Reindra limbung. Dia memegangi dadanya kuat-kuat. Dafa bisa membayangkan jika Papanya tengah menahan kesakitan yang begitu berat. Dafa menahan tubuh Papanya dan menaikkan Reindra ke dalam mobil. Sementara Eliana terlihat sangat pucat karena begitu takut jika suaminya tak tertolong. "Daffa bantu, Papa naik, Nak." Sesaat Eliana mau terjatuh dan akan pingsan. Kepalanya begitu berat, ia tak tega melihat Reindra begitu menderita karena sakitnya. "Aduh, Ma. Mama yakin akan menemani Papa? Ini Mama enggak sehat lo."Eliana tersenyum. "Yakin sayang. Papa butuh, Mama kan. Mama hanya titip Bian sayang ya. Jaga adikmu baik-baik.""Iya, Ma tenang saja kalau soal, Bian. Dafa bisa jaga kok.""Makasih sayang." Eliana memeluk Dafa. Dafa menggandeng tubuh mamanya ke dalam mobil. Dan Bu Hani mencoba memberi minyak pada hidung Eliana. Sementara Dafa dan Bian mencoba menuntun tubuh Eliana ke dalam mobil. "Dafa ingat pesan, Mama, Nak."Dafa mengangguk mencium punggung tangan sang Mama. "Kita berangkat?
"Kamu janda, Nona Eliana?" tanya lelaki yang juga entah menunggu siapa berada di rumah sakit itu juga. Eliana hanya tersenyum tipis. Ini pertama kalinya ada pria yang begitu berani menanyakan statusnya."Eliana?"Lelaki itu semakin penasaran karena wanita di depannya tak juga menjawab."Saya wanita bersuami, Tuan." Eliana menjawab dengan datar, tanpa emosi. Eliana tidak ingin dikasihani, apalagi dianggap hina hanya karena menunggu suaminya seorang diri. Terlebih, Eliana sering kekuar masuk rumah sakit karena membeli makanan untuknya juga suaminya yang kadang bosan masakan rumah sakit, dan mungkin orang itu melihat Eliana selalu sendiri terlihat di rumah sakit. "Oh."Eliana sedikit naik turun emosinya, sedang naik satu tingkat, lelaki itu membuat Eliana sedikit geram. Eliana terdiam sesaat, sibuk dengan pikirannya. Lelaki itu yang lebih dulu memecahkan keheningan."Maaf, harusnya aku gak bicara begitu," ucapnya lalu mendongak pada wajah cantik di hadapan.Eliana mengembuskan napas. Ia
Ternyata dalam hidup kita tidak selamanya baik-baik saja. Diantara sekian keadaan yang dialami seseorang, ada saatnya ia seperti masuk ke dalam ruang gelap, seperti di goa, sepi, sunyi, sendiri, gelap, semua serba sangat terbatas. Seperti ujian itu akan datang pada siapapun sewaktu-waktu seiring tumbuh dan semakin dewasanya kita. Seperti pohon yang semakin tinggi semakin besar terpaan anginnya. Satria menikmati sebatang rokok yang menyala. Langit masih terlihat mendung, udara masih terasa dingin dan lembab karena hujan dan gerimis yang baru saja mereda. Di atas balkon miliknya ia diitemani secangkir kopi hangat juga sebatang rokok ditangan. Tapi, dia semakin penasaran saat Bian begitu menyukainya. Satria menghembuskan asap rokoknya ke udara. Membuat sosok yang baru saja mendekat ke arahnya terbatuk."Uhuk uhuk ... kenapa Ayah?" Cika menghentikan langkahnya di pertengahan pintu."Cika kau itu, Nak," sapa Satria, buru buru Satria meletakkan dan mematikan rokok dalam asbak. Cika menatap
Mereka memilih makanan soto daging lamongan, Seorang pramusaji datang mengantarkan pesanan. Keduanya menikmati makan siang tanpa ada percakapan hingga mereka keluar restoran. Reindra menggandeng Eliana berjalan menuju depan restoran, karena sopir taksi maaih menuggunya di sana. Eliana menoleh malas. "Eliana," panggil seseorang yang menghentikan langkah Eliana dan Reindra di koridor restoran. Dan Eliana mencari ke arah suara.Seorang cewek seksi dengan postur tinggi dan rambut panjang pirang diikat rapi ke atas berdiri tidak jauh di belakang mereka. Tiba-tiba debar di dada Eliana berpacu lebih cepat, ketika wanita itu mendekat."Apa kabar?" Eliana menoleh malas. "Baik," jawab Eliana sambil menyambut uluran tangan wanita yang tersenyum kecut kearahnya. "Yolanda." Sesaat Yolanda menjabat tangan Eliana."Enggak nyangka bisa bertemu kalian di sini."Reindra dan Eliana saling tatap. "Wah kalian serasi juga ya. Bagimana jika Satria merebutmu kembali, El.""Maksud kamu merebut?" tanya Eli
