Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah bernuansa pink lembut. Rumah yang telah mengukir banyak kenangan Lia selama masa kuliah. Rumah itu juga yang menjadi saksi bisu pernikahan antara Lia dan laki-laki yang sekarang menjadi suaminya. Seulas senyum terukir di sudut bibir Lia tatkala dilihatnya seorang wanita yang tak lagi muda namun tak kalah elegan jika dibanding dengan diri Lia sendiri. Pakaian wanita paruh baya itu terlihat simple namun tidak norak, akan tetapi terkesan elegan, menampakkkan ia bukan wanita biasa. Membuat Lia terkadang minder sendiri ketika bertemu dengan beliau. Siapa lagi orang itu jikalau bukan Bu Aleena, ibunda Lia yang masih terlihat cantik dan modis meski di usia yang sudah menjelang senja. Wanita paruh baya tersebut tak kalah menyumbangkan senyum manis melihat dua orang yang ditunggu-tunggu telah tiba di depan mata."Hai, Sayang. Dah nyampe, udah lama banget nggak ketemu. Sini, sini cucu oma! Mama udah kangen
Di taman samping, terdengar Chika tengah bercanda ria dengan seseorang. Lia mengetahui kebahagiaan Chika dengan suara canda tawa putri kecilnya itu yang menggemaskan. "Sama siapa anak itu bercanda? Ah mungkin aja sama kakeknya." pikirLia. Lia kembali melanjutkan pekerjaannya berkecimpung di dapur bersama sang ibunda. Sungguh Lia merindukan momen-momen seperti ini. Di mana dulu sebelum menikah dengan Yoga Lia selalu memanfaatkan kan hari libur dengan mengisi waktu bersama dengan sang ibu. Mengisi waktu luang dengan masak bersama atau sekedar refreshing bareng adalah sebuah rutinitas yang biasa mereka lakukan di hari libur ketika tidak ada agenda kerja yang harus diselesaikan. "Seneng banget kayaknya Chika ya, Ma." celetuk Lia. "Ya, syukurlah. Mama juga senang dengar cucu Mama betah tinggal di mari. Nanti kalo ada kesempatan Mama pengen ngajak dia ke Banjarmasin. Kan dia belum pernah ke sana. Kamu juga sih semenjak menikah uda
"Buuu...!"Bu Lasmi tengah menyapu halaman depan ketika didengarnya Yoga memanggil. "Ya, Yoga! Sebentar, Nak!" Bu Lasmi buru-buru menghampiri Yoga. Dilihatnya anak laki-lakinya tersebut senyum-senyum sendiri sambil mengutak-atik handphone di tangan. "Ih kok ketawa-ketawa sendiri, Nak? Seneng banget kayaknya. Emang ada apa sih?" Bu Lasmi berujar sembari mendekat. "Aku ada info terbaru nih, Bu." Yoga berkata begitu sumringah. "Berita apa emangnya? bikin Ibu penasaran ajah." "Barusan ibunya Lia telepon aku, katanya Lia enggak akan pulang dalam waktu beberapa hari ini. Kayaknya dia masih rindu sama anak dan cucu ingusannnya tersebut. katanya sih begitu." "Oh ya? Bagus dong kalau begitu." Bu Lasmi tertawa tipis. "Iya, Bu. Terus tadi sekalian aku bilang aja sama ibunya Lia, kalo Lia belum mau pulang, atau kalo ibunya masih kangen sama Lia, maka Lia boleh tinggal
Lia sibuk mencari informasi pengacara. Ya, Lia tidak bisa diam lebih lama lagi. Ia harus segera bertindak, mengatasi masalahnya bersama Yoga."Ma, pengacara Richardo sekarang tinggal di mana ya, Ma? Masih di rumahnya yang lama, kan?" Lia bertanya santai. Bu Aleena agak kaget mendengar anaknya yang mendadak bertanya soal pengacara Richardo. Pengacara handal yang telah di percaya oleh keluarganya sejak dulu. Richardo memang seorang pengacara berpengalaman yang sungguh dapat di andalkan."Ada apa, Nak? Kok tiba-tiba nanya soal pengacara?" Bu Aleena menyipitkan mata. "Ah, enggak, Ma. Ada temen lama yang minta dicariiin info pengacara. Makanya aku tanya pengacara Richardo. Secara kan pengacara Richardo orangnya berpengalaman. Tentu nggak salah dong kalo misal aku rekomendasiiin dia ke temen aku." senyum Lia. Untuk saat ini, sementara memang Lia memutuskan untuk tidak membocorkan rencananya untuk menceraikam Yoga. Dia tak ing
