Share

Ketika Istri Berhenti Peduli
Ketika Istri Berhenti Peduli
Author: Ilyas One

Perubahan Naya

KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULI

Part 1

"Naya, mana sarapannya?" tanyaku pada Naya yang sedang menyusui putra pertama kami yang berusia sepuluh bulan.

"Nggak ada, Mas," jawabnya enteng. Dia malah menyandarkan tubuh kurusnya pada sandaran kursi sambil memejamkan mata.

Tingkahnya sangat membuatku emosi, padahal aku harus berangkat kerja. Tentu saja harus mendapatkan asupan makanan. Kalau tidak penyakit lambungku akan kambuh.

"Kenapa nggak ada? Aku mau berangkat kerja ini," decakku kesal.

Hening. Naya tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah tertidur sambil menyusui Daffa. Semakin membuatku kesal dengan tingkahnya. Masih pagi dia sudah ngantuk lagi. Hanya itu saja kerjanya dirumah, tidur.

Brak!

Aku menggebrak meja makan dengan keras sehingga menimbulkan suara gaduh. Daffa yang tadinya tertidur sekarang menangis. Mungkin karena dia terkejut.

Naya sibuk mendiamkan Daffa, dia berusaha menyusui kembali agar Daffa kembali tertidur.

"Jadi istri nggak becus! Kamu tau aku ada penyakit asam lambung. Jadi nggak bisa makan telat. Tapi kamu malah tidak menyiapkan sarapan. Kamu mau aku sakit hah?" bentakku geram.

Naya masih diam tidak menanggapi semua ocehanku. Semakin membuatku kesal dan geram.

"Kamu dengar nggak!" teriakku lagi diiringi dengan tangisan Daffa yang semakin menjadi.

"Ini lagi, bayi cengeng. Taunya nangis terus. Siang nangis, malam nangis! Lama-lama stres aku pulang kerumah ini," geramku sambil berteriak. Aku mengacak rambutku yang tadinya sudah rapi.

"Diiaamm!" teriak Naya tepat di depan wajahku. Suaranya sangat keras hingga membuatku tersentak kaget. Wajahnya sangat seram jika begini, mana rambutnya acak-acakan. Bibir pucat dan kering, dia sungguh tidak mengurus diri dengan baik.

Aku tidak menyangka Naya akan bersikap seperti ini.

Tidak biasanya dia meneriaki ku. Semenjak kami menikah dia selalu menjadi istri yang penurut. Dia sangat patuh pada semua aturan yang aku buat dirumah ini. Jangankan berteriak, membantah omonganku saja dia tidak pernah.

"Berani kamu ya! Dasar istri durhaka," hardikku marah. Tidak kuperdulikan lagi tangisan Daffa yang semakin menjadi. Gara-gara dia aku selalu bertengkar dengan Naya.

"Semalaman Daffa menangis, apa kamu peduli? Nggak. Karena tidur lebih penting buat kamu, Mas. Badannya panas, karena giginya tumbuh. Jadi wajar jika dia menangis sepanjang malam. Gusinya bengkak. Aku bergadang semalaman menjaga dia, seharusnya kamu paham posisiku, Mas." Naya berucap berapi-api, seakan dia mau menerkam ku hidup-hidup.

"Kamu boleh menghina dan memaki ku setiap hari. Boleh, Mas. Tapi jangan sekalipun kamu mengatakan apapun tentang bayiku, tentang anakku!" tegasnya sambil menunjuk kearahku.

"Kamu gila, Nay? Dia bukan hanya anak kamu. Dia juga anakku," balasku sambil menepis tangannya.

"Anak kamu? Sekarang aku tanya sama kamu. Kapan terakhir kamu menggendongnya? Kapan terakhir kalinya kamu mencium dan bermain dengannya?" tanyanya menatapku tajam.

Aku kembali terdiam mendengar semua pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Naya. Karena semua pertanyaannya barusan tidak ada jawaban yang berarti.

Semenjak Daffa lahir, entah berapa kali aku menggendongnya. Hanya beberapa kali aku bermain dengannya. Itupun saat Naya sedang mandi atau ke WC.

Tapi itu semua tidak sepenuhnya salahku. Karena aku sudah capek bekerja banting tulang. Untuk mereka, untuk Naya dan Daffa. Karena sepenuhnya tugas menjaga anak dan mengurus rumah itu kewajiban istri.

"Kenapa kamu diam, Mas? Kamu bingung mau jawab apa kan? Karena memang kamu tidak pernah menganggap kami berharga," lanjut Naya lagi. Kembali dia mencium kening Daffa dan membawanya ke dalam kamar. Meninggalkan aku sendiri dengan masalah yang belum terpecahkan. Sekarang dia malah memojokkan ku.

"Aku tidak menggendong Daffa karena aku capek kerja. Seharusnya kamu paham itu. Aku pergi pagi pulang sore, demi siapa? Demi kalian." 

Dengan langkah cepat aku mengikuti Naya dan Daffa yang sudah berada di dalam kamar. Kulihat Naya membaringkan Daffa di atas tempat tidur, dan kembali menyusuinya.

Naya tidur miring membelakangiku. Tangannya mengusap mata berkali-kali. Mungkin dia menangis. Kuraup udara sebanyaknya, dadaku terasa sempit. Perutku mulai terasa perih, minta diisi.

