Home / Romansa / Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu / 122. Harus Segera Menikah!

Share

122. Harus Segera Menikah!

Author: desafrida
last update Last Updated: 2025-05-12 16:30:11

Akhirnya, setelah membalik badan dan berusaha tenang, Livy pun tertidur. Sedangkan Kay, dia hanya merebahkan tubuhnya di sofa itu, namun dia tidak benar-benar tertidur. Ia menemani anaknya dan wanita yang sangat dia cintai. Hatinya penuh kehangatan. Ingatannya penuh kenangan saat di danau tadi. Bibirnya pun mengulas senyum.

Setelah beberapa menit Livy tertidur, Albern terlihat mulai terbangun. Anaknya itu menggeliat dan perlahan membuka mata.

“Al?” bisik Kay, tak ingin membuat Livy terbangun.

“Papa!” sapa Albern semangat saat melihat wajah ayahnya. Anak itu juga menoleh, menyadari Livy yang tidur di sebelahnya.

“Al… jangan berisik ya? Mama lagi tidur. Kasihan kalau Mama terbangun. Iya kan?” Kay berbicara lembut. Anaknya itu pun mengangguk meski tak mengerti sepenuhnya.

“Al mau apa?” Ia menggendong anaknya itu ke balkon. Mengajaknya berbicara layaknya bayi yang belum fasih, namun sudah sangat semangat ingin menjelaskan semuanya.

Selama Livy masih tidur, Kay merawat Albern. Bahkan dia s
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   122. Harus Segera Menikah!

    Akhirnya, setelah membalik badan dan berusaha tenang, Livy pun tertidur. Sedangkan Kay, dia hanya merebahkan tubuhnya di sofa itu, namun dia tidak benar-benar tertidur. Ia menemani anaknya dan wanita yang sangat dia cintai. Hatinya penuh kehangatan. Ingatannya penuh kenangan saat di danau tadi. Bibirnya pun mengulas senyum.Setelah beberapa menit Livy tertidur, Albern terlihat mulai terbangun. Anaknya itu menggeliat dan perlahan membuka mata.“Al?” bisik Kay, tak ingin membuat Livy terbangun.“Papa!” sapa Albern semangat saat melihat wajah ayahnya. Anak itu juga menoleh, menyadari Livy yang tidur di sebelahnya.“Al… jangan berisik ya? Mama lagi tidur. Kasihan kalau Mama terbangun. Iya kan?” Kay berbicara lembut. Anaknya itu pun mengangguk meski tak mengerti sepenuhnya.“Al mau apa?” Ia menggendong anaknya itu ke balkon. Mengajaknya berbicara layaknya bayi yang belum fasih, namun sudah sangat semangat ingin menjelaskan semuanya.Selama Livy masih tidur, Kay merawat Albern. Bahkan dia s

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   121. Dim-Diam Nyaman

    Livy terkejut saat merasakan hangatnya genggaman tangan Kay. Dia menatap pria itu semakin dalam.“Kamu kedinginan?” tanya Kay lagi.“Ahm.. ti—sedikit…” Livy mengakui.Kay pun mengambil syal yang tadi menutupi Albern saat dia gendong lalu membalutkannya ke tengkuk Livy.Richard yang mendengar percakapan mereka dari depan, hanya bisa tersenyum diam.Livy benar-benar ikut terdiam. Dia membiarkan Kay melindungi dan menghangatkannya. Walaupun hatinya sudah jauh lebih hangat oleh sikap manisnya itu.Setelahnya, Kay masih terus menggenggam tangan Livy.Mata Livy justru menunduk. Namun dia memandangi eratnya tangan Kay yang menggenggam tangannya. Suasana dingin itu memang langsung berubah menjadi sedikit hangat. Daan entah kenapa, Livy pun membalas genggaman itu erat tanpa berani saling menatap.**Pintu kamar hotel terbuka. Udara hangat dari dalam langsung menyambut tubuh-tubuh yang setengah basah dan lelah. Kay menggendong Albern yang masih tertidur, sementara Livy berjalan pelan di belakan

