Share

Mas Gagah 3

~LAMARAN MAS GAGAH YANG TIBA-TIBA,MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRIKU (3)~

#KETIKA_MAS_GAGAH_TIBA 3

“Aku dulu pernah berjanji akan menikahimu kalau sudah berhasil, kan, ingat? Bu Sumarni bilang kamu sudah ada yang melamar, benar?”

Sejenak aku berpikir sambil menunduk. Ingin menjawab jujur tapi takut juga pada ancaman bapak. Bagaimana pun dia bapak kandungku, kalau mau menikah tentu dia walinya. Jika bapak sampai tidak mau merestui bagaimana?

Tapi ini kesempatanku untuk bahagia. Aku tidak mau selamanya berada dalam sasaran hinaan ibu tiri. Aku ingin bebas dan bahagia. Aku harus bertindak. Sekarang.

“Tidak, Mas. Tidak ada yang datang melamarku dan aku tidak menerima lamaran dari siapa pun.”

Biarkan saja dengan ancaman bapak. Selama ini saja bapakku sudah seperti tidak mengakui aku anaknya. Masalah beliau nanti mau merestui atau tidak, mau jadi wali atau tidak, biar itu jadi urusan nanti.

Ada harap yang kugantungkan pada Nata saat dulu dia bilang akan menikahiku. Meski kalimatnya sekilas dan serupa angin lalu, nyatanya itu yang membuatku memiliki secercah cahaya. Berharap bisa bahagia hidup dengan Nata.

Bapak tidak peduli dengan apa yang membahagiakan untukku. Jadi setidaknya, aku yang harus menentukan jalan sendiri. Aku tidak mungkin membiarkan hidupku hancur begitu saja.

“Andini!” Bu Sumarni yang duduk di sampingku menarik lengan. Dia tentu tidak terima dengan kejujuran ini.

“Kamu kok, berbohong, Mbak,” timpal Wulandari.

Aku melepaskan tangan ibu. “Aku tidak berbohong, Mas Nata, Bu Hamidah. Aku memang belum menerima pinangan dari siapa pun. Betul kan, Pak?” Aku menatap bapak menuntut jawaban jujurnya.

Bapak berkedip tiga kali seraya mengalihkan pandangan pada Pak Gumilar. “Iya, Andini belum ada yang meminang. Tadinya saya berniat menjodohkan.”

“Seperti jaman Siti Nurbaya saja.” Nata tersenyum dan melirik pada ibunya. “Bagus kalau begitu. Aku ke sini berniat melamarmu, Andini. Andini Larasati.” Nata memperjelas nama.

“Apa yang membuat Mas Nata ingin melamar saya?”

“Kamu tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau mau digombalin?”

Aku mengernyit. Melihat dia yang duduk tegak dengan otot-otot yang tampak kekar. Dulu, postur tubuhnya tidak seperti itu. Tetapi setelah jadi atlet, Nata tampak gagah.

“Maksudnya?”

“Aku suka kamu itu dari setinggi ini, Andini.” Dia menunjukkan ukuran tinggi badan anak-anak dengan telapak. “Ah, tidak. Segini!” Nata menurunkan setengahnya.

“Itu tinggi badan bayi Mas Nata!” timpal tetangga yang hadir.

“Ya, maksudnya dari sejak kecil banget lah.”

“Ya sudah, kita lanjut kan saja acara lamarannya.” Pak Gumilar memperbaiki duduk. Nata mengangguk.

Pria bertubuh besar itu mengawali kalimat dengan berdehem. Lalu mulai bicara lebih formal. Dengan bahasanya yang santun dan berwibawa, Pak Gumilar meminta maaf atas kesalahpahaman yang tadi. Selanjutnya beliau mau melamarku untuk menjadi menantunya—istri dari Nata.

Bapak menyambut niatan Pak Gumilar. Sempat kecewa karena Wulandari sudah terlanjur berharap pada Nata. Namun, Bu Sum juga terlibat atas kesalahpahaman ini. Terlalu tergesa-gesa penyebabnya. Jadi mau dikata apa, Wulandari harus bisa maklum.

Wulandari memerah wajahnya. Dia angkat kaki meninggalkan perkumpulan saat kalimat bapak belum usai. Bu Sumarni mengikuti kepergian putrinya. Malu mungkin mereka, atau kecewa.

“Jawabannya saya serahkan pada Andini. Bagaimana Andin, kau mau menikah dengan Nata?”

Aku menunduk dan terpejam. Mencipta wajah ibu dalam kegelapan. Lalu dengan yakin menjawab, “Bismillah, saya terima.”

