Mungkinkan nenek yang sedang menangis?Aku mematung sejenak di hadapan pintu berbahan kayu jati itu. Bingung antara masuk atau membiarkannya saja. Namun, aku langsung teringat nenekku yang begitu terpukul waktu kehilangan kakekku belasan tahun silam.Perlahan aku mengetuk pintu itu pelan."Nek," panggilku lirih.Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Menampakkan wajah keriput nenek yang sembab bersimbah air mata. Rambut yang sudah memutih semuanya itu digelung, tak seperti biasanya yang selalu memakai ciput."Rindu," sapa nenek dengan suara bergetar."Boleh, Rindu temenin?" Aku menatap mata cekung nenek."Tentu saja, Nak. Ayo masuk." Nenek berbalik, kembali ke dalam kamar. Aku mengikutinya