Share

Part10

Pagi ini aku membawakan semua keperluan Mbak Silvi. Mas Raka pun sudah izin tak masuk kantor. Katanya ingin memastikan istrinya baik-baik saja. Padahal aku sudah bilang untuk tak perlu khawatir, karena aku akan merawat Mbak Silvi dengan sebaik mungkin.

Di sana aku kembali bertemu dengan Mama dan Mas Deni. Ternyata Mbak Dian pulang pagi-pagi sekali karena suaminya harus pergi ke kantor.

Aku melirik ke arah Mbak Silvi yang masih terbaring lemah. Wajahnya lebih cemberut dari hari kemarin. Aku jadi semakin tidak enak dibuatnya.

"Ya udah, Ka. Mama sama Deni pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, cepat kamu kabari." Mama bersiap-siap untuk pulang.

"Dek, kamu ikut Mama sama Deni aja dulu cari sarapan, ya. Kan tadi belum sempat makan di rumah." Mas Raka memberi perintah. Sepertinya dia sengaja mencari alasan untuk menyuruhku keluar, dan membiarkan mereka berduaan.

Entah apa lagi yang akan mereka bicarakan. Melihat wajah Mbak Silvi yang dari tadi tak tersenyum sedikit pun, aku yakin pasti Mas Raka akan dimarahi lagi olehnya. Beruntung sekali Mbak Silvi dicintai lelaki penyabar seperti Mas Raka.

Aku pun ikut dengan Mama dan Mas Deni sampai ke bawah. Kata Mama mereka juga mau sekalian cari sarapan. Kami lebih memilih mencari makanan di luar, ketimbang di kantin. Warung soto di seberang gedung jadi pilihan kami. 

"Gimana keadaan Mbak Silvi, Ma?" tanyaku.

"Kata Dokter kandungannya masih lemah. Jadi harus ekstra hati-hati. Mama juga dengar tadi, sebelum memasuki usia empat bulan, Silvi belum diperbolehkan berhubungan badan dulu. Jadi kamu harus sering-sering minum jamu buat gantiin posisi Silvi."

Aku yang terkejut, tapi malah Mas Deni yang tersedak. Dia batuk-batuk sambil menepuk dadanya. Dengan segera aku menyodorkan air putih, pada dia yang duduk tepat di hadapanku.

"Ini, Mas. Diminum airnya," ucapku dengan sopan.

"Iya, Delima. Terima kasih," ucapnya, langsung meneguk air yang kuberikan.

"Makanya cepet-cepet nikah, Den," ledek Mama. "Biar nggak sensitif. Baru membahas hubungan suami istri saja langsung kaget." 

Aku tersenyum mendengar ucapan Mama. Ternyata beliau pun bisa juga bercanda dan menggoda keponakannya. Mas Deni hanya garuk-garuk kepala, sambil sesekali melirikku. 

Terus terang aku pun sedikit malu jika membicarakan hal pribadi seperti itu. Apa lagi harus membayangkan hal yang sama sekali belum pernah aku lakukan, walau dengan suami sendiri.

.

Usai mengantar kepulangan Mama dan Mas Deni, aku kembali menuju ruangan Mbak Silvi dengan membawakan seporsi nasi soto untuk Mas Raka. Juga kopi yang selalu kusiapkan di pagi hari.

Aku mengetuk pintu terlebih dahulu. Takut kalau-kalau mereka sedang tak ingin diganggu.

"Masuk." Suara Mas Raka terdengar dari dalam. 

"Ini, Mas. Sarapan dulu. Delima bawain nasi soto."

"Oh, iya. Terima kasih." Mas Raka kembali kaku.

Wajah mereka berdua sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Sepertinya baru saja bertengkar. Melihat Mbak Silvi yang berbaring dengan miring, memunggungi suaminya.

"Mbak Silvi kok belum makan?" Kulihat mangkuk bubur dari rumah sakit sama sekali belum tersentuh. "Delima suapin, ya?" Aku berpura-pura tak tahu apa yang terjadi pada mereka.

"Nggak usah, Delima. Mbak nggak lapar," jawabnya datar.

"Makan sedikit aja ya, Mbak." Aku masih berusaha membujuknya.

"Mbakmu minta pulang, Dek," ucap Mas Raka. Entah kenapa dia mengadukannya padaku.

"Memangnya sudah boleh?" 

"Nggak tau. Mbakmu itu suka ngeyel kalau dibilangin. Padahal apa salahnya di sini dulu selama beberapa hari. Biar cepat pulih."

"Oh, jadi kamu nggak suka, kalau aku cepat-cepat pulang ke rumah? Iya?" Mbak Silvi tampak emosi dengan kata-kata Mas Raka.

Benar saja. Sudah pasti mereka bertengkar karena aku dan Mas Raka tak jadi menginap semalam.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status