KETIKA MAS GAGAH TIBA 4
Perdebatan itu diakhiri dengan keputusan sebelah pihak. Aku harus menggagalkan pertunangan ini bagaimana pun caranya. Jika tidak, maka bapak tidak akan mau menikahkanku.
Aku tidak bisa tidur sebelum kondisi rumah beres. Mbak Yuli turut membantu. Semua sisa makanan kuberikan pada Mbak Yuli dan tetangga dekat rumah, sedikit kusisakan untuk sarapan besok pagi.
“Jangan nurut, Andin! Kalau kamu yakin sama Nata, jalani saja sampai hari ha. Urusan nanti bapakmu mau jadi wali atau tidak terserah nanti.”
“Aku juga mikirnya gitu, Mbak. Kalau bukan sekarang kapan lagi. Salah-salah nanti bapak malah jodohkan aku sama lelaki tidak jelas.”
“Betul begitu. Mbak dukung. Kalau kamu nikah sama Nata, Mbak jamin. Ibu tirimu itu bakal mati kutu. Biar dia jilat kembali ludah yang terus dikeluarkannya buat hina kamu.” Mbak Yuli bicara penuh emosi.
“Ya mudah-mudahan saja semua lancar. Semoga Allah meluluhkan hati bapak. Bapak itu baik sebenernya, Mbak. Cuma gitu setelah punya istri Bu Sumarni malah lupa anak.”
“Bapakmu itu terlalu takut tidak dikasih selangkangan, makanya manut saja.”
Mbak Yuli membantuku sampai beres. Jam sembilan, aku baru masuk kamar. Pintu yang memang belum kukunci itu terbuka dengan sendirinya. Wulandari masuk kamar ketika aku baru saja beres shalat isya.
Dia melipat tangan dengan mimik angkuh. Melihat isi kamarku dengan tatapan jijik. Raut wajahnya memang selalu berbeda antara ada bapak dan tidak ada bapak. Saat ada bapak, dia seperti adik manis yang mudah sekali teraniaya. Kalau tidak ada bapak, dia semena-mena.
“Mbak, nyadar gak sih. Mbak itu gak pantes untuk atlet internasional seperti Mas Nata. Kejauhan.”
Aku menggantung mukena. Merapikan kasur sebelum kutiduri. “Orang dia yang mau menikahiku kok kamu yang repot, Wulan.”
“Aku tuh suruh Mbak ngaca. Nikah itu bukan Cuma sayang-sayangan. Kamu harus bergaul dengan kehidupannya. Emang orang seperti Mbak bisa? Yang ada nanti kamu malah minder. Sekarang aku kasih tahu, dari pada mempersulit hidup. Mending mundur dari sekarang. Mbak itu lebih cocok sama Mas Burhan. Yang pantes sama Mas Nata itu aku, dari pendidikan, pekerjaan, pergaulan. Setara.”
Aku menguap dan merentangkan tangan. “Mbuh, ah. Yang jelas aku lebih baik jadi istri seorang atlet dari pada di sini cuma jadi babumu sama ibumu. Sudah sana, aku mau mengkhayal sama mas gagah yang atlet.” Aku mendorong Wulan agar dia keluar kamar.
“Eh, eh, eh. Ngusir!” Matanya memicing dengan alis menegang.
“Terserah apa kamu bilang.”
“Awas, ya, aku tidak akan tinggal diam.”
“Sakarepmu.”
***
Bapakku bekerja sebagai sopir bis antar provinsi. Pergi pagi pulang malam. Jam tiga subuh biasanya bapak sudah bangun untuk berangkat mengambil mobil.
Aku menyiapkan kopi dan sarapan seadanya untuk ganjal perut agar bapak tidak masuk angin. Dulu Bu Sumarni yang selalu menyiapkan, setelah aku beranjak dewasa, ibu tiriku itu seperti enggan bangun. Selalu mengandalkan aku.
“Sudah dipikirkan kata bapak semalam?” tanya bapak lalu meneguk kopi. Pagi ini terdengar lebih santai.
“Aku mau tanya sama bapak. Kalau misalkan aku yang ada di posisi Wulandari, apa bapak akan meminta hal yang sama?”