"Tolong buatkan aku mie atau apapun, aku sangat lapar," ucapku sambil mengelus bagian perut.

Semenjak menikah, aku tidak pernah lagi makan di luar. Masakan Naya selalu menjadi nomor satu di lidahku. Apapun yang dia olah akan terasa sangat nikmat.

Untuk makan siang pun kadang aku pulang, karena makanan diluar sangat tidak sehat.

Aku sudah terbiasa dilayani olehnya. Jadi aku merasa tersisih saat Daffa lahir ke dunia. Bukan aku tidak menyayangi anakku sendiri, hanya saja aku merasa dikesampingkan. Seperti sekarang.

"Nay," aku kembali memanggil Naya. Tapi dia sama sekali tidak menanggapiku.

"Sebentar," jawabnya sambil bangkit dari tempat tidur. Daffa terlihat sudah tidur.

Aku kembali mengikuti langkah Naya kedapur. Dia membuka rice cooker dan mengambil nasi dari sana. Kemudian dengan cekatan dia menggoreng nasi hingga baunya menguar, membuatku semakin lapar.

Setelah semua terhidang di atas meja, aku dengan cepat melahapnya. Untung saja masih ada waktu untuk ke kantor. Kalau tidak aku akan kena denda.

"Mas, uang belanjanya sudah habis," ucap Naya saat aku sedang memakai sepatu di teras rumah.

"Belum juga sebulan, udah habis. Kamu jangan banyak jajan," ucapku sambil melihatnya menyapu lantai.

Selalu seperti ini, dia akan diam jika aku memarahinya. Aku akan mengoceh sendiri sepanjang waktu, dia akan tetap diam. Kadang aku kesal, seakan semua yang aku katakan tidak berarti.

"Nih, hemat. Cari uang itu capek," tekanku lagi sambil mengulurkan uang seratus ribu padanya.

"Tapi pampers Daffa habis, Mas. Beras dan ikan juga nggak ada," protes Naya saat aku hanya memberikan uang seratus ribu.

"Beli eceran aja dulu, sampai awal bulan nanti. Jangan banyak protes!" bentakku kesal. Dia pikir enak apa cari uang seratus ribu.

Seperti biasa, Naya akan mengambil uang itu sambil meraih tanganku untuk dicium.

"Man, kamu mau berangkat kerja?" Tiba-tiba terdengar suara Ibu yang kini sudah berada di depan kami.

Rumah Ibu memang tidak jauh dari sini. Hanya sekitar selang tiga rumah. Jadi Ibu sering kesini jika butuh sesuatu.

"Iya, Bu. Ini mau berangkat," jawabku sambil meraih tangannya, berpamitan.

"Kamu ada uang nggak, Man? Beras dirumah Ibu habis," tanya Ibu.

"Ada, Bu. Nih," aku segera mengambil dompet dan menyerahkan uang seratus ribu pada Ibu. 

"Tapi ini nggak cukup, Man. Kata Lela, pampers anaknya juga sudah habis. Mana suaminya belum kirim uang," keluh Ibu lagi dengan wajah memelas.

Lela itu adikku satu-satunya. Aku hanya dua bersaudara. Kami dibesarkan oleh Ibu seorang diri, karena kata Ibu, Ayah sudah meninggal saat kami masih kecil. Tapi sampai sekarang aku tidak tau dimana makamnya berada.

Lela juga sudah menikah, tetapi dia masih tinggal sama Ibu karena belum punya rumah sendiri.

Sedangkan suaminya bekerja di negara seberang, sebagai TKI. Lela sama dengan Naya, tidak bekerja. Jadi hanya uang kiriman dari suaminya yang dia harapkan.

Kulihat wajah Naya mulai masam ketika Ibu meminta uang untuk pampers anak Lela padaku. Tapi apa urusannya, bagaimanapun Lela adalah adikku satu-satunya.

Tidak mungkin aku mengabaikannya dan tidak membantu ketika dia sedang sulit begini. Dompet yang tadi mau aku masukkan kedalam saku celana, kembali kuambil.

Aku memberikan uang seratus ribu lagi pada Ibu.

"Untuk pampers Diki," ucapku pada Ibu.

"Terimakasih ya, Man," ucap Ibu sumringah.

"Apaan sih, Bu. Makasih segala, gimanapun kan Ibu dan Lela masih menjadi tanggung jawabku," jawabku yang semakin membuat Ibu tersenyum.

Brak!

Aku dan Ibu sangat terkejut saat pintu rumah ditutup oleh Naya. Benar-benar tidak sopan, padahal Ibu masih disini.

Untung saja aku sudah terlambat ke kantor, jika tidak sudah aku beri pelajaran padanya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rastri Quinn
Untuk Pampers anaknya sendiri aja eman, utamain aja pampers ponakannya yg jg masih punya bapak. sekalian si bapaknya juga dibeliin pampers. suka kesel sama laki modelan kek gini
goodnovel comment avatar
Fachry Pamungkas
untuk pembaca sekalian, jangan di tiru tingkah suami seperti ini yaa, karna kewajiban suami itu bukan hanya nafkah materi saja, karna anak2 kita, dan istri2 kita, juga butuh perhatian, dan kasih sayang, dan pastinya juga ingin sesekali di manja ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status