Avanza silver telah membawa mas Radit pergi dari rumah ini. Seumur-umur baru kali ini ia pergi ke sana dengan travel.[Assalamu'alaikum, Lan. Ibu butuh bantuanmu. Bisa ke sini, kan? Dan tolong bawa baju ganti tiga atau empat stel. Jangan lupa bawa baju buat kondangan, ya. Kalau kamu kurang paham, nanti ibu jelaskan di sini alasannya. Harus izin mbakmu terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu segera.] ucapku tanpa memberi kesempatan Wulan untuk menyela. Tanpa protes gadis itu menyanggupi permintaanku.Kali ini aku sengaja meminta Wulan untuk menemani dan membantu di sini. Tidak mungkin aku meminta bantuan Mbak Niswa. Tidak mau rencanaku diketahui keluarga mas Radit. Biarlah mereka tahu setelah beres semuanya.Aku sengaja mengundang gadis itu hari ini untuk menjaga Ibu. Aku akan menjemput Wildan dan langsung ke rumah orang tuaku. Kami akan membahas masalah penting di sana."Bu, Alina pergi dulu, ya. Hari ini Ibu dijaga oleh Wulan. Karyawan Alina di rumah makan." Aku pamitan pada Ibu setelah memb
[Ada apa, Mas?] Tanpa basa-basi aku langsung bertanya pada intinya. [Lin, kembalikan kalungku sekarang juga! Kamu kan yang telah mencurinya. Aku tidak menyangka kamu memiliki jiwa pencuri. Menyesal aku mempercayai kami selama ini!] Mas Radit meninggikan suaranya. Baru sadar dia. Aku tersenyum miring mendengarnya. Padahal, percuma aku tersenyum meremehkan, dia tidak melihat. Dia baru menyadari sekarang padahal, ia di sana sudah satu minggu lebih. Apa mungkin terlalu sibuk sampai lupa untuk membuka kotak perhiasan itu? Mungkin.[Sudah, ngomongnya? Sekarang gantian! Jangan dipotong ucapanku! Kamu mengambil uang restoran ku, untuk membayar kekurangan rumah sakit, bukan? Tiga kali berturut-turut dengan sebelum-sebelumnya. Yang kalau ditotal itu jumlahnya setara dengan sepuluh gram kalung itu. Kita impaskan! Jangan pernah teriak maling padaku. Karena sejatinya kamu adalah maling yang teriak maling. Aku menjadi begini juga karena ajaranmu. Paham!] Setenang mungkin aku menjawab ucapannya. D
Yang membeli motor telah pergi. Satu persatu kendaraan ku telah terjual. Tak apa karena aku pun niat membeli kendaraan yang baru. Jarum panjang jam dinding menunjukan ke angka sebelas sedang jarum pendek ke angka sembilan. Masih ada waktu untuk beres-beres. Sebagian barang ibu ada yang belum dikemas."Lan, tolong siapkan kamar Wildan, ya. Ibu akan memindahkan mbahnya ke sana." Gadis berkerudung segi empat itu tampak mengangguk. Kubawa langkah kaki menuju kamar Ibu. Kuputar handle pintu dengan perlahan. Ibu sedang berbaring menghadap ke kanan. Dapat kutangkap matanya yang sembab. Apakah beliau sudah tahu semua yang akan aku lakukan? Ah, Maafkan aku, Bu. Semua ini akibat ulah anakmu. Dia yang sudah memulai. Aku akan tetap menjadi menantu yang baik bila Mas Radit bisa menjadi suami yang baik. Namun, nyatanya anakmu tidak bisa seperti itu!Sudah ku pindahkan Ibu dari ranjang ke kursi roda. Aku jongkok di depan beliau. Kuamati wajah sedih itu lekat-lekat."Ibu pindah ke kamar Wildan du
Mobil yang membawa kami telah terparkir di tempat yang telah ditentukan oleh panitia. Tepat di seberangnya rumah yang sedang berlangsung acara hajatan tersebut. Satu persatu dari kami turun. Bang Zaki membantu menurunkan ibu. Dengan gerakan cepat, Wulan yang telah keluar terlebih dahulu mengeluarkan kursi roda milik ibu dari jok paling belakang.Dengan tenang dan santai aku mendorong kursi roda ibu menuju ke tempat acara. Kami harus menyeberang jalan menuju tempat berlangsungnya pesta.Pesta yang cukup meriah dan megah untuk ukuran di kampung. Aku terus menatap ke arah pasangan yang sedang berada di pelaminan dengan dekorasi yang mewah itu. Bukan apa-apa hanya ingin melihat reaksi mas Radit saat melihat kedatangan kami.Tampaknya lelaki yang sedang menjadi raja sehari itu belum mengetahui kedatangan kami. Dia masih sibuk dengan para tamu undangan yang memberikan ucapan selamat padanya.Para penerima tamu sudah menyambut kedatangan kami yang beriring-iringan ini. Bapak dan Bunda berja
