"Lia! Kamu kenapa sih? Belakangan ini sikapmu berubah drastis amat? Sama aku maupun ibu, kamu nggak ada hormat-hormatnya lagi. Perasaan aku nggak pernah buat salah apa-apa deh sama kamu. Sampe masakin aku sedikitpun ajah kamu nggak mau." Mas Yoga bertanya jutek. Bertanya, tapi tetap merasa tak bersalah. Apa gunanya? Apa dia tidak merasa salah tidak memberi uang tapi tetap ingin minta makan? Apa dia pikir makanan dan minuman akan jatuh sendiri dari langit, terus tinggal di pungut gitu. Mimpi kali ya."Lihat itu! Kemeja yang kupake tadi pun masih terletak di sofa. Kayaknya emang nggak ada niatmu untuk masukin kemeja kotorku ke mesin cuci ataupun buat sekedar menaruhnya ke keranjang baju kotor. Berbakti dikit sama suami apa salahnya, Lia? Apa kamu nggak mau cari ridho suami? Apa kamu nggak mau masuk surga sebab taat sama suami dan mertua?" Ya ampuuun... Aku rasanya dibuat ingin tertawa sama kata-kata Mas Yoga. Cari ridho suami katanya?
"Kamu kok lemes banget, Nak? Aduh, kok ibu jadi khawatir ya sama kamu. Atau jangan-nangan kamu belum di kasih makan ya sama istrimu? Pucat amat muka kamu, Nak. Apa kamu nggak di urusin sama Lia? Kok masih pake kaos oblong yang tadi? " Bu Lasmi yang baru saja tiba terlihat peduli. Padahal wanita itu baru saja datang beberapa menit yang lalu. Datang-datang bicaranya nyerocos begitu. Matanya menatapku yang baru saja selesai memandikan Chika."Iya, Bu. Lia nggak masak apa-apa. Perutku udah laper begini. Segelas kopi ajah nggak ada sama sekali. Udah nasib saya kali, Bu. Dapet istri yang gak mau urusin aku." jawab Mas Yoga lemah. Nadanya memelas bak minta di kasihani. Seperti orang yang sabar, namun bertujuan untuk merendahkan aku. Manjanya pria itu. "Kalau begini biar ibu ajah yang urus kamu, Nak. Dia pikir nggak ada yang mau urusin kamu. Dia pikir kamu hanya hidup sebatang kara. Huuh... Lia!" kali ini tatapan Bu Lasmi beralih padaku.
Mas Yoga terlihat salah tingkah melihat kedatangan wanita yang datang bersama ibunya. Jelas sekali kalau tingkah mereka mengundang curigaku. "Kenapa kamu nampak bengong, Lia? Apa kamu merasa heran sama wanita cantik yang kubawa kemari ini? Kamu kagum sama kecantikannya? Iya?" celetuk Bu Lasmi."Astaga, Bu! Baru datang udah teriak-teriak. Siapa juga yang kagum. Cukup ibu sendiri aja yang kagum aku mah nggak." Cepat-cepat Mas Yoga perlahan-lahan bangkit dari pembaringan, dan berjalan tertatih-tatih. So itu adalah salah satu bentuk dramanya. Barusan aku lihat dia tak terlalu kesusahan dalam berjalan. Eh ketika ibunya datang malah nampak terseok-seok. Terlalu berlebihan. "Hati-hati, Nak! Kalo belum bisa jangan terlalu dipaksakan." Bu Lasmi memapah Yoga kembali ke atas ranjang. "Ibu udah ajak Riana kemari. Dia yang akan urusin kamu." Bu Lasmi berkata bangga seraya menatapku. Seolah ucapannnya adalah sebuah cibiran
"Apa yang kamu lakuin, Lia? kamu suruh Riana buat cuci baju kamu? Apa aku nggak salah denger?" Bu Lasmi melotot. "Nggak, ibu nggak salah dengar. Ibu belum tuli kan? Aku memang nyuruh Riana buat cuciin bajuku. Kenapa emangnya? Apa ada yang salah sama ucapanku?" aku menatapnya.. "Ck... Ck... Ck! Berani sekali kamu main suruh-suruh ajah sama Riana. Kamu pikir kamu bos apa?" mertuaku ikut nyeletuk pembicaraan kami. "Jelas dong. Aku kan tuan rumah." jawabku. Karena sikap buruk yang selalu Bu Lasmi tunjukan padaku, membuat rasa seganku seakan menghilang seluruhnya untuk beliau *** "Kak Yoga, Kakak udah baikan?" Melisa yang baru saja datang menghampiri Yoga di pembaringan. "Ya, sudah lumayan." jawab Yoga. "Hmm... Kakak cepet banget baikannya. Pasti karena di sini ada Mbak Riana. Iya kan? Hehe ...." Melisa tertawa ringan. "Ih, tahu ajah kamu." timpal Yoga.