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   120. Hujan-Hujanan Mesra

    Livy malah memutar bola matanya, bereaksi malas. “Dasar banyak bicara!” gumamnya pelan, namun masih terdengar oleh Richard.Richard lanjut tertawa mendengar Livy dan menyaksikan kekanakan mereka. “Jangan banyak bicara saja, Kay. Maksud Livy, ya buktikan!” lanjutnya.Kay tersenyum. Tatapannya itu seketika menunduk lalu melempar tatapan ke arah danau yang tenang.Perahu kembali berayun lembut di atas permukaan air, mengarah ke sisi danau yang berbeda dari tempat mereka berpiknik. Matahari mulai miring ke barat, sinarnya menciptakan kilauan keemasan di permukaan air yang tenang.Albern yang duduk di pangkuan Livy mulai terlihat mengantuk. Kepalanya bersandar di dada ibunya, dan sesekali menguap kecil.“Sepertinya sebentar lagi dia tidur,” gumam Livy pelan, menyapu rambut Albern dengan lembut.Kay tersenyum, masih memegang dayung. “Tenang saja, kalau dia ketiduran, aku yang yang akan menggendongnya.”Richard yang duduk menyender dengan nyaman di belakang mereka hanya menanggapinya dengan

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   119. Pelukan di Perahu Kayu

    “Kamu pikir aku tidak akan… MARAH!” pekik Livy. Tangannya justru langsung menjewer telinga Kaay cukup kuat.“Aaah!” Kay mengusap telinganya setelah Livy lepas.Livy terkekeh. Ia puas bisa membalas pria itu. “Rasakan!”Kay tidak marah. Dia hanya terkejut. Padahal pikirannya sudah jauh. Ia pun menggeleng dan menunduk merasa konyol pada dirinya sendiri.“Kamu menghipnotisku,” lirih Kay.“Makanya jangan suka nakal kalau tidak mau dibalas!” celetuk Livy. Ia pun kembali meminum teh dengan tenang.“Tidak apa-apa. Hanya cubitan aku bisa tahan. Bahkan… kalau kamu ingin mencubit yang lain,” ucap Kay, berhati-hati, tapi berani bermain mata.“Dasar mesum!” celetuk Livy. Dia segera bangkit dan meninggalkan Kay.Kay tertawa, namun langsung menutup mulutnya karena takut Albern terbangun. Dia menggigit bibir bawahnya karena gemas pada ucapan dan tingkah Livy. “Memangnya aku bilang apa?” lirihnya, geleng kepala.Langit malam Bar Harbor malam itu, yang ditaburi bintang-bintang terang, menjadi saksi bet

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   118. Membelai Wajah Kay

    Livy cepat-cepat beranjak. Meninggalkan Kay dan Albern di atas kasur. Ia berjalan keluar kamar untuk mengejar Richard. Dia tidak ingin berlama-lama lagi dalam candaan Kay yang membuat jantungnya seakan tak ingin berdetak santai. Belum lagi pipinya yang memerah. Tubuhnya yang panas. Kay pun langsung menggendong Albern, masih dengan wajah tersenyum puas. Ia benar-benar bahagia. Tak ada kata yang bisa mengungkapkan betapa bersemangat dan bahagianya hidupnya saat ini. “Ayo Sayang! Kita kejar Mama!” ucap Kay, menggendong anaknya. ** Restoran bergaya semi-outdoor itu memiliki suasana intim dengan lampu gantung berbentuk lentera dan suara deburan ombak dari kejauhan. Albern duduk di kursi bayi, memainkan sedotan sambil sesekali menyembur air ke bajunya sendiri. “Baju Al basah. Sebaiknya langsung diganti. Aku bawa Al ke kamar dulu,” ucap Livy. “Tenang, biar aku saja yang ambilkan,” ucap

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   117. Posisi di Atas Tubuhmu

    Kay masih tertawa lepas dan puas. Ia menangkap bantal yang Livy lempar ke wajahnya. Lekas ia duduk untuk bisa menghindar.Saat itu justru Albern berdiri dan melompat-lompat di atas kasur dengan girangnya. Ia terlihat bahagia melihat kekompakan orang tuanya.Seketika Livy dan Kay terdiam melihat Albern. Mereka sama-sama tersenyum haru melihat anak itu.“Al senang ya kita bercanda seperti ini,” ucap Kay, tenang.“Bercanda? Aku marah!” tegas Livy, tapi tersenyum.Kay kembali tertawa kecil.“Artinya Al senang kamu marah padaku. Yaudah, aku siap menerima kemarahan Mamanya! Ayo lempar lagi!” ucap Kay, menyerahkan wajahnya.Namun, Livy tak melakukannya lagi. Dia malah geleng kepala.Suasana kamar itu benar-benar hangat. Kay menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya lega. Dia menatap Albern yang begitu bahagia. Dia mengusap kepala anaknya.Livy memperhatikan. Hatinya juga ikut menghangat. Itu adalah sosok Kay yang sudah dia prediksi jauh sebelum mereka berpisah. Dia tahu Kay akan menjadi sos

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   116. Satu Kamar Tidur Bersama?