Bapak terdiam beberapa saat. Mengusap keningnya ke belakang. “Malu, Andini. Ibu kamu itu sudah sangat baik. Mau melayani bapak, menjaga kamu, menjaga rumah ini. Saat kamu sekolah, dia ikut berkorban supaya apa yang kamu mau bisa terpenuhi, Ibu tiri lain tidak ada yang sebaik dia. Wulandari juga, dia sudah baik bantu memenuhi kebutuhan kita sekarang. Bantu bapak bayar cicilan bank.”
Percuma ngomong sama bapak. Pasti itu yang dikatakannya. Bapak sudah dicuci otaknya sama Bu Sumarni. Penghasilan bapak juga banyak, tapi Bu Sumarni selalu bilang kurang. Lalu mulai membanggakan diri kalau selama ini penghasilannya dari jualan pulsa berhasil menutupi kebutuhan. Padahal tak seberapa.
Biaya kuliah Wulandari itu berasal dari uang bapak, tapi Bu Sumarni mengakui itu dari bapaknya Wulan. Orang yang sudah menjadi mantan suami sering diunggul-unggulkan, suami sendiri terus disepelekan. Padahal aku tahu kalau bapaknya Wulan itu susah sekali dipintai uang.
Uang seratus dua ratus ribu yang dikasih Wulan dari penghasilannya yang jutaan, diumumkan sampai ke pelosok kampung. Tapi 70 persen yang kuserahkan dari gaji sebagai pelayan toko baju di pasar tak pernah disebut sama sekali.
Apa hanya ibu tiriku saja yang begitu?
“Bapak berangkat dulu. Sebaiknya kau segera putuskan pertunangan itu. Mumpung belum lama.” Bapak memakai topi. Lalu menghabiskan sisa kopi. Kemudian pergi meninggalkan rumah.
.
Aku bekerja di pasar seperti biasa. Melayani pelanggan yang mencari pakaian. Sesekali mengecek toko di marketplace. Merespons pembeli yang bertanya ini itu. Di jam-jam tertentu, aku dan karyawan lain mengemasi pakaian yang dibeli secara online. Kerjaku sampai jam lima sore setiap harinya. Bila di hari-hari ramai pengunjung suka ada lembur sampai malam.
Seorang pria berbadan tegap memasuki toko. Dia memakai celana jeans dan kaus yang melekat membentuk otot-otot. Melihat-lihat isi toko dengan dua tangan yang masuk ke dalam kantung celana.
“Cari apa, Mas?” Aida menghampirinya.
“Cari, Andini.”
Aida langsung nengok padaku. Aku menyembunyikan wajah di atas etalase. Kenapa Nata datang ke sini?
“Din… Andin… ada yang cari.” Aida menggoyangkan pundakku. “Ada cowok keren yang nyari, tahu.” Dia berbisik kegirangan sekarang.
Aku mengangkat muka. Rasanya wajah menghangat saat bertemu tatap dengan Nata di sana.
“Itu siapa hayo?” Pundak Aida menyenggol pundakku.
“Pulang jam berapa?” tanya lelaki berkulit hitam manis itu dengan seulas senyum. Ada lesung pipit kecil di kedua pipinya.
Kutengok jam dinding. “Sejam lagi.”
“Hmm…” Dia mengangguk. “Aku tunggu aja lah di sini, boleh?”
“Boleh.”
“Eh, udah saling kenal. Kalian pacaran?” Aida menyatukan dua ujung telunjuknya.
Aku tersenyum malu.
“Iiiihh, keren banget punya Mas Gagah. Udah, udah, pulang saja sana. Toko biar aku yang jaga.” Aida mendorongku keluar dari belakang etalase.
“Apa sih, Aida. Nanti Mbak marah loh.”
“Enggak apa-apa nanti aku yang bilang. Udah sana pergi.”
“Aida….”
“Sana pulang Andin. Kasihan Mas-nya kalau nunggu. Orang toko juga sepi kok.”
Aku menimbang. Melirik pria yang masih berdiri tegap di antara rak pakaian. Nata mengangkat dua alisnya.
“Beneran nih gak apa-apa.”
“Gak apa-apa. Sumpah. Sana pergi!”
“Ya udah deh. Makasih, ya.” Aku mengambil tas dan berganti sandal. Keluar dari toko dan diikuti Nata.