Para tamu mengatakan hamdalah. Nata dan Pak Gumilar mengusap wajah. Bapak menunduk. Sementara Ibu Hamidah hanya melihatku lekat, entah apa yang dia pikirkan. Sukakah padaku atau tidak? Atau mungkin ia berharap Wulandari yang menjadi mantunya?

“Ada cincin sebagai tanda ikatan. Mana, Bu?” tanya Pak Gumilar.

“Eh, iya.” Bu Hamidah membuka tas dan mengeluarkan kotak cincin. Lalu mendekat padaku dan menyematkan di jari manis.

Ndak, pas, loh.”

“Ya, orang kemarin ngasih ukuran Wulandari. Pasti tidak pas,” timpal Nata.

“Enggak apa-apa. Ini bisa kuganjel dikit.”

“Iya, diganjel saja.” Bu Hamidah kembali ke kursinya.

“Itu bisa ditukar nanti. Sekarang untuk simbol saja,” jelas Pak Gumilar.

Cincin yang satunya bapak sematkan di jari Nata. Lalu obrolan berlanjut pada poin kapan pernikahan akan dilaksanakan. Nata belum memiliki waktu tepat karena bulan ini masih sibuk untuk persiapan tanding di luar kota. Jadi acara pernikahan belum bisa dirancang kapan pastinya. Kalau pertandingan Nata sudah selesai, maka baru bisa ditentukan tanggal.

Kami akhiri acara lamaran ini dengan makan-makan. Tidak rugi aku masak seharian ini. Ternyata keluarga calon suamiku sendiri yang memakannya.

Acara usai. Semua bubar. Meninggalkan rumah yang berantakan.

Tanpa menunda waktu, kubereskan semuanya.

Bu Sumarni tiba-tiba menarik tanganku. Membawaku ke dalam rumah dan setengah memutar pergelangan.

“Sakit, Bu.” Aku menepisnya.

“Berani melawan kamu heh!” Telunjuknya mendorong jidatku. Mata melotot dan bertolak pinggang.

“Aku juga ingin bahagia, Bu!” Aku mulai frustrasi. Kalau rumah ini tidak memiliki kenangan tentang ibu, rasanya ingin kabur saja.

“Bahagia di atas penderitaan adikmu gitu?” Telunjuknya kembali mendorong jidat. “Gak tahu diri, memang kamu. Enggak tahu balas budi.” Dia tampak geram sekali sampai menekan gigi-giginya dan bahkan bibirnya pun bergetar.

“Saya itu sudah nolong kamu, Heh. Sudah jadi ibu buat kamu. Tapi kamu gak bisa berkorban sedikit saja buat adik kamu. Tolak Nata doang apa susahnya? Egois memang kamu ini!” setiap bilang ‘kamu’ telunjuknya pasti mendarat di jidatku.

“Kalau ibu memang sudah menjadi ibuku, harusnya bahagia ada orang kaya yang mau menikahi. Ibu sendiri yang bilang nasibku blangsak. Kalau ada lelaki yang bisa mengangkat derajat hidupku, kenapa ibu tidak bisa menerima. Sebenarnya ibu ingin lihat aku berhasil atau mau aku tetap blangsak biar bisa terus dihina.”

“Eh, eh, eh. Makin kurang ajar kamu mentang-mentang habis dilamar Nata. Cari pria lain jangan lelaki yang disukai adikmu. Pake otak tu biar apa yang dimaksud orang tua ngerti.”

“Siapa? Burhan si tukang ojek? Ibu sendiri yang bilang aku gak laku.”

“Tutup mulutmu, Andini. Kalau orang tua bicara itu dengarkan. Jangan nyahut terus!” Bapak ikut pasang wajah garang. Aku sering dimaki Bu Sumarni, tapi sakitnya tidak seperti dibentak bapak. Bentakan bapak selalu terasa lebih menyakitkan meski hanya satu kata. Aku seperti diasingkan oleh lelaki yang dulu selalu melindungi.

“Dengar apa kata bapakmu! Makin tidak tahu diri saja sekarang! Baru punya calon begitu saja sudah ngelunjak. Pokonya saya tidak mau tahu, gagalkan acara pertunangan ini. Harus Wulandari yang nikah sama Nata. Kamu tidak pantas sama sekali.”

“Enggak. Aku gak mau!”

“Ikuti apa kata ibumu, Andini. Kalau tidak, bapak tidak akan menjadi walimu!”

“Nah, begitu saja. Puas!”

Aku menggeleng tidak percaya. Gestur bapak di pertunangan tadi begitu legowo dan terlihat tidak masalah atas pertunangan ini. Apa sikapnya tadi hanya karena malu pada tetangga?

“Apa, Pak? Bapak tidak mau melepas Andin untuk hidup bahagia?”

Bersambung….

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
kasihan andini...diteroror terus oleh ayah kandung sendiri....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status