Lia memutar haluan sepeda motornya. Ia baru saja pulang dari melihat-lihat ruko yang baru saja ia beli. Ya Ini adalah sebuah lembaran baru baginya. Ia tak perduli lagi dengan urusan rumah beserta semua penghuninya yang tidak menghargai keberadaan Lia sendiri. Oleh karena itu Lia berinisiatif untuk mengembangkan usahanya dengan sebaik-baiknya, ketimbang fokus mengurus rumah.. Ia sudah memperkirakan berapa dana yang akan ia gunakan untuk memoles kembali toko tersebut agar terlihat lebih bisa menarik pelanggan. Jadi Lia berencana untuk mengurus usaha online yang ia kelola dari toko tersebut. Namun, baru saja ia memutar haluan sepeda motor ke arah pekarangan rumah dua orang, Riana dan Bu Melisa, tengah menunggunya berkacak pinggang di teras. "Dari mana saja kamu Lia! Enak saja kamu asik jalan-jalan bersama lelaki lain, sedangkan suamimu sendiri kau biarkan tergeletak sakit di rumah!" serta-merta Bu Lasmi mengumpat dengan suara keras sepe
Kutatap kedua mata anakku yang tengah terlelap. Ada letih pada kedua mata mungil menggemaskan tersebut. Terkadang aku kasihan sama putri kecil semata wayangku ini. Apalagi beberapa hari ini rumah tanggaku sama Mas Yogabisa dibilang tak pernah tenang. Pertengkaran terus saja terjadi, tukang kompornya tidak lain dan tidak bukan, mertua dan ipar sendiri. Bikin miris.Aku mulai memikirkan nasib mental anakku kedepannya. Aku sadar jika terus menerus berada dalam kondisi lingkungan keluarga yang tidak mendidik, maka itu bisa berdampak buruk pada mental anak ini. Tentu saja aku tidak ingin jika sampai mental putriku terganggu karena kondisi rumah tangga yang tidak lagi stabil dan selalu digandrungi oleh pertengkaran demi pertengkaran. Setidaknya aku harus mencari solusi terbaik buat Chika. Terlebih lagi di rumah ini sekarang selalu dihadiri oleh Bu Lasmi dan Melisa yang sungguh tidak menunjukkan kasih sayang pada Chika. Sekalipun Ch
"Melisa, kamu apa-apaan sih? Lain yang kamu bicarakan sama kami dan lain pula yang kamu kamu akuin sama Lia. Kan nggak enak tuh sama Yoga. Harusnya tadi itu kamu bisa tegaskan kalau kamu beneran liat kalo Lia lagi sama laki-laki lain. Ini kok malah kayak ngedit-ngedit berita ajah kamunya." Bu Lasmi menggerutu. "Ibu nggak tahu aja. Tadi itu Mbak Lia kirim pesan sama aku. Dia ngotot untuk minta bukti sama aku .Katanya dia bakalan nuntut aku dan laporin aku ke polisi kalau aku enggak punya bukti. Sebab kalo tanpa bukti, jatuhnya ucapanku sama kek fitnah. Mau gimana lagi dong Bu, aku nggak punya bukti yang ia mau." jawab Melisa bersungut-sungut. "Ish! Kamu itu ya, beneran pikirannya kurang panjang. Kamu mikir enggak kalau buat bukti itu kita bisa ngedit gambar. Toh dimana-mana banyak jasa editing foto. Bayarnya juga enggak terlalu mahal." ujar Bu Lasmi amat menyayangkan. "Bu, Maaf. Kemarin itu aku nggak sempet mikir ke arah sana. Habisn
"Mas, Mas janji kan buat bener-bener nikahin aku?" suara Riana kembali terdengar. "Iya, Sayang. Tentu saja.""Mudah-mudahan kita nikahnya lebih cepet ya, Mas. Aku nggak sanggup lebih lama lagi jadi babunya Lia." Rupanya dua orang tersebut asyik mengobrol tanpa menyadari kedatanganku. Sebagai seorang istri tentu saja hatiku merasa panas. Rasa dendamku kembali menggebu-gebu. Seandainya saja aku adalah wanita ceroboh dan tak berpikir panjang, tentu saja sudah ku sergap mereka berdua disana tanpa tedeng aling-aling. Tapi tidak! Itu bukan sikapku. Biar kuremas-remas sampai hancur sekalipun mulut mereka berdua, itu tidak ada untungnya sama sekali. Justru akan menambah masalah bagiku. Sejenak kemudian, Riana tersentak. Matanya terlihat semakin takut melihatku berdiri di depan pintu. Bergegas wanita itu bangkit dan menatapku gugup. "Mmmaaf, Mbak. Tadi aku hanya ngobrol biasa ajah sama Mas Yoga."