Share

Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku
Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku
Author: Dyah Ayu Prabandari

Pinjam Rumah

Bab 1

“Li,” panggil Mas Reza lirih.

Aku meletakkan ponsel, niat membalas pelanggan aku urungkan. Aku menoleh ke arah Mas Reza, lelaki itu menunduk, dapat kulihat ada beban yang menempel di pundak. Masalah kali ini sangat berat hingga berulang kali mengehela napas.

“Ada apa, Mas?”

Helaan napas kembali keluar dari mulutnya. “Maaf,Li.”

Aku menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapannya. Maaf, untuk apa kata maaf ... sedang ia tak melakukan kesalahan. Bahkan rumah tangga kami baik-baik saja.

Apa Mas Reza selingkuh?

Ah, tidak ...! segera aku tepis pikiran buruk yang menghantui bahkan memenuhi isi kepala ini. Tidak mungkin suamiku tega mengkhianati janji suci kami. Namun kenapa raut wajahnya terasa bersalah?

“Kamu selingkuh, Mas?”

Kalimat tanya itu meluncur seperti rolcoster. Biar saja sakit sekarang, aku butuh sebuah kejelasan. Aku tak suka menerka, hingga akhirnya sakit kepala.

“Gaklah,Li. Mana mungkin aku mendukan cinta kamu. Aku tidak seperti lelaki di luar sana.”

“Lalu kenapa minta maaf?”

Diam. Mas Reza kembali bungkam, lagi-lagi dia menghela napas. Sumpah, sikapnya semakin membuatku penasaran. Ada apa ini?

“Mas Reno mau pinjam rumah kita, Li.”

Lirih dia berucap hingga seperti angin yang berhembus. Namun satu kalimat itu bak parang yang menancap tepat di jantungku. Ya Robb, drama macam apa lagi ini?

“Maksudnya pinjam bagaimana, Mas?”

Sekuat hati kutata amarah agar tak meledak. Namun tetap saja sumbu-sumbu bom mulai berasap. Hanya menunggu waktu hingga bom itu meledak. BUUM ...hancur seluruhnya.

“Itu lho, Li. Mas Reno memiliki banyak hutang. Sementara dia mau meminjam rumah kita agar tidak mengontrak.”

What! Mudahnya dia mengatakan hal itu?

Kami memang baru selesai membangun rumah tak jauh dari kediaman orang tua Mas Reza. Tanah sawah yang dirubah menjadi hunian. Rumah itu baru selesai di bangun satu bulan yang lalu. Kehabisan dana memaksa kami mengehentikan proses pembangunan yang sudah mencapai 95 persen. Sebenarnya tinggal mengecat dan membuat kichen set. Namun mau tak mau harus berhenti dari pada kami meminjam bank yang jelas ribanya.

Aku tak mempermasalahkan jika harus menunggu satu bulan lagi untuk menempati rumah itu. Asalkan rumah itu benar-benar siap dihuni. Namun justru kabar buruk menerpaku detik ini. Rumah yang belum sempat kami huni akan dipinjam orang lain. Ya, meski orang itu kakak kandung suamiku, tapi aku tak rela rumah hasil jerih payah kami dipakai sebelum kami menempatinya.

“Rumah Mas Reno mau dijual, Li. Nunggu harga yang pas dulu.”

Mas Reza menatapku lekat, netra yang berkaca-kaca seolah memaksaku untuk berkata iya. Tidak semudah itu, Parto!

“Kenapa tidak tinggal di rumahnya sampai benar-benar laku? Kenapa harus meminjam rumah kita, Mas?”

Aku mengepalkan tangan di samping. Sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak. Masalah ini tak akan selesai jika kami beradu mulut. Jelas aku tak bisa mengabulkan keinginan gila saudara suamiku.

“Kasihan dia, Li. Di sana terus-terus ditagih hutang. Makanya dia mau pindah ke Salatiga.”

“Terus kamu gak kasihan sama aku, Mas? Kita mau tidur di mana saat pulang kampung? Sebentar lagi kita juga pindah ke sana,kan?”

Mas Reza diam. Lelaki itu mengusap rambutnya kasar. Dia kebingungan dengan masalah yang menimpa kakak iparku.

Kebisuan itu membuatku melangkah pergi. Suara pintu yang beradu dengan tembok menggambarkan kebencian dan kemarahan yang kini ada di hatiku.

Tuhan, tak bisakah aku hidup tenang tanpa drama dan air mata? Jujur aku lelah selalu berkutat degan masalah yang sama. Benalu berkedok keluarga.

***

Pagi ini kami lalui dengan perang dingin. Tidak ada sepatah kata yang keluar, entah dari mulutku atau mulutnya. Kami terjebak dengan pikiran masing-masing, meski pokok permasalahaannya masih sama.

“Ayo sarapan sekalian, Li,” ucapnya saat aku diam dengan mata fokus menatap layar televisi.

Tanpa menjawab aku melangkah mengikutinya. Kutinggalkan acara kartun yang ada di layar televisi. Meski dalam keadaan marah aku masih mematuhi perintah Mas Reza. Ya,walau dengan membungkam mulut ini.

Kami duduk di kursi yang saling berhadapan. Meja makan berbentuk oval itu menjadi penghalang di antara kami. Tentu sudah ada nasi dan lauk di atasnya.

“Tolong ambilkan, Li.”

Aku segera memindahkan nasi dan lauk ke atas piring. Tentu tanpa ada kata yang keluar dari mulut ini. Biar ... Biar saja dia tahu, jika saat ini aku tengah marah padanya.

Setelah kami makan dengan keheningan, Mas Reza pun berangkat kerja. Kali ini tak ada kecupan yang selalu kuberikan. Aku terlalu kesal hingga enggan untuk sekedar mencium punggung tangannya.

Jam seolah berjalan lambat, semua pekerjaan rumah telah selesai. Namun jarum pada jam masih menunjukkan pukul 10.00 WIB. Aku mencoba memejamkan mata, mengobati rasa kantuk yang sedari tadi menyapa. Semalaman aku tak dapat tidur karena telinga terus terngiang permintaan suamiku.

Tok! Tok! Tok!

Belum sempat terlelap sebuah ketukan mengusik ketenanganku. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pintu depan. Betapa terkejutnya saat kulihat Mas Reno dan keluarga kecilnya berdiri di depanku. Belum lagi dua koper besar yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Ya Robb, jangan bilang mereka mau menginap di sini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status