Memilih pergi
"Aku talak kamu ... kita berpisah El," setelah lama terdiam akhirnya, keluar juga kata itu.Mendengar kalimat singkat dari suaminya, lutut Eliana menjadi lemas. Gelas yang dari tadi ia pegang merosot jatuh ke lantai, menjadi serpihan kaca kecil yang berserakan. Sama seperti hatinya kini, hancur berkeping-keping, berserak. Eliana berusaha untuk duduk dan menenangkan getaran dalam tubuhnya.
Eliana hanya terdiam seribu bahasa. tanpa menjawab.
"Aku telah salah menduga El, kukira dirimu tulus mencintaiku. Ternyata, kau tidak mencintaiku. Buktinya kau menyerah hanya karena melihat vidio itu."
Emosi Eliana sedang naik satu tingkat. Ucapan itu lolos begitu saja. Namun, seperti biasa Eliana berusaha diam dan tegar.
"Apakah ini akhir dari pernikahan kita?"
Eliana terisak tak mengerti kenapa bisa seperti ini.
"Aku sudah malas menjelaskannya. Aku memberi pernyataan pun kau tak kan percaya," Satria meremas rambutnya yang tidak gatal.
"Aku tidak bisa lagi hidup bersamamu. Besok aku pergi, aku ada meeting lagi dengan Bosku menyelesaikan urusan bisnisnya di luar kota, aku harap jika aku kembali kau sudah pergi."
Deg seolah dunia Eliana telah runtuh.
Satria mengakhiri kalimatnya matanya memerah. Menahan amarah, Satria sudah siap jika Eliana mencaci bahkan memakinya, apapun ucapan Eliana itu Satria telah memutuskan tak kan menjawabnya lagi.
Satria sudah menjelaskan semuanya namun Eliana tidak percaya, jalan satu-satunya perpisahan ini akan tetap terjadi.Yolanda atasan Satria juga Bosnya yang selalu memintanya menceraikan istrinya
membuat hati Satria bulat dengan perkataannya.Eliana hanya bisa pasrah akan akir dari pernikahannya, bahkan kalimat itu sudah terucap dari bibir Satria. Andai Eliana
menolak dan berontakpun akan sia-sia saja, Seperti perempuan lainnya. Eliana juga ingin berteriak dan bertanya, tapi mulutnya rapat. Hanya terlihat lelehan air mata yang tidak sanggup dia tahan.Hening. Hanya terdengar nafas yang memburu dari keduanya. Tak sepatahpun kalimat keluar dari bibir Eliana.
kata talak bagi perempuan di manapun adalah seperti tamparan bagi seorang wanita dalam sebuah perkawinan. Begitu juga bagi Eliana, sedetik setelah ia mendengar kata itu, lututnya serasa goyah. Ia merasa jika separuh hatinya telah hilang. Entah bagaimana hidupnya nanti bersama Daffa pikiran Eliana buntu, ia tak bisa berpikir apapun lagi.
Eliana cukup paham, dari awal dirinya membangkang Ayah dan Ibunya hingga ia mendapatkan kata takak dari suaminya tak lepas dari berontak nya pada orang tua. tidak pernah mendapat tempat di hati orang tuanya. Mungkinkah ini karna jika membangkang perkataan orang tuanya? Air mata Eliana tak berhenti mengalir.
Satria mengusap kasar wajahnya. Cukup tahu jika Eliana menangis. Cukup lama Satria ingin mengetahui Eliana yang menutupi wajahnya dengan tangan. Entah mengapa tangannya kaku, padahal dihatinya yang terdalam dia ingin sekali meraih kepala perempuan yang telah tiga tahun menjadi istrinya dan memberinya putra yang sangat tampan.
"El, apa kau tak ingin membela dirimu? Kau menginginkan perceraian ini kan?"
Diam
Hening
Satria merasa jika ia sangat bersalah, bagaimana bisa perkataan nya lolos begitu saja pada istrinya. Entah perasaan gila apa yang dirasakan Satria yang terus menerus diracuni pikirannya oleh Yolanda Bosnya.
"El...."
Eliana yang menunduk sekarang mendongak meliahat kearah laki-laki yang baru saja menalaknya. Dan membuka tangannya yang basah dengan air mata.
Satria menelan ludah, ia harus kuat melihat ini semua, jauh dilupuk hatinya ia ingin memeluk erat wanita yang dinikahinya tiga tahun lalu. Namun egonya lebih tinggi dari pada logikanya.
"Aku menerima perceraian ini, Bang." Eliana bicara pelan.
Satria terkejut, ia menyangka jika Eliana akan marah dan memakinya nyatanya ia hanya pasrah.
"Baiklah, kau bisa ambil apapun yang kau mau dari rumah ini. Termasuk kau bisa membawa Daffa, dia masih kecil belum bisa berpisah denganmu." Satria bergetar hebat.
Eliana mengangguk, tidak ada sepatah katapun yang meluruskan perkataan suaminya. Dada Satria begitu sesak, dia mungkin lupa begitu dalam dan besar cintanya pada perempuan di hadapannya selama ini.
