Share

Ketika Istri Tua Suamiku Hamil
Ketika Istri Tua Suamiku Hamil
Penulis: Oscar

Part 1

“Mas, akhirnya aku hamil, Mas. Aku hamil.” Tanpa sengaja aku mendengar ungkapan kebahagiaan dari Mbak Silvi.

Tadinya aku bermaksud mengetuk pintu untuk  memberitahukan bahwa makan malam sudah siap. Namun belum sempat tanganku mendarat di pintu, terdengar lagi suara itu.

“Sebaiknya kamu ceraikan saja Delima, Mas. Kita udah nggak butuh dia lagi.”

Deg!

Astaghfirullah alaziim. Kenapa sampai hati dia mengatakan hal sekeji itu. Padahal dia sendiri yang memohon dan memaksaku agar mau menikah dengan suaminya. Jelas-jelas aku dan Mas Raka sama-sama sudah menolak dan menganggap permintaan dia itu terlalu berlebihan dan tidak masuk akal.

“Apa-apaan kamu, Silvi. Jangan seenaknya saja kalau ngomong. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Apa kata  keluargaku nanti? Juga bagaimana dengan keluarganya?” Suara Mas Raka terdengar tegas menolak. Membuatku merasa sedikit lebih tenang.

“Halah. Ngapain kamu pikirin. Orang kampung begitu aja kok. Dikasi duit dikit juga udah nurut. Lagian kan kalian belum melakukan malam pertama. Dari pada nanti ujung-ujungnya dia juga hamil. Bisa-bisa keluarga kamu malah lebih sayang sama dia ketimbang aku.”

“Ada-ada saja kamu, Silvi. Mana mungkin aku menceraikan dia, sedang kami menikah belum sampai satu minggu. Lagian kamu juga sih. Harusnya kamu periksa dulu ke dokter.”

“Mana kutahu, Mas. Aku pikir hanya masuk angin saja. Lagian aku juga nggak mau kecewa seperti sebelum-sebelumnya.”

“Tapi ya nggak bisa main cerai-cerai gitu aja, Sil.”

“Halah, sudahlah, Mas. Kamu nurut aja. Bukannya selama ini semua aku yang ngatur? Atau jangan-jangan kamu udah naksir lagi sama perempuan kampung itu, makanya kamu nggak mau menceraikan dia.”

“Jangan ngarang, Sil. Mana mungkin aku jatuh cinta sama wanita selain kamu.” Suara Mas Raka tak lagi bernada emosi. Terdengar jelas kalau dia begitu mencintai istrinya. Hingga mau menuruti segala apa yang diinginkan oleh wanita yang kuanggap baik selama ini.

Aku berjalan gontai ke kamar. Membatalkan niat untuk memanggil dan mengajak mereka makan malam. Menangis menahan perih.

Teringat saat pertama kali Mbak Silvi datang ke rumah Ibuk di kampungku. Sebenarnya Mbak Silvi juga berasal dari kampung yang sama, hanya saja rumahnya lebih dekat ke arah kota.  Atas saran seseorang, dia datang dan tiba-tiba saja melamarku.

“Maaf, Mbak. Saya tidak bisa. Mana mungkin saya menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Saya nggak mau dicap sebagai pelakor.” Aku menolak tegas.

“Enggak akan ada yang ngomong seperti itu, Delima. Mbak Ikhlas.”

Aku tak mengerti dengan wanita ini. Dia tidak terlihat seperi ahli agama. Memakai hijab pun tidak. Tak mungkin rasanya dia mengizinkan suaminya menikah lagi atas dasar menunaikan sunah agama. Dia pun masih terlalu muda dan juga terlihat sehat. Pasti masih sanggup melayani suaminya dengan baik.

Lalu ia pun mulai menangis dan menceritakan apa sebenarnya maksudnya. Sudah sepuluh tahun dia dan suaminya menikah. Namun belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Katanya dia ingin sekali memiliki momongan.

“Kenapa nggak mencoba mengadopsi aja, Mbak? Banyak anak yatim piatu yang juga membutuhkan kasih sayang dari orang tua seperti Mbak dan suami Mbak.” Ada rasa iba di hatiku mendengar keluhannya. Semua wanita pasti ingin merasakan menjadi seorang ibu.

“Pernah juga terlintas pikiran seperti itu, Delima. Tapi suami Mbak itu merupakan anak laki-laki satu-satunya. Keluarganya takut tidak akan ada penerus dari keluarga. Sedangkan adik dan kakaknya perempuan semua.”

*

“Kamu benar-benar ndak mau menerima lamaran wanita itu, Nduk?” Bue bertanya malam harinya.

“Ada-ada saja pertanyaan Bue. Emangnya Bue mau, anak gadisnya dicap sebagai pelakor? Nggak malu?”

“La, kan kamu dengar sendiri tadi. Istrinya sendiri yang melamar kamu untuk jadi madunya. Jadi kamu ndak merebut siapa pun. Lagi pula, Bue rasa ini jalan kamu untuk mendapatkan hidup yang lebih baik, Nduk. Bue ndak sampai hati melihat kamu terus-terusan kerja banting tulang tanpa memedulikan kesehatan demi Bue dan juga adik kamu. Menikahlah, Nduk.”

Bue tidak salah berpikiran seperti itu. Yang wanita itu tawarkan bukanlah hal yang main-main. Seratus juta untuk mahar. Cukup untuk melunasi cicilan surat rumah yang digadaikan Almarhum Bapak sebelum meninggal. Juga jaminan sekolah untuk adikku Sidik yang sebentar lagi akan masuk SMA.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Johan
bagus tetapi kurang menunjukan sisi ke aslian cerita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status