Share

Mencoba tegar

Mencoba tegar

Satria merasa begitu lelah akan hidupnya sekarang separuh dari hatinya telah menghilang. Seminggu sudah Satria baru kembali dari urusannya bersama bosnya ke luar kota. membuat Satria merasa hampa. Ia ingin segera merebahkan tubuhnya ke ranjang dan tiduran . 

[Sat. Terima kasih buat waktunya ya?menemaiku ke resto, selamat istirahat.]

[Sama-sama]

Malas Satria membalasnya jika bukan Bosnya mungkin akan Satria abaikan. 

[Nanti temani aku makan malam ya? Di acaranya Yuni ulang tahun dia?]

Satria menyusap rambutnya dengan kasar, entah apa yang ada dalam pikirannya Bosnya ini. Satria tak membalasnya dan segera ke kamar mandi. Ia nyalakan shower, tak pikir panjang ia langsung mengguyur seluruh tubuhnya yang begitu penat merasakan jika ia sangat merindukan Eliana memakai daster lusuh milik istrinya. Dan memberikan nya secangkir teh jahe hangat kesukaannya. 

Dalam resah yang sepertinya menampar jiwa, tak sengaja Satria menangkap sabun wangi milik istrinya juga sabun baby milik Daffa, sepertinya harum tubuh Eliana dan Daffa masih tertinggal di rumah ini. Bayangan-bayangan itu membuat dada Satria terasa bergemuruh. 

Satria terus mengguyur tubuhnya dengan shower hingga air itu bisa menghapus sudut matanya yang terasa basah. Runtuh sudah ketegaran Satria. Ia menangis, Satria mugkin saja murka atas kebodohannya yang telah salah menilai sosok istrinya sendiri.

Perut Satria terasa perih namun ia tak ingin makan, ia mengganti pakaian dan duduk kembali di sofa depan TV dan meraih gawainya. semenjak El pergi, entah berapa ratus kali Satria menghubungi nomor gawai perempuan itu. Jawabannya selalu sama, tidak aktip. 

[Satria aku tunggu ya harus bisa?]

Satria tak mengerti dengan Bosnya, Satria merasakannya saat ini. Tatapannya kosong dalam diam. Menyadari kalau dia telah kehilangan mutiara yang paling berharga dalam hidupnya Eliana. 

[Baiklah]

Toh ... di rumah hanya semakin membuat Satria menjadi gila karena mengingat Eliana. Senyum lembut dan kehangatan serta cinta perempuan yang selalu menatapnya dengan binar rindu yang sama. Satria rindu.... 

"Maaf ya bila selalu mengusahakan," ucap Yolanda. Ia berusaha meredam mood lelaki yang sangat ia sukai Satria. 

Satria menggeleng. "Bilang pada Yuni untuk tak lama-lama acaranya," ujar Satria datar. 

"Iya ... tenang saja tak akan lama, aku janji," ucap Yolanda lagi. 

Satria menatap penjuru ruangan, sekilas ia melihat Eliana istrinya sedang berdansa dengan seorang lelaki dan ia langsung menghampiri dan memukul pria itu. Berkali ia mendorong tubuh lelaki itu. Lelaki itu hampir terjatuh karena Satria. 

"Hey apa masalahmu?" tanya lelaki itu tak mengerti. 

"Kau apakan kekasihku!" Wanita itu menjerit dan memukul-mukul tubuh Satria yang sedikit pun tak bergerak, ia tetap erat mencekik leher Lelaki itu. 

"Satria sudah ... sudah ... ya Allah sudah ... apa masalahmu dengan lelaki ini." Yolanda yang panik mulai terisak. 

Seketika Satria sadar ia hanya berhalusinasi saja. Ia dengan cepat menurunkan tangannya. Astaga bayangan Eliana selalu menghantuinya kemana pun Satria pergi. Dengan kasar ia meremas rambutnya. 

Yolanda menggeleng cepat. "Kenapa Satria? Ada apa denganmu hah. " Yolanda mengusap lembut jemari Satria. 

Satria menarik napas lega, akhirnya bukan wajah Eliana yang diajaknya berdansa. 

