Share

Mas Gagah 6

KETIKA MAS GAGAH TIBA 6

Ngobrol sambil makan, tidak terasa waktu sudah pukul lima sore. Saat keluar lapak bakso Mas Joko, sebuah mobil mungil warna silver lewat dengan kecepatan tinggi.

“Wow, santai, Bos. Ini jalanan kampung bukan tol.” Nata memandangnya geram.

“Tahu gak itu siapa?” tanyaku seraya memperbaiki letak tas.

“Siapa?”

“Wulandari.”

“Pantes. Gak di rumah gak di jalan, songong orangnya.”

“Gitu lah. Kemaren dia marah gara-gara salah paham masalah pertunangan itu.”

“Aku juga gak enak sebenarnya, mis komunikasi dari awal.”

“Masnya juga langsung to the point bicaranya. Bikin dia malu.”

“Gimana lagi, dari pada salah pahamnya kebablasan.”

Kami lanjut jalan. Kali ini dia yang duluan.

“Pernah ikut mobilnya?”

“Alhamdulillah, enggak.”

“Nanti aku antar jemput pake pesawat.”

Aku tersenyum. “Ketinggian mimpinya.”

“Gak masalah, mimpi emang harus tinggi. Nanti kalau kita udah sukses, Wulandari pake mobil, kita nunduk aja.”

“Ko malah nunduk?”

“Kan kita pake pesawat. Kamu nanti bisa dadah-dadah dari atas.” Nata memperagakan dengan dadah-dadah ke jalan aspal.

“Bisa saja kamu, Mas.”

Lagi, aku tersenyum. Menunduk melihat jalan aspal. Bahagia dengar dia bilang kita. Dadaku jadi semakin berdebar dan berbunga.

Sepanjang perjalanan, Nata bertanya ini dan itu. Itu rumah siapa, yang dulu tinggal di sini ke mana. Nenek A masih hidup tidak. Kakek B bagaimana kabarnya. Semua dia tanyakan. Teman-teman sekolah pun tak lepas dari pertanyaannya.

Tak sedikit warga yang dia sapa akhirnya mengajak ngobrol. Semeter dua meter langkah kami harus terhenti lagi. Setiap kali ada yang bertanya hubungan kami, dia akan menjawab calon istri.

“Semoga lancar rencana kalian.” Kata seorang bapak yang baru saja ngajak ngobrol.

“Aamiin, Pakde. Monggo Pakde kami pulang dulu.”

“Monggo, Mas Nata.”

Aku tidak menyangka, Nata ternyata seserius ini. Tidak mungkin aku memutus pertunangan begitu saja.

Perjalanan dari toko ke rumahku hanya butuh waktu 15 menit saja. Tapi karena makan bakso dulu dan jalan juga teramat santai, tidak terasa waktu sudah mendekati Magrib. Terdengar pada pengeras suara anak-anak sudah solawatan.

“Magrib dulu, yuk.” Nata berhenti di dekat pagar masjid.

Masih ingin mengobrol, aku jadi tak berniat menolak. Maka setuju saja. Padahal kalau dilihat-lihat, masih ada sekitar 10 menit menjelang adzan berkumandang.

Kondisi masjid masih sepi. Hanya diisi oleh anak-anak yang solawatan. Aku dan Nata duduk di teras.

“Setiap hari pulang kerja jam lima?”

“Iya.”

“Besok aku jemput jam lima.”

“Kapan berangkat lagi?”

“Belum pasti, tunggu jadwal dari pelatih.”

“Tanding di mana?”

“Luar pulau.”

“Setiap hari berangkat kerja jam berapa?” lanjutnya.

“Kadang jam delapan, kadang jam sembilan. Tergantung kesibukan.”

“Perlu diantar tidak?”

“Gak usah.”

“Eh, iya. Belum minta nomor.” Nata mengeluarkan ponsel. Aku mengetik nomorku di sana.

“Besok Mas antar deh. Mumpung lagi di sini. Janjian ya?” Nata mengacungkan layar ponselnya.

“Terserah deh. Kalau tidak ada tanding kesibukannya apa?”

Nata masih memainkan ponselnya, terlihat memasukkan namaku pada kontak. “Sudah kerja sekarang.”

“Di mana?”

“Di kantor dinas. Gak jauh-jauh dari urusan pemuda dan olahraga. Lumayan, ada upah buat nafkah anak istri sama pensiunan kalau tua.”

Nata termasuk keluarga paling berada di kampungku. Ayahnya seorang PNS di kantor kementerian. Selain itu juga punya bisnis sebagai makelar tanah, mebel dan toko elektronik. Uang tentu bukan masalah baginya. Dengar-dengar sih, dari prestasinya sebagai atlet, dia juga sudah punya rumah dan kendaraan.