    Mereka mendarat untuk transit di Logan International Airport, Boston. Penerbangan pertama yang memang singkat namun nyaman. Saat mendarat di Boston, mereka berganti pesawat untuk tujuan akhir.“Ini lebih kecil dari sebelumnya,” ucap Livy sambil menggenggam tangan Albern erat saat naik tangga pesawat kecil.Kay menatap Livy dan berkata tenang, “Tapi tujuannya lebih indah.”Livy tersenyum.Tk lama, mereka pun mendarat di Hancock County, Bar Harbor Airport (BHB), Trenton, Maine.Saat pesawat kecil itu menyentuh landasan dengan lembut, udara laut yang bersih menyambut dari jendela. Bandaranya kecil, tenang, dan dikelilingi pepohonan pinus serta nuansa khas pesisir timur laut yang belum tersentuh terlalu banyak oleh hiruk-pikuk kota.“Ini bandara?” tanya Livy pelan, kagum.“Yang paling dekat dengan Bar Harbor,” jawab Richard. “Dan bandara yang sangat tenang.”Mereka turun dan langsung disambut sopir hotel yang memegang papan bertuliskan “The Eden Cliffs Resort, Mr. Richard & Family.”Sebua

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   115. Kehangatan Keberangkatan

    “Kau ada-ada saja!” celetuk Livy, segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Kay di sana sendirian.Kay menunduk lalu tersenyum. Dia geleng kepala melihat tingkahnya sendiri. ‘Bodoh! Kalau kau memang cemburu, memang takut kehilangan, bukan begini caranya!’ batinnya pula merutuki dirinya sendiri di dalam hati.Setelah itu, Kay memanggil Pak Sopir. Ia segera meminta bantuannya untuk membawakan hasil belanja mereka dari mobil.Livy yang berjalan ke kamarnya, merasa panas dingin dengan pertanyaan dan sikap Kay. Ada-ada saja! Kalaupun itu bercanda, dia mencoba mengabaikan, meskipun hatinya penuh mendengarnya.**Tidak terasa, waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Mereka akan segera berangkat liburan, sesuai janji Richard.Pagi itu, rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Matahari baru saja menyembul di balik tirai jendela, menyinari koper-koper yang sudah tertata rapi.Livy meraih tas kecil sambil memastikan botol susu dan selimut kesayangan Albern sudah masuk ke dalamnya. Suara langkah

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   114. Kita Menikah Lebih Dulu

    Livy melihat Kay yang ingin mendekat, namun akhirnya pergi. Ia menarik tangannya pelan. “Rei? Sebenarnya ada apa?” tanyanya hati-hati.Reino pun sempat menoleh ke belakang. Ia juga melihat Kay yang pergi. Bukannya tersinggung, dia justru tersenyum. “Kamu sangat menjaga perasaannya, ya? Lalu, kalau begitu… apa yang kalian tunggu?” tanyanya. “Kalau masih sama-sama ada rasa, masih saling menjaga hati, kenapa tidak bersatu kembali?”Pertanyaan itu menggantung begitu saja. Tak dapat Livy jawab. Semua tidak semudah itu.Ternyata dari balik tembok penyekat ruang tamu itu, Kay mendengar ucapan Reino. Dia cukup terkejut karena awalnya pikirannya sudah jauh mengarah pada marah sebab cemburu. Nyatanya Rei memberi pukulan yang berbeda.Livy terdiam.““Aku ke sini bukan untuk mengusikmu, Livy. Bukan juga ingin membujukmu atau menawarkan waktu tunggu. Tidak. Aku mau minta maaf.”Livy menatapnya, bingung. “Kamu tidak salah apa-apa, Rei. Kenapa harus meminta maaf?”“Entahlah, aku merasa aku membawa s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status