"Fotografer, tolong fotokan kami dong," pinta Bunda pada lelaki berseragam putih yang mencangklong kamera. Tangan yang penuh dengan gelang emas itu mengulurkan handphone ke arah pria tersebut.Lelaki itu mendekat ke arah Bunda dan segera mengambil handphone dalam genggaman ibu tiriku. Aku yang sudah hendak turun pun terpaksa kembali ke arah mempelai setelah dipanggil Bunda dari atas panggung. Bunda sepertinya tahu apa yang aku rasakan. Dengan segera, beliau berdiri di antara aku dan Desti. Wildan yang sudah menunggu di bawah pun kembali naik. Dia berdiri di antara bapak dan ibu tirinya itu.Entah apa tujuan Bunda meminta foto bersama? Aku juga tidak mengerti apa maksud Bunda beli baju seragaman untuk kami semua? Bruuk! Suara benda jatuh terdengar dari atas pelaminan. Siapa yang jatuh? Enggan rasanya aku menoleh tapi penasaran.~~~~Rasa penasaran yang tinggi membuatku menoleh ke arah panggung. Semua orang terlihat panik. Seketika suara musik yang bising itu berhenti. Mataku terus m
Dengungan para tamu undangan mulai terdengar. Kasak-kusuk mereka membicarakan Desti. Tak ada suara yang membelanya. Semua terdengar menghujatnya."Oalah dia hanya istri kedua? Tapi kok malah marah-marah pada istri pertama, ya? Dasar nggak tahu malu. Aku menyesal datang ke sini. Kalau bukan karena suamiku kenal baik dengan pak Radit ogah aku datang. Aku juga tidak menyangka Pak Radit lelaki yang suka mendua." Suara seorang ibu yang duduk di kursi baris kedua. "Ya Tuhan … ternyata pemilik grosiran itu pelakor. Menjijikkan." Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang ibu muda sedang yang duduk di sebelah kiri ibu yang tadi berbicara."Padahal, cantik istri tuanya dan juga terlihat sayang mertua. Kok bisa diselingkuhi seperti ini? Mas Radit itu membuang berlian belum tentu mendapatkan gantinya dengan batu permata. Bisa jadi hanya batu kali yang tidak berkualitas." Suara perempuan yang lain saling menimpali. "Dengar ucapan ibu-ibu barusan? Yang dibela siapa? Aku kan? Itu baru beberapa ora
Jantungku seakan berloncatan dari tempatnya, saat mata ini menatap Alina dan keluarga besarnya memilih tempat duduk di depan pelaminan pas. Dengan santainya mereka duduk sambil mengunyah makan. Ya Allah … sesantai itu mereka? Justru aku yang tidak santai sama sekali. Mata ini terus menatap satu persatu dari mereka yang mengiringi Alina. Ada Bapak dan Bunda. Bang Sukri dan keluarga kecilnya. Bang Zaki, istri dan anak tunggalnya. Wulan, orang kepercayaan Alina di rumah makan. Lalu lelaki itu siapa? Ini pertama kalinya aku menatapnya. Kenapa dia juga mengenakan baju seragam? Jangan-jangan calonnya Alina. Ah, tidak. Tidak mungkin Alina secepat itu. Dia bukan wanita gampangan. Segera, aku enyahkan pikiran negatif yang merasuk dalam otak ini.Senyum ini berkembang saat melihat Wildan yang sedang makan dengan lahap. Anak bukan pemilih makanan. Selama itu diperbolehkan oleh ibunya, apa saja ia makan. Tidak manja meskipun, ibunya memiliki banyak uang. Sayangnya, dia harus melihat aku duduk d
Lelaki berseragam baju panitia itu datang dengan napas tersengal-sengal. Habis lari dia."Selesaikan dulu urusanmu, Mas. Maaf kami harus segera pulang. Ini mobil orang. Sudah ditunggu yang punya." Dengan gerakan cepat Alina membuka pintu mobil. "Tunggu, Lin. Beri kesempatan aku untuk bicara." Permintaanku tak diindahkannya. Dia masuk ke dalamnya tanpa memberikan kesempatan untuk berbicara padaku."Sudah tak ada yang perlu dibicarakan, Mas. Tunggu surat panggilan dari pengadilan." Kepala Alina nyembul di jendela mobil yang dibuka setengah. Aku membeku di tempat. Ucapan Alina bagai air es yang menyiram seluruh tubuhku. Apa artinya aku kehilangan kesempatan untuk rujuk dengannya? Lagi- lagi aku kalah strategi oleh perempuan itu. Ah, si al! Aku me ne ndang ban mobil milik orang yang sedang terparkir di dekatku. Mobil Alina bergerak maju menjauh dari tempatku berdiri. Tempat yang kami jadikan parkiran adalah lapangan. Sehingga lebih leluasa untuk memutar kendaraan. Si al. Aku kehilan