“Mas, ibumu sebenarnya merestui hubungan kita atau enggak sih? Kok kayaknya ibumu lebih srek sama Wulandari.”

“Ibu sih terserah aku. Dia realistis orangnya. Hanya saja mungkin kemaren pikirnya yang aku taksir itu Wulan, karena cantik, pinter, sarjana.”

Aku menunduk malu. Merasa diri tidak ada apa-apanya dibanding Wulan. “Padahal Mas itu lebih cocok sama dia,” kataku dengan nada pelan. Minder.

“Cocok dilihat dari apa?”

“Sama-sama pintar, sama-sama berprestasi.”

“Siapa bilang. Aku bodoh, lupa kalau dari dulu juga gak pernah dapat rengking.”

“Tapi kan sudah jadi atlet.”

Prestasi Nata di sekolah memang buruk. Dia peringkat dua dari yang terakhir. Kelas lima SD, perkalian saja gak hafal. Hanya olahraganya saja yang unggul.

“Tetap saja jatuhnya gak nyambung. Orang bidangnya jauh kok. Lagi pula jodoh itu masalah hati. Kalau sudah terlanjut cinta mau diapakan.”

Aku bersemu. Wajah jadi menghangat.

“Kok, jatuhnya malah seperti gombal ya?” Dia mengacak rambut. “Astagfirulloh. Ngegombal di masjid.” Nata berdiri.

Bapak-bapak para jemaah shalat datang. Nata menyapa. Aku lanjut ke tempat wudhu. Selepas shalat dia lanjut ngobrol dengan para jamaah lelaki.

Memang banyak orang yang ingin berbincang dengannya. Selain asyik, pencapaian hidupnya juga keren. Dia sudah mengharumkan nama daerah kami.

Ini rekor paling lambat perjalanan antara toko dan rumah. Lebih dari dua jam baru sampai. Dan gak kerasa saking asyiknya ngobrol. Langit bahkan sudah gelap.

“Bagaimana sekarang sikap ibu tiri?” Nata menghentikan langkah.

“Gimana apanya?”

“Masih tidak adil sama anak?”

“Kok tahu?”

“Sudah jadi buah bibir. Dulu saja kamu selalu telat datang sekolah karena harus beres-beres dulu kan?”

Aku melihat rumah bercat biru itu. Bangunan yang dulunya surga berubah jadi neraka. Lampu-lampu menyala terang. Gorden tertutup rapat. Kalau ibu lihat aku sama Nata pasti marah lagi.

“Masih gak jauh beda. Tetap begitu. Tidak masuk dulu?” tawarku. Sebetulnya takut juga ketahuan ibu. Males ribut.

“Tidak.”

“Ya sudah. Makasih, ya.”

Nata diam saja. Tampak galau dengan menggigit bibirnya sambil berpikir.

“Kenapa?”

“Membela diri. Jangan diam saja. Ini rumahmu, bukan rumah mereka.”

Nata sepertinya tahu banyak tentang aku, padahal baru kali ini kami berkomunikasi lagi. Apa dia memang mencari tahu? Atau hanya praduga?

Aku menunduk. “Gak berani. Aku males ribut.”

“Gusti Allah itu kasih semua makhluk hidup dengan kemampuan melindungi diri. Jangankan manusia yang diciptakan sempurna. Tumbuhan saja, Allah kasih kemampuan melindungi diri. Ada yang punya duri. Ada yang punya racun. Ada yang bikin gatal. Apa lagi kamu, Din... manusia… sempurna… punya akal. Membela diri bukan ngajak ribut kok. Hanya pertahanan kalau kamu juga punya garis teritorial yang tidak bisa sembarangan orang lain usik.”

Aku mengangkat wajah, menatap Nata.

“Aku tahu, dari dulu kamu pintar. Dari kelas satu sampai kelas empat rengking satu terus. Kenapa sekarang jadi seperti ini?”

“Beda, Mas. Hidup sama ibu kandung dan hidup sama ibu tiri itu beda.”

“Pasti beda. Karena dia juga pasti akan memprioritaskan anaknya. Tapi kamu juga berhak bahagia. Jangan sampai apa yang membahagiakan bagi dia sampai mengusik kebahagiaan kamu.”

“Jadi aku harus bagaimana?”

“Membela diri. Jangan mau terusik. Katakan sama diri sendiri, kalau kamu berhak bahagia. Kamu berani. Dan Allah sudah kasih kamu kemampuan untuk membela diri. Coba diyakini.”

Bersamaan dengan berhentinya kalimat Nata. Bu Sumarni teriak di teras. “Andini…!”

Bersambung ….

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
calon suami cerdas,bisa bimbing calon istri supaya berani melawan penindasan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status