"Astaghfirullah ada apa denganku," lirih Satria. 

"Ada apa? Kau membuat kekacauan di sini Sat." ucap Yuni kasar pada Satria. 

"Apa...?" bentak Satria. 

"Ehhh ... itu, tidak apa-apa Satria," ucap Yuni terbata. 

Satria memerah menahan amarahnya. "Aku tak mau disini, aku akan pulang," ujar Satria. 

"Tunggulah sebentar Sat, acara juga belum mulai kan," rayu Yolanda pada Satria. 

Satria segera turun dari resto dan berlalu pergi tanpa menghiraukan Yolanda atasannya, Satria mengutuk diri, bagaimana mungkin ia bisa membayangkan Eliana dan melukai pria itu.

Kenapa keindahan Eliana istrinya itu tergambar jelas setelah ia pergi? Mengapa kesempurnaan itu tampak nyata setelah Eliana berlalu pergi dari hidupnya?

*

Entah sudah jam berapa matanya belum bisa bisa terpejam. Baru seminggu Satria di tinggal oleh Eliana ia merasa tersiksa sekali. Pikiran dan hatinya yang kacau membuat dia lupa makan dan minum. Padahal, di kantor juga tidak makan hanya minum kopi beberapa teguk saat istirahat meeting. 

Satria menatap gawainya dan menelusuri chat terakhir Eliana yang tak ia balas. 

[Daffa sudah tumbuh gigi, Bang.]

[Bang, sudah makan belum?]

[Bang, awas jangan tidur malam. Ga bagus buat kesehatan.]

[Bang, aku masak kesukaanmu. Pulang cepat ya.]

[Bang, aku dan Daffa rindu, kita jalan-jalan yuk.]

Satria hanya tersenyum getir. Chat dari El yang selama ini dianggap biasa dan kadang di anggap cuma angin lalu, terasa begitu manis.  

Kata seseorang, jika wanita marah maka cukup diam dan dengarkan sampai ia lelah mengeluarkan semua umpatan dalam hatinya. Maka inilah yang salah dari Satria ia malah marah membuat El begitu takut. Bukannya reda, kemarahan El seumpama bom waktu yang akhirnya bisa meledak.

Satria masih di kantor dengan segudang pekerjaan. 

"Bro, ayo … sudah ditunggu Bu Yolanda, di ajak bareng dia tuh!” ucapnya sementara matanya mengerling ke arah Bosnya Yolanda yang tampilannya begitu seksi. 

"Loe duluan aja, Bro… bentar lagi gue nyusul."

"Ah pasti lu maunya berduaan doang sama Bos," godanya membuat kedua bola mata Satria melotot ke arahnya.

"Pergi duluan, sana! Bu Yolanda ajak aja sekalian!" Biar aku sendiri."

"Alasan doang loe Sat, sih," ucapnya menaikkan satu alisnya keatas sambil menutup pintu. 

Satria segera menelpon Yolanda. Satria meminta agar dia berangkat duluan saja dengan yang lain. Karena masih ada file yang harus ia kerjakan. Awalnya Yolanda menolak namun akhirnya ia ikut dengan yang lain. 

Setengah jam berlalu, akhirnya pekerjaanku selesai. Satria melihat gawainya tapi tidak juga ada balasan. Ia mengirim kembali pesan pada Eliana. Satria menunggu balasannya tapi tak kunjung datang. 

Khawatir sebetulnya tapi mau gimana pun ini sudah menjadi kerjaannya, ia harus bangkit tanpa Elena lagi. Satria merebahkan tubuhnya di kursi, berusaha mengatur nafas agar sedikit tenang. Tangannya, menggapai sesuatu di sampingnya. Dengan tangan bergetar, dia mengetik sesuatu di layar gawainya. 

[Sayang, pulanglah.] 

Centang itu masih sama dari kemarin tetap centang satu, tidak ada notifikasi, pesan masuk. 

Gawainya Satria sunyi. Sesunyi hatinya kini. 

*

"Non, bagaimana keadaannya apa masih pusing?" tanya si Mbok yang merawat Eliana. 

"Alhamdulillah baik Mbok, maaf Eliana merepotkan," ucap Eliana pada si Mbok. 

