Share

Semur Ayamku Hilang

“Mas Reno,” panggilku terbata.

“Lama banget, Li.” Mas Reno menerobos masuk sebelum aku persilakan. Kemudian disusul Mbak Risma dan Niko.

Aku masih mematung,membiarkan keluarga dari Mas Reza masuk tanpa sopan santun. Ini nyata apa halusinasi? Baru semalam kami membahas mereka tapi kini justru berada di depan mata. Tangan kiri kucubit keras. Ah, sial! Ternyata ini nyata.

Tuhan, rencana apa yang Engkau berikan kepadaku? Bolehkan aku tawar dengan dorpes yang lain?

Lili, mana ada tukar tambah atas ujian ini? Jangan aneh-aneh. Allah memilihmu karena Dia yakin kamu mampu mengatasi benalu bergelar saudara ipar.

Hidup sering kali membuatku tertawa. Bukan karena lucu ala komedi. Namun bercandanya tidak kira-kira. Kemarin drama bangun rumah, sekarang drama pinjam rumah. Entah besok ceritanya akan seperti apa. Satu yang pasti, aku harus sedia amunisi.

Kaki kupaksa melangkah menuju ruang keluarga, tempat di mana tiga orang tamuku duduk santai tanpa rasa sungkan sama sekali.

“Tante, aku haus!” Niko memegangi lehernya, tatapannya mengiba saat meminta segelas air minum. Namun entah kenapa aku justru semakin kesal.

“Biasanya juga ambil sendiri, Nik.”

“Capek,Tan habis perjalanan jauh.”

“Tolong buatkan aku sekalian, Li.”

“Aku juga.”

Suami istri itu kompak memerintahku. Oke, akan aku patuhi karena ini hari pertama. Setelah ini jangan harap aku mau diperintah lagi.

Tanpa menjawab aku pergi menuju dapur. Aku membuat empat gelas es teh. Bukan hanya mereka yang haus, aku pun demikian. Menghadapi mereka bertiga membutuhkan tenaga ekstra, apalagi aku hanya seorang diri,

Tiga lawan satu, mana imbang, Bro!

“Ini minumnya, Mas, Mbak.” Aku letakkan nampan itu di atas meja. Dengan cepat Niko mengambil gelas itu. Dia seperti tak minum beberapa hari sehingga dalam sekali teguk es teh itu sudah berpindah ke perutnya.

Melihat tingkah Niko membuatku menggelengkan kepala. Itu kehausan atau tak diberi minum berhari-hari?

“Nah, yang seger-seger begini kan enak.”

Mbak Risma segera mengambil minuman itu, diikuti Mas Reno dan Niko. Niko ... bukankah minuman anak itu sudah habis terlebih dahulu?

“Itu, kan punya tante, Niko!” seruku. Aku tatap tajam anak kecil di hadapanku itu. Namun bukannya takut ia justru menjulurkan lidah. Dia mengejekku.

“Ngalah, Li. Kamu itu jauh lebih tua dari Niko, harusnya kamu sayangi keponakanmu itu. Bukan justu memarahinya. Lagi pula dia masih kehausan setelah perjalanan jauh.”

Ini bukan lagi perkara meyayangi keponakan. Namun tentang akhlak yang harusnya ditanamkan sejak dini. Mengambil barang milik orang lain tanpa izin itu salah, dan Niko melakukannya dengan dalil kehausan. Apa begitu sulit meminta izin? Ah, didikan orang tua memang berpengaruh tinggi. Apa kuharapkan terlalu tinggi, orang tuanya saja tidak berterima kasih, apa lagi anaknya?

Aku beranjak dari tempat duduk, niat hati untuk menghilangkan dahaga musnah sudah. Lebih baik mengurung diri di dalam kamar. Terserah mereka mau melakukan apa. Jujur baru beberapa menit seolah satu bulan. Lalu bagaimana jika ia menginap di rumah ini? Ah, Tuhan ... perang belum mulai, tapi aku sudah kehabisan tenaga.

“Li ...”

Belum sempat aku melangkah Mas Reno kembali memanggil namaku. Mau apa lagi kakak iparku itu.

“Siapkan makan, Li. Kami lapar, belum makan selama perjalanan kemari,” pintanya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Entah hilang di mana urat malu mereka.

“Ambil sendiri saja, Mas. Aku sudah masak.”

Aku berlalu pergi, tak akau pedulikan wajah kesal dari kakak kandung suamiku itu. Dia pikir ini rumahnya, dan akulah pembantunya. Sungguh, menyebalkan!

Kamar aku kunci rapat sebelum merebahkan tubuh di atas ranjang. Hari ini aku akan tidur hingga Mas Reza pulang. Terserah mereka mau makan atau tidak. Aku tidak peduli!

Suara motor Mas Reza bak alarm yang membuatku segera beranjak dari ranjang. Menyambut kedatangan suami sepulang kerja adalah rutinitas wajib seorang istri.

Ini rutinitas versiku, belum tentu sama dengan ibu-ibu yang lain. Terlebih lagi yang sudah memiliki buah hati. Momen seperti ini kadang terlewat karena sibuk mengurus anak atau pekerjaan rumah yang belum selesai.

Aku berjalan melewati ruang keluarga. Kamarku dan ruang keluarga tepat berhadapan, sehingga aku bisa melihat tiga orang itu terlelap di depan televisi yang menyala.

“Kok pulang cepet, Mas?” tanyaku setelah mencium punggung tangannya.

"Ini hari sabtu, Li."

Aku menepuk jidat.

Jangan tanya kenapa aku tak lagi merajuk. Memang kenyataannya kami tak bisa bertengkar lebih dari 12 jam. Ada yang kurang saat kami hanya saling diam. Seolah-olah kami orang asing yang terus memperhatikan setiap pergerakan lawan.

“Kamu masak apa, Li?” tanyanya seraya melepas sepatu.

“Masak semur ayam, Mas. Mas mau makan sekarang?”

“Iya.”

Kami melangkah ke dalam,tak ada raut heran saat dia melewati ruang tamu. Ya, karena aku sudah mengirim pesan.

“Sudah lama mereka tidur, Li?” tanya Mas Reza kemudian menjatuhkan bobot di kursi.

Aku mengangkat bahu, karena memang tak tahu sejak kapan mereka terlelap. Rasa kesal membuatku memilih mengurung diri di dalam kamar.

“Tolong ambilkan makan, Li. Aku sangat lapar. Semur ayam masakanmu pasti sangat enak. Sudah lama kamu tidak masak itu.”

Tanpa menjawab aku segera mengambil piring. Dua centong nasi sudah berpindah tempat. Aku menoleh kanan dan kiri, mencari panci yang kuletakkan di atas meja, tepat di sebelah magic com.

“Cari apa?”

“Lauknya gak ada, Mas. Hilang di mana, ya?”

Mas Reza pun berdiri, ia membantuku mencari lauk tesebut.

“Pacinya warna merah, Li?”

“Iya, Mas. Kamu sudah menemukannya?”

“Pancinya di sini, Li.”

Aku pun berjalan ke belakang. Benar saja panci itu berada di wastafel dan terisi gelas dan air. Ayam di dalamnya telah berpindah tempat ke perut keluarga kakak iparku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ester Pewo
bagus ceritanya....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status