Toko pakaian ini berada tepat di pinggir jalan besar. “Ke sini naik apa?” tanya dia yang ada di belakangku.
“Jalan kaki. Tadi Mas pake apa?” Kaku rasanya harus panggil Mas. Dulu, aku suka panggil dia dengan nama ayahnya. Kalau tidak ya nama saja.
“Jalan kaki juga.”
“Serius?”
“Hmm, sambil cari angin.”
“Oh…” Aku jalan duluan, dia mengekor.
“Jarang di kampung, tiap pulang selalu saja ada yang buat pangling.”
“Udah seperti kota, ya, sekarang?”
“Iya. Cuma kamu yang tidak berubah. Tetap burik.”
Aku menengok dan mendelik. “Menyebalkan. Tahu burik, tapi ngajak nikah.”
“Kan suka sama buriknya.”
Bersambung ….
Seorang wanita berwajah jelita memasuki ruang yang dirancang sedemikian mewah. Membawa troli berisi aneka alat-alat masak. Tiga chef terkenal duduk di kursi kecil."Hallo, Chef." Andini tersenyum manis. Lalu menyusun alat-alatnya di meja berlapis stainles."Hallo, siapa nama kamu?" tanya pria bermata sipit di depan sana."Andini Larasati, Chef.""Wong jowo?""Yes, Chef.""Bilang yes jadi hilang wong jowonya," timpal juri berwajah jelita. Lalu disambut tawa kecil oleh yang lainnya."Enggak dong, Chef.""Mau masak apa, Andini?""Siomay seafood with mozzarella sauce.""Oke. Sudah siap?""Siap, Chef.""Waktunya lima menit dari ... sekarang."Tangan cekatan Andini lihai bergerak-gerak. Mempersiapkan apa yang tadi sudah dibuatnya. Jika peserta lain grogi masak sambil diperhatikan chef terkenal, tidak dengan Andini. Mentalnya cukup kuat untuk menerima semua itu. Tatapan para juri tidak lah ada apa-apanya jika dibandingkan sorot mata tajam dan mengintimidasi milik Sumarni. Jangankan hanya dip
KETIKA MAS GAGAH TIBA ENDMungkin nyawa Wulandari sudah melayang bila mana bayi itu tidak menangis. Seperti mendapat panggilan alam, mulut kecil itu menjerit keras. Suaranya memantul dari dinding ke dinding. Lalu menyelinap masuk ke dalam relung hati Burhan.'Dia ibu dari anakmu, dan ayahnya bukan seorang pembunuh.' Suara lembut berbisik dalam dirinya.Marah yang meletup bertabrakan dengan penyesalan karena tidak bisa menahan emosi. Dua perasaan itu membuat dia kesulitan mengendalikan diri. Burhan menghempaskan Wulandari dan Sumarni dari cengkeramannya. Dia berbalik dengan kaca-kaca di matanya. Bertolak pinggang. Sakit hati dan penuh penyesalan.Di belakang Burhan. Wulandari luruh. Duduk di lantai dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Terbatuk-batuk dia. Sementara Sumarni memegangi rahangnya yang seperti akan hancur.Selama ini, pada siapa pun mereka melontarkan cacian, tidak pernah ada yang melawan dengan melakukan tindak kekerasan yang nyaris melayangkan nyawa. Sumarni dan Wulanda
KETIKA MAS GAGAH TIBA 47POV AuthorDi malam yang hening, Andini berurai air mata. Ditatapnya berkas sertifikat yang menunjukkan kepemilikan atas namanya itu. Dadanya terasa penuh sebab rasa bahagia yang membuncah. Tak menyangka Nata akan melakukannya.Dipeluknya berkas itu serupa kekasih yang telah lama pergi."Sayang...." Nata mengusap punggung Andini."Aku gak nyangka kamu lakuin ini, Mas." Mata merah Andini menatap suaminya."Kenapa kamu baik banget?"Tanpa berkata, Nata menarik Andini bersandar pada dadanya yang lebar. Kemudian mengecup ubun-ubun Andini. "Aku sayang kamu. Sudah terlalu lama kamu menanggung penderitaan. Sekarang saatnya bahagia." Nata menjeda."Mas bahagia kalau kamu bahagia. Mas ikut sakit jika kamu sakit. Maka teruslah bahagia ... untukku." Nata mengangkat dagu Andini agar melihat padanya.Mendengar itu, tangisan dua netra Andini semakin berlinang. Nata bukan laki-laki yang pandai menggombal. Kalimat itu pastilah dari hatinya yang paling dalam. Bagi Andini, Nata
