Share

Mas Gagah 6

Author: Nendia
last update Last Updated: 2023-03-24 03:31:05

KETIKA MAS GAGAH TIBA 6

Ngobrol sambil makan, tidak terasa waktu sudah pukul lima sore. Saat keluar lapak bakso Mas Joko, sebuah mobil mungil warna silver lewat dengan kecepatan tinggi.

“Wow, santai, Bos. Ini jalanan kampung bukan tol.” Nata memandangnya geram.

“Tahu gak itu siapa?” tanyaku seraya memperbaiki letak tas.

“Siapa?”

“Wulandari.”

“Pantes. Gak di rumah gak di jalan, songong orangnya.”

“Gitu lah. Kemaren dia marah gara-gara salah paham masalah pertunangan itu.”

“Aku juga gak enak sebenarnya, mis komunikasi dari awal.”

“Masnya juga langsung to the point bicaranya. Bikin dia malu.”

“Gimana lagi, dari pada salah pahamnya kebablasan.”

Kami lanjut jalan. Kali ini dia yang duluan.

“Pernah ikut mobilnya?”

“Alhamdulillah, enggak.”

“Nanti aku antar jemput pake pesawat.”

Aku tersenyum. “Ketinggian mimpinya.”

“Gak masalah, mimpi emang harus tinggi. Nanti kalau kita udah sukses, Wulandari pake mobil, kita nunduk aja.”

“Ko malah nunduk?”

“Kan kita pake pesawat. Kamu nanti bisa dadah-dadah dari atas.” Nata memperagakan dengan dadah-dadah ke jalan aspal.

“Bisa saja kamu, Mas.”

Lagi, aku tersenyum. Menunduk melihat jalan aspal. Bahagia dengar dia bilang kita. Dadaku jadi semakin berdebar dan berbunga.

Sepanjang perjalanan, Nata bertanya ini dan itu. Itu rumah siapa, yang dulu tinggal di sini ke mana. Nenek A masih hidup tidak. Kakek B bagaimana kabarnya. Semua dia tanyakan. Teman-teman sekolah pun tak lepas dari pertanyaannya.

Tak sedikit warga yang dia sapa akhirnya mengajak ngobrol. Semeter dua meter langkah kami harus terhenti lagi. Setiap kali ada yang bertanya hubungan kami, dia akan menjawab calon istri.

“Semoga lancar rencana kalian.” Kata seorang bapak yang baru saja ngajak ngobrol.

“Aamiin, Pakde. Monggo Pakde kami pulang dulu.”

“Monggo, Mas Nata.”

Aku tidak menyangka, Nata ternyata seserius ini. Tidak mungkin aku memutus pertunangan begitu saja.

Perjalanan dari toko ke rumahku hanya butuh waktu 15 menit saja. Tapi karena makan bakso dulu dan jalan juga teramat santai, tidak terasa waktu sudah mendekati Magrib. Terdengar pada pengeras suara anak-anak sudah solawatan.

“Magrib dulu, yuk.” Nata berhenti di dekat pagar masjid.

Masih ingin mengobrol, aku jadi tak berniat menolak. Maka setuju saja. Padahal kalau dilihat-lihat, masih ada sekitar 10 menit menjelang adzan berkumandang.

Kondisi masjid masih sepi. Hanya diisi oleh anak-anak yang solawatan. Aku dan Nata duduk di teras.

“Setiap hari pulang kerja jam lima?”

“Iya.”

“Besok aku jemput jam lima.”

“Kapan berangkat lagi?”

“Belum pasti, tunggu jadwal dari pelatih.”

“Tanding di mana?”

“Luar pulau.”

“Setiap hari berangkat kerja jam berapa?” lanjutnya.

“Kadang jam delapan, kadang jam sembilan. Tergantung kesibukan.”

“Perlu diantar tidak?”

“Gak usah.”

“Eh, iya. Belum minta nomor.” Nata mengeluarkan ponsel. Aku mengetik nomorku di sana.

“Besok Mas antar deh. Mumpung lagi di sini. Janjian ya?” Nata mengacungkan layar ponselnya.

“Terserah deh. Kalau tidak ada tanding kesibukannya apa?”

Nata masih memainkan ponselnya, terlihat memasukkan namaku pada kontak. “Sudah kerja sekarang.”

“Di mana?”

“Di kantor dinas. Gak jauh-jauh dari urusan pemuda dan olahraga. Lumayan, ada upah buat nafkah anak istri sama pensiunan kalau tua.”

Nata termasuk keluarga paling berada di kampungku. Ayahnya seorang PNS di kantor kementerian. Selain itu juga punya bisnis sebagai makelar tanah, mebel dan toko elektronik. Uang tentu bukan masalah baginya. Dengar-dengar sih, dari prestasinya sebagai atlet, dia juga sudah punya rumah dan kendaraan.

“Mas, ibumu sebenarnya merestui hubungan kita atau enggak sih? Kok kayaknya ibumu lebih srek sama Wulandari.”

“Ibu sih terserah aku. Dia realistis orangnya. Hanya saja mungkin kemaren pikirnya yang aku taksir itu Wulan, karena cantik, pinter, sarjana.”

Aku menunduk malu. Merasa diri tidak ada apa-apanya dibanding Wulan. “Padahal Mas itu lebih cocok sama dia,” kataku dengan nada pelan. Minder.

“Cocok dilihat dari apa?”