Jangan ditanya jantung Reindra, seperti apa saat ini, menelan saliva ke kerongkongan. Jantungnya naik turun, rasa yang sudah di berada di ubun-ubun harus kembali tertahan. Ketika melihat Eliana keluar kamar hanya mengenakan handuk saja. Eliana kaget saat tangannya diraih oleh seseorang dari belakang. Ketika menoleh, Reindra sudah berdiri di sebelahnya dan memeluknya dengan kencang. "Mas.""Aku sudah sehat, El.""Hmm, serius.""Hu um."Perlahan namun pasti Reindra kini berdebar kencang menemukan sesuatu kenyal itu lagi dan berpegang erat di sana. Cukup lama Reindra menjelajahi bagian belakang Eliana. Setelah itu ia menggendong tubuh Eliana ke atas ranjang untuk melanjutkan ke hubungan halal. Sudah cukup lama Reindra tersiksa karena lemas di tubuh sakitnya. Reindra tak pernah menginginkannya. Ia pikir mungkin sang istri pun pasrah karena tak pernah Reindra menyentuhnya selama sakit. Dengan kesembuhannya, ia bisa menyalurkan semuanya tanpa harus tertahan lagi. Seakan mengeluarkan semua
Semilir angin malam nenembus kulit pori-pori Eliana, ia berada di balkon menatap gedung bertingkat nan jauh disana. Kota yang begitu padat, bahkan dulu Eliana tak pernah menyangka akan berada di kota sebesar ini, biasanya ia selalu ke sawah ikut menanam padi, menjemur padi punya orang tuanya di kampung. Setelah menikah dengan Satria ia diajak Satria merantau ke Jakarta, berusaha mengubah nasib. Namun kala itu Satria yang mengajaknya merantau ke kota besar, disitu awal dari awal skandal Satria dan Yolanda. Eliana merasakan perih disakiti, dan ditinggal pergi suaminya untuk selamanya, saat ini ia sudah berdo'a dan meminta pada sang pemberi kehidupan untuk bisa memaafkan Satria dan memberikan kesempatan. Apa salahnya memberi kesempatan seseorang yang mau untuk berubah, bukankah Allah saja maha pemaaf, dingin malam semakin dingin. Dafa datang dan duduk di samping Eliana. Dafa menghela napas panjang. "Mama, yakin bisa menerima, Ayah Satria dekat dangan, Dafa?" tanya Dafa pada Mamanya. E
Reindra menatap ke depan ke tumpukan berkas yang masih tertata rapi di atas meja. Hari ini ia harus meneliti beberapa tugas dari mahasiswanya, ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Reindra tak ingin Eliana cemas akan dirinya. Ia harus cepat menyelesaikan apa yang harus di selesaikan. Saat Reindra sibuk ponselnya bergetar pertanda ada chat masuk saat membuka chat seulas senyum terpancar dari bibir Reindra. [Bekalnya jangan lupa di makan, Mas. Ini waktunya makan siang lo.]Reindra tersenyum lalu mengirim emoji love ke pada istrinya Eliana. Beruntung pihak kampus tak menghukum Reindra mengeluarkannya saat ia sakit. Malah banyak sekali pihak dari Kampus menyumbang juga mensuport dirinya selama sakit. Reindra bahagia karena semua sudah seperti keluarga. Kembali ponsel Reindra berbunyi. [Papa, jadi rencananya nanti?][Jadi lah, siapkan semuanya ya.][Asiapp, Pa]Reindra tersenyum dan kembali menaruh ponsel, lalu melanjutkan tugasnya. -Tak bisa dipungkiri kehilangan seseorang yan
Menyaksikan perjalanan kisah cinta Eliana yang berliku juga begitu tegar menghadapi masalah, Bu Hani menitipkan air mata. 'Sudah saatnya kau bahagia, Eliana.' Bu Hani bergeming, ia tahu jika cinta Eliana pada Reindra sangatlah besar. Keduanya saling mencintai. Bu Hani mendekat dan bicara pada Reindra juga Eliana. "Kalian, Mama beri hadiah ini bukalah," beliau memberikan amplop warna cokelat untuk Eliana. "Apa ini, Ma?" tanya Eliana penasaran. Bu Hani tersenyum. "Bukalah."Eliana membuka amplop tersebut dan satu kamar hotel yang sudah dipesan oleh Bu Hani untuk dua hari ke depan. "Astaga, Ma, ini berlebihan lo. Lagian kami juga bukan anak muda lagi?" tanya Eliana malu. "El. Sudahlah kau butuh berdua dengan Reindra biar anak-anak, Mama yang jaga, Mama hanya punya kalian, Mama harap kalian nanti yang akan merawat Mama saat tua nanti."Eliana menggeleng. "Mama bicara apa, kami semua putra-putimu, kami semua sayang sama, Mama."Bu Hani tersenyum dan duduk mendekati Eliana. "Kau terima