"Pak...Bapak... maafkan ibu, Pak." Dia langsung bersujud di depan kaki bapak."Ibu tidak punya niat jahat, Pak. Ibu hanya mau menabung." Dia berlinang-linang. Aku mencebik.Tanpa menghiraukannya, aku dan bapak melanjutkan langkah kembali ke tempat tidur.Sumarni beranjak mengikuti kami. Menunduk di depan bapak. "Bapak jangan salah sangka. Itu tidak seperti yang Andini kira. Ibu menabung untuk masa tua kita.""Masa tua yang seperti apa, Sumarni?" bapak yang sudah duduk tenang di atas kasur menatap wanita yang dulu selalu dibelanya."Masa tua seperti apa? Harus menunggu bagaimana dulu agar kau mengeluarkan tabunganmu? Jika bapak ada dalam kondisi hampir kehilangan kaki saja kau tidak bicara, lalu menunggu kondisi seperti apa? Menunggu bapak mati? Lalu kau bisa foya-foya, begitu?"Sumarni menggeleng. Terisak-isak."Bapak paham. Kau mempersiapkan diri untuk masa tuamu, bukan masa tua kita.""Tidak, Pak. Tidak begitu....""Cukup! Cukup!" Bapak menunjukkan telapak. "Bapak selalu menomorduak
KETIKA MAS GAGAH TIBA 46"Kalau bapak masih menganggapku anak, ceraikan dia. Tapi kalau bapak tetap mempertahankan pernikahan bapak. Maaf aku tidak akan lagi ada di samping bapak."Aku menatap pria yang masih berbaring ini dengan mata panas. Meski waktu sudah memberi jeda, gejolak di dada tetap sama.Jika kemarahan memiliki interval 1 sampai 1000, misal. Maka marah dan kecewa ini sudah sampai di batas maksimal. Aku tidak sudi lagi melihat wajah Sumarni. Andai bapak tetap mempertahankan dia, maka lebih baik aku saja yang pergi.Bapak menghela napas berat. Ditatapnya plafon rumah sakit dengan sendu. Lelaki yang sedang berbaring itu berkaca kedua netranya. Air yang menggumpal di kedua sudut mata itu menetes melewati pelipis kanan dan kiri.Aku paham. Bapak pun pasti sama kecewanya."Sampaikan talak bapak pada Sumarni, Ndok. Bapak sudah tidak bisa melanjutkan kalau seperti ini."Aku membuang napas dengan entakkan. "Aku lega mendengarnya."Setelah lama berharap, akhirnya talak itu keluar d
Ketika Mas Gagah Tiba 45"Ambil saja." Nata memberi saran. Dia menyentuh lengan agar aku menghentikan pertengkaran dengan Bu Sum.Bola mata Bu Sum membola ketika Nata berucap seperti itu. Dua bola mata yang dulu selalu membuatku takut dan menciut itu kini kucebik saja sambil balik kanan. Lalu menuju kamar bapak.Di depan lemari putih ini, aku membuka pintunya. Dikunci. Nata meraba bagian atas lemari. Ada. Dia memberikannya padaku, lantas aku segera membukanya."Heh! Jangan lancang kamu!" Bu Sum berkata sengit.Aku tidak tahu apa yang hendak dia lakukan karena fokus membuka kunci lemari, tapi Nata membuat gerakan seperti menghadang sesuatu di belakangku. Sontak aku menengok. Tangan Bu Sumarni sedang teracung sementara tangan kekar suamiku mencengkeram pergelangannya, sepertinya Bu Sumarni baru saja mau memukulku."Istriku hanya ingin mengambil haknya, Anda jangan halangi, Bu Sum!" Nata memperingatkan.Kalau lah suamiku kurus kerempeng seperti Mas Burhan, mungkin ibu tiriku itu sudah me