Share

Penampakan

Aku mendengus kesal, ingin rasanya memaki kepada suami istri yang kini tidur nyenyak di depan televisi. Bisa-bisanya mereka makan tanpa menyisakan tuan rumah. Apa mereka pikir aku ini babu?

"Kamu belum makan, Li?" tanya Mas Reza seraya melirik ke arahku.

"Aku belum makan semur ayam, apalagi makan orang yang tidur di depan televisi."

Mas Reza menelan ludah dengan susah payah. Dapat kulihat dari gerakan jakunnya. Dia ketakutan.

Napasku memburu, tangan pun mengepal dengan sendirinya. Ini level kemarahan tertinggi setelah sekian purnama kutahan. Ternyata sabar tak semudah yang aku kira.

"Kita makan di luar saja, Yang. Sekalian nonton. Ada film horor baru, kan?"

Aku mendongakkan kepala. Aku tatap senyum manis yang kini menghiasai wajah suamiku. Seketika amarah itu sirna, seperti api yang disiram oleh air hujan.

Dua tahun usia pernikahan kami. Aku tahu betul Mas Reza berusaha memadamkan amarahku. Ya, dia berhasil meski aku tahu ini tak akan bertahan lama. Namun merilekskan otot-otot sebelum pertarungan sangat diperlukan. Baiklah, aku terima tawarannya.

"Aku mau nonton sama makan bakso, sekalian belanja isi kulkas yang sudah kosong."

"Lah, jadi banyak."

"Jadi ngajak gak?"

Aku menyilangkan kedua tangan di dada dan bibir mengerucut, kesal. Kali ini ekspresiku seperti Niko saat merajuk meminta mobil-mobilan dengan nominal fantastis. Tak apalah sekali-kali meniru tingkah mereka.

"Iya udah, ayo!"

Aku pun menggandeng tangan Mas Reza menuju kamar. Kami bersiap-siap pergi ke mall.

"Ayo, Mas!"

Aku segera menarik tangan Mas Reza keluar rumah. Kami berjalan mengendap seraya melirik ke belakang. Tidak lupa kututup pintu perlahan. Kami benar-benar seperti maling di rumah sendiri.

Tidak apa, lebih baik seperti maling dari pada harus pergi bersama bocil.

Mas Reza menyalakan mesin motor sedikit jauh dari rumah. Tidak sedikit yang menatap aneh tingkah kami. Tak apalah, mereka tidak tahu kami berhadapan dengan siapa, monster kecil.

Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, kami pun sampai di salah satu mall terbesar di kota ini. Seperti kebanyakan mall, lautan manusia berada di dalamnya. Entah ingin nonton, makan, shopping atau sekedar menghilangkan penat.

"Makan dulu apa nonton?" tanya Mas Reza seraya menggandeng tangan ini.

"Belanja dulu deh, Mas."

"Tanyanya apa jawabnya apa?" Mas Reza menepuk pelan kepalanya.

Kami berjalan menuju supermarket yang ada di lantai satu. Dengan sigap Mas Reza mendorong troli. Satu persatu kebutuhan bulanan aku masukkan hingga hampir memenuhi troli itu. Suamiku diam seraya menggelengkan kepala.

"Kenapa belanja mie instan banyak, Li? Tidak beli daging atau ayam?" tanyanya karena heran melihat daftar belanjaku.

Aku tersenyum tanpa menjawab ucapannya. Biar saja makan mie instan tiap hari, dari pada masak ayam tahunya nyuci panci doang.

Setelah puas berbelanja kami memilih menuju restoran yang menjual bakso larva. Niat untuk menonton film aku batalkan. Takut tak nafsu makan karena melihat adegan berdarah-darah.

"Beneran yakin gak nonton film dulu?" tanya Mas Reza seraya melirikku dari spion.

"Keburu laper, Mas. Lain kali saja. Nanti restoran baksonya keburu tutup."

Mas Reza mengangguk, melajukan perlahan kendaraan roda dua menjauhi arena mall. Sepanjang jalan kulingkarkan tangan di perutnya. Sesekali bercanda meski kadang ucapan yang keluar tidak kumengerti maksudnya.