“Sama-sama pintar, sama-sama berprestasi.”

“Siapa bilang. Aku bodoh, lupa kalau dari dulu juga gak pernah dapat rengking.”

“Tapi kan sudah jadi atlet.”

Prestasi Nata di sekolah memang buruk. Dia peringkat dua dari yang terakhir. Kelas lima SD, perkalian saja gak hafal. Hanya olahraganya saja yang unggul.

“Tetap saja jatuhnya gak nyambung. Orang bidangnya jauh kok. Lagi pula jodoh itu masalah hati. Kalau sudah terlanjut cinta mau diapakan.”

Aku bersemu. Wajah jadi menghangat.

“Kok, jatuhnya malah seperti gombal ya?” Dia mengacak rambut. “Astagfirulloh. Ngegombal di masjid.” Nata berdiri.

Bapak-bapak para jemaah shalat datang. Nata menyapa. Aku lanjut ke tempat wudhu. Selepas shalat dia lanjut ngobrol dengan para jamaah lelaki.

Memang banyak orang yang ingin berbincang dengannya. Selain asyik, pencapaian hidupnya juga keren. Dia sudah mengharumkan nama daerah kami.

Ini rekor paling lambat perjalanan antara toko dan rumah. Lebih dari dua jam baru sampai. Dan gak kerasa saking asyiknya ngobrol. Langit bahkan sudah gelap.

“Bagaimana sekarang sikap ibu tiri?” Nata menghentikan langkah.

“Gimana apanya?”

“Masih tidak adil sama anak?”

“Kok tahu?”

“Sudah jadi buah bibir. Dulu saja kamu selalu telat datang sekolah karena harus beres-beres dulu kan?”

Aku melihat rumah bercat biru itu. Bangunan yang dulunya surga berubah jadi neraka. Lampu-lampu menyala terang. Gorden tertutup rapat. Kalau ibu lihat aku sama Nata pasti marah lagi.

“Masih gak jauh beda. Tetap begitu. Tidak masuk dulu?” tawarku. Sebetulnya takut juga ketahuan ibu. Males ribut.

“Tidak.”

“Ya sudah. Makasih, ya.”

Nata diam saja. Tampak galau dengan menggigit bibirnya sambil berpikir.

“Kenapa?”

“Membela diri. Jangan diam saja. Ini rumahmu, bukan rumah mereka.”

Nata sepertinya tahu banyak tentang aku, padahal baru kali ini kami berkomunikasi lagi. Apa dia memang mencari tahu? Atau hanya praduga?

Aku menunduk. “Gak berani. Aku males ribut.”

“Gusti Allah itu kasih semua makhluk hidup dengan kemampuan melindungi diri. Jangankan manusia yang diciptakan sempurna. Tumbuhan saja, Allah kasih kemampuan melindungi diri. Ada yang punya duri. Ada yang punya racun. Ada yang bikin gatal. Apa lagi kamu, Din... manusia… sempurna… punya akal. Membela diri bukan ngajak ribut kok. Hanya pertahanan kalau kamu juga punya garis teritorial yang tidak bisa sembarangan orang lain usik.”

Aku mengangkat wajah, menatap Nata.

“Aku tahu, dari dulu kamu pintar. Dari kelas satu sampai kelas empat rengking satu terus. Kenapa sekarang jadi seperti ini?”

“Beda, Mas. Hidup sama ibu kandung dan hidup sama ibu tiri itu beda.”

“Pasti beda. Karena dia juga pasti akan memprioritaskan anaknya. Tapi kamu juga berhak bahagia. Jangan sampai apa yang membahagiakan bagi dia sampai mengusik kebahagiaan kamu.”

“Jadi aku harus bagaimana?”

“Membela diri. Jangan mau terusik. Katakan sama diri sendiri, kalau kamu berhak bahagia. Kamu berani. Dan Allah sudah kasih kamu kemampuan untuk membela diri. Coba diyakini.”

Bersamaan dengan berhentinya kalimat Nata. Bu Sumarni teriak di teras. “Andini…!”

Bersambung ….

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
calon suami cerdas,bisa bimbing calon istri supaya berani melawan penindasan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 48.b

    Seorang wanita berwajah jelita memasuki ruang yang dirancang sedemikian mewah. Membawa troli berisi aneka alat-alat masak. Tiga chef terkenal duduk di kursi kecil."Hallo, Chef." Andini tersenyum manis. Lalu menyusun alat-alatnya di meja berlapis stainles."Hallo, siapa nama kamu?" tanya pria bermata sipit di depan sana."Andini Larasati, Chef.""Wong jowo?""Yes, Chef.""Bilang yes jadi hilang wong jowonya," timpal juri berwajah jelita. Lalu disambut tawa kecil oleh yang lainnya."Enggak dong, Chef.""Mau masak apa, Andini?""Siomay seafood with mozzarella sauce.""Oke. Sudah siap?""Siap, Chef.""Waktunya lima menit dari ... sekarang."Tangan cekatan Andini lihai bergerak-gerak. Mempersiapkan apa yang tadi sudah dibuatnya. Jika peserta lain grogi masak sambil diperhatikan chef terkenal, tidak dengan Andini. Mentalnya cukup kuat untuk menerima semua itu. Tatapan para juri tidak lah ada apa-apanya jika dibandingkan sorot mata tajam dan mengintimidasi milik Sumarni. Jangankan hanya