"Kenapa? Kamu takut?" Lia menatap Riana tajam. Beberapa saat tidak terdengar Riana maupun Yoga bersuara. Keduanya nampak memucat. Terlebih-lebih lagi Riana. Sebagai seseorang yang merupakan kan orang ketiga diantara dua orang lainnya, membuat Riana merasa berada pada posisi yang serba salah. "Ayo jawab! Mengapa kalian semua diam?" Lia kembali mengulang pertanyaan. Riana lagi-lagi belum mampu menjawab. Perempuan itu menolehkan pandangan pada Yoga. Mengharap laki-laki itu yang akan bicara. Sebab Riana sendiri bingung apa yang bisa ia katakan, di sana nyata-nyata dia adalah seseorang yang berada dalam keadaan yang sulit dan tidak bisa dibenarkan oleh siapapun juga. "Sepertinya kalian semua takut. Memang jiwa-jiwa pengkhianat sudah nampak pada diri kalian." lanjut Lia kembali. Yoga masih terdiam. "Dulu kamu mengatakan kalau Riana ini cuma teman dekat kamu aja. Oho! Aku baru tahu, begini ya rupanya ca
"Kayaknya kamu bangga banget jadi selingkuhan Yoga? Kamu bangga bisa dinikmati sesuka hati sama Yoga?" cibir Lia. "Ya jelas bangga dong ya. Lagian, yang pasti aku nggak gratisan kayak yang kamu bilang. Aku bahkan dibayar lebih mahal daripada kamu!" jawab Riana bangga dengan membusungkan dada. Riana yang tadi merasa gugup sekarang merasa tidak perlu lagi untuk merasa takut. Sebab orang-orang di sekelilingnya secara terang-terangan mendukung keberadaannya di sana. Tidak ada rasa bersalah dalam diri Riana. Melainkan rasa menang atas persaingan dalam mendapatkan Yoga. "Oh, jadi intinya kamu ini kayak jual diri begitu? Dinikmati, lalu dibayari?" sindir Lia. "Nggak usah ngomong kayak gitu, Lia! Jelas-jelas Riana lebih unggul dibanding kamu!" Bu Lasmi tak mau kalah membela calon menantunya. "Unggul dari segi mananya, Bu? Dari segi pelakornya? Iya?" "Aku bukan pelakor, Lia!" "Lalu apa men
Yoga hanya terkekeh lucu mendengar ancaman Lia. Hati pria angkuh itu merasa geli. Dalam pikirannnya, mana mungkin orang seperti Lia bisa berbuat sejauh itu! "Palingan Lia bicara kayak gitu karena hatinya yang lagi sakit. Lalu berlagak pengen nakut-nakutin aku. Iih, wanita menyebalkan! Pikirnya aku takut sama ancaman recehnya." batin Yoga. "Lia, Lia, kalo kamu mau pergi ya pergi ajah dari sini. Nggak usah banyak omong! Sakit hati tuh nggak usah terlalu di pelihara, ntar kamu bisa gila, terus bunuh diri. Kalo kamu mau bunuh diri, mending pulang ke rumah orang tuamu ajah, bunuh diri di sana ajah! Di sini aku gak ada waktu buat ngurusin seseorang kayak kamu." Yoga terkekeh. Sikapnya yang sedari dulu selalumeremehkan Lia tak kunjung berubah. Ia yang sudah terlanjur melekatkan imej miskin pada diri Lia, membuat Yoga tak pernah bisa memandang Lia sedikit lebih tinggi. Selalu saja wanita itu dianggap sebelah mata olehnya.
Di rumah, Riana melihat Lia masih ada di sana. "Belum pergi juga wanita itu!" batin Riana merasa geregetan dan dongkol. Sebab sebenarnya Riana tidaklah mengharapkan kehadiran Lia. Kehadiran Lia telah membuatnya tak bisa bebas bersama Yoga.Ironis sekali, Riana yang notabene orang yang menumpang malah tak menyukai tuan rumah. Tapi Ria melihat ada yang berbeda dari sosok Lia. Lia sama-sekali tidak terlihat cemberut ataupun menampakkan rona muka tak suka. Justru sebaliknya, Lia malah tersenyum melihat kedatangan Riana. Melihat itu, Riana memberanikan diri untuk mendekat. "Selamat sore, Mbak Lia! Belum pulang ke rumah orang tua Mbak ke Jakarta?" Riana bertanya pelan.Lia tertawa kecil. Didalam hati Lia mencebik mendengar pertanyaan konyol Riana, "Betapa tak tahu dirinya wanita ini." batin Lia. Sengaja Riana lebih bersikap sopan terhadap Lia, sebab saat itu Melisa dan Bu Lasmi sedang tidak ada di