Apa ada yang sama sepertiku? Atau mungkin hanya diriku saja?

Halaman restoran sudah dipenuhi kendaraan roda dua dan roda empat. Tidak heran, ini adalah restoran bakso terenak di kota ini, versiku ... bukan versi kamu. Ya, kamu yang sedang baca tulisan ini.

"Ayo, Li."

Mas Reza menggandeng tanganku. Kami berjalan masuk layaknya anak muda yang tengah pacaran. Bukan orang tua yang digandeng menyeberang jalan.

Kami diam sesaat, mencari meja yang kosong untuk kami tempati. Netraku tertuju pada dua orang yang beranjak dari kursi. Mereka berjalan keluar.

"Mas pesan saja, aku cari kursinya."

Mas Reza mengangguk, mendekati pelayan restoran. Aku pun berjalan menuju meja yang baru saja ditinggal dua orang tersebut. Tidak lama pelayan restoran datang untuk membersihkan meja dan membawa mangkuk kotor ke belakang.

Aku dan Mas Reza duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas. Obrolan ringan menemani penantian kami. Hingga akhirnya pesanan kami datang.

"Mas Reno dan keluarganya mau menginap di sini, Mas?" tanyaku di sela-sela makan.

Mas Reza diam, menelan paksa bakso yang masih berada di mulut. Bahkan es teh pun ia minum agar mempercepat masuknya bakso ke perut.

"Mas gak tahu, Li."

"Yakin gak tahu?"

"Em ...."

Nada dering panggilan masuk menghentikan ucapan suamiku. Dia segera mengambil benda pipih yang ada di saku celana. Helaan napas terlihat jelas. Mas Reza terlihat begitu kesal. Sebenarnya siapa yang menelepon?

"Lagi makan, Mas. Kenapa?"

Aku membuang napas kasar. Dari nada bicaranya jelas Mas Reno yang menghubungi. Mau apa lagi lelaki itu?

Aku menyambar ponsel yang ada di tangan Mas Reza kemudian menyalakan pengeras suaranya. Tidak sopan memang, aku hanya ingin tahu apa yang dia katakan.

"Hallo, Reza! Kamu makan di luar kenapa gak bilang-bilang sama Mas? Harusnya kamu ajak kami. Kami ini tamu lho, Za!"

Sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak ini. Ingin aku maki lelaki bergelar saudara ipar itu. Namun lagi-lagi kutahan dan meminta Mas Reza menjawab dari kedipan mata.

"Mas sudah makan semur ayam sampai habis, kan?"

"Ini udah malam, Za. Kami lapar lagi."

Ya Allah ... Ya Robb ... Ada orang yang tidak memiliki urat malu seperti mereka. Pantasnya dikasih apa ini?

"Belikan kami sekalian, Za."

"Iya."

Kami melanjutkan makan setelah telepon dimatikan. Rasa bakso yang tadinya nikmat seketika hambar. Nafsu makanku hilang dalam sekejap.

Setelah selesai makan kami pun kembali pulang. Sepanjang jalan tak ada kata yang terucap dari mulut kami. Aku terlalu kesal dengan sikap Mas Reza.

Mas Reno sudah duduk di kursi teras saat kami tiba. Senyum lelaki itu merekah saat melihat kantung plastik dengan isi bakso di dalamnya.

"Ini, Mas!" ucapku lalu berlalu pergi. Aku tinggalkan dua lelaki itu ke kamar.

Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Kupaksa mata terlelap agar amarah tak sampai meledak. Sesulit inikah menghilangkan kebencian pada seseorang?

***

Aku mengejapkan mata kala alarm terus menjerit meminta perhatian.

PRYAAR

Aku terperanjat kala mendengar benda jatuh dan pecah. Aku goyangkan tubuh Mas Reza agar terbangun, tapi justru dia semakin tenggelam dalam mimpi. Mau tidak mau aku yang memeriksanya seorang diri.

Perlahan aku buka pintu. Cahaya terlihat jelas dari dapur. Dengan hati-hati aku melangkah menunju sinar lampu. Seketika mataku melotot melihat penampakan di hadapan.

"Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar."

Ya Allah, kenapa malah doa makan yang aku ucapkan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status