Si Mbok tersenyum. "Tidak apa-apa Non jadi Simbok punya teman, di rumah sebesar ini Mbok hanya sendiri, Den Reindra sibuk."

"Mbok tahu bagaimana Den Reindra menyelamatkanku?" tanyanya penasaran. 

"Kata Den Reindra, ia menemukan Non Eliana di pinggir jalan Non sedang tak sadarkan diri sedangkan anak Non menangis."

"Apa ada sesuatu yang Mbok simpan, cerita saja, Insyaalloh aku bisa menjaganya. Lagian aku belum bertemu dengan Den Reindra Mbok."

"Cerita apa Non, Mbok mana tahu."

"Den Rein memaksamu?"

"Tidak, Non."

Eliana tertawa ringan. "Seperti apa wajah Den Rein Mbok?"

Si Mbok menggeser duduknya, kemudian menepuk tangan El. "Yakin nanti kalau Non Eliana ketemu ga jatuh Cinta?"

Eliana menggeleng. "Jangan mbok? Eliana hanya seorang istri yang tak diharapkan!mana mau Den Rein sama El. "

"Siapa tahu jodoh Non," bisik Mbok Siti setengah menggodanya.

Eliana tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan menatap malu wajah Simbok. 

"Non, sepertinya Daffa nyenyak tidurnya?"

"Iya mumpung Daffa tidur aku bantu masak Mbok," ucap Eliana. 

Sejenak Eliana merasa jika perasaannya sedikit membaik, semoga saja hari-hatinya akan membuat lukanya sedikit terobati. 

Eliana membantu Mbok Siti memasak, karena kata beliau Reindra akan pulang hari ini, setelah lama sejak Dia menolong Eliana, kata si Mbok ia ke luar kota untuk urusannya, Mbok Siti bilang jika Reindra bekerja sebagai Dosen di sebuah kampus di kota ini. 

Eliana melangkah ke arah dapur, duduk di kursi. Meneruskan memotong wortel, kentang juga kol, sosis serta baso. Untuk sayur sop yang di inginkan Den Rein kata Mbok Siti. 

Sekuat hati Eliana tahan jangan sampai air matanya luruh kali ini. Sudah cukup Eliana menjadi perempuan cengeng karena meratapi nasib yang sempat ia anggap hancur beberapa waktu lalu. Nyatanya di dunia ini ia masih ada orang baik yang menolongnya. 

Dengan cekatan Eliana siapkan sayur dan lauk untuk di masak. Biar Simbok ga terlalu capek. Beberapa hari ini beliau yang mengurusnya saat Eliana deman tinggi. 

"El," panggil Simbok sambil meletakkan mangkok kosong untuk di isi sayur yang sudah matang. 

"Iya. Biarkan di situ saja, sebentar lagi matang Mbok," jawabnya tanpa menoleh lagi. Eliana menyibukkan diri mengaduk sayur di atas kompor.

"Baiklah, karena sudah selesai Mbok yang akan menyapu ruangan ya Non El."

"Iya, Mbok."

Terdengar si Mbok bersih-bersih, melangkah penjuru ruangan dan membersihkan semuanya. Sedangkan Eliana sibuk di dapur membuat lauk ayam goreng juga tahu goreng. 

"Sudah selesai, El?" tanyanya kembali ke dapur. Saat itu Eliana tinggal membereskan perabot yang ia cuci di wastafel. 

"Sudah. Tinggal beres-beres, Mbok."

Terdengar suara deru mesin mobil. Di depan rumah, Mbok Siti tersenyum kearah Eliana dan berlalu pergi ke depan rumah mewah ini. Menit berikutnya si Mbok datang setengah berlari. 

"Non, Den Rein sudah pulang."

Deg

Ada rasa yang entah, namun Eliana berusaha untuk menyampaikan rasa terima kasih. Ya karena Rein sudah menolongnya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Corine
ceritanya bagus, cuma alurnya loncat loncat. Keterangan dll gak ada, penjelasan nya gak ada. mungkin penulis dapat ide langsung ditulis tanpa menjelaskan alur posisi dimana.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status