Eliana mengemasi bajunya dalam tas, hanya tas kecil yang ia kemasi. Itupun hanya pakaian Daffa dan sedikit bajunya. Digendong Daffa dan ia melangkah keluar, Satria hanya duduk mendongak melihat istrinya.
Satria melihatnya mengemasi beberapa helai pakaian dalam koper. Tanpa menoleh, ia bergegas berjalan didepannya dengan hujan yang sejak tadi tak berhenti tumpah dari wajah Eliana, namun seolah Satria masih mempertahankan egonya.
Sambil berjalan di depannya, Eliana mencoba untuk mengeluarkan suara. Begitu sulit suara keluar dari mulutnya, namun Eliana tetap mencoba untuk berkata, mengeluarkan segala tanya yang tersimpan dalam dada.
"Aku pamit...."
Satria diam hanya menunduduk tak berani menatap wajah istrinya yang berlalu pergi
Eliana meneruskan langkahnya pergi meninggalkan rumah itu dengan segudang luka di hatinya. Eliana berjalan melangkah melewati trotoar di sebelah kiri jalan menuju pertigaan. Suara kicau burung terdengar merdu di pepohonan rindang pinggir jalan. Angin pagi ini, membuai Eliana seakan dunianya telah hancur.
Ia terus saja melangkah saat ada yang mengikutinya di belakang, dalam benak Eliana jika suaminya yang mengejar namun sepertinta bukan. Langkah kaki semakin Eliana percepat, agar lekas sampai di pertigaan dan saat ia menoleh ternyata Sonya yang menegurnya.
"Lo Mbak Eliana, mau kemana bawa tas segala?" tanya penasaran Sonya pada Eliana.
"Emm, Mbak mau ke rumah sakit nih, waktunya Daffa imunisasi," bohong Eliana pada Sonya.
"Baiklah Sonya antar Mbak, sekalian Sonya ke kampus."
"Ga ngrepotin nih, Sonya!"
"Ga lah, Ayo naik Mbak, sini biar rasnya Sonya taruh di depan."
"Baiklah, terima kasih ya Sonya."
"Sama-sama Mbak."
Sonya melajukan motornya menuju rumah sakit terdekat, di belakang Eliana tak bisa menyembunyikan kesedihannya air matanya jatuh membasahi pipi.
****
"Astaghfirullah... Bukankah El tidak punya saudara di kota besar ini ya Allah betapa bodohnya aku...." Lirih Satria kesal pada dirinya sendiri.
Ia berlari mencari istri ya namun tak juga ia dapati, ia berjalan ke pertigaan juga sepi. Bagaimana jika Eliana tersesat astaga bagaimana jika orang tuanya menyalahkan Satria nanti. Sudahlah bukankah dia punya banyak uang di kartu ATM nya.
Satria berjalan menuju rumahnya begitu sepi biasanya Daffa menagis keras meminta digendong oleh Ibunya. Satria berusaha menepis bayangan itu. Satria tidak ingin rindu.
Dengan langkah cepat Satria meninggalkan jalanan dan masuk ke rumahnya yang begitu sederhana. Hingga dadanya begitu sesak sapaan lembut Eliana tak lagi ia dengar. Bahkan baru lima menit ia meninggalkan rumah ini namun Satria begitu rindu.
"Bang, makan dulu."
"Ini kopinya Bang."
"Bang, tolong ajak Daffa sebentar."
Sunyi, rumah ini tidak ada penghuninya kini. Ada yang hilang dari dalam tubuhnya, separuh hati Satria m telah hilang. Bagaimana nasibnya kini, kemana ia akan pergi? Satria berjalan ke arah ranjang dan menjatuhkan tubuhnya.
Sepertinya ada barang dibalik tubuhnya dan benar saja, keningnya berkerut.
Seluruh perhiasan utuh, buku tabungan dan ATM yang biasa dia pegang juga masih rapih tersimpan dalam tas ini, bagaimana nasib Daffa jika ATM nya saja tidak Eliana bawa.Aghhh ... ada rasa cemas, Satria membuang semua barang jatuh ke lantai. Eliana sudah gila, tak ada satupun barang yang di ambil dari rumah ini, hanya beberapa potong pakaian dia dan Daffa. Mata Satria menatap nanar ke atas langit kamarnya. Seribu tanya berkecamuk dalam dadanya. Kemana perginya?
Tut ... tut ... tut....
[Nomor yang Anda tuju sedang diluar jangkauan, silahkan tinggalkan pesan.]
Satria membanting gawainya. Tak percaya jika perbuatannya sebodoh ini. gundah yang membersit di hati Satria, mereka hidup dengan cara apa? Tanpa uang kemana mereka pergi? Eliana tidak memiliki siapapun di kota ini.
Eliana tidak pernah lagi membantah ketika Satria perintah. Tidak pernah komplen ketika ia pulang malam bahkan tidak pulang karena pekerjaannya. Tidak pernah melarang ketika Satria menghabiskan sabtu minggunya bersama teman sekerjanya.
Namun tidak pernah Satria sangka jika Eliana begitu cemburu soal kedekatannya dengan yolanda, dan pada akirnya Eliana akan menghilang seperti sekarang ini.
"Di mana kamu El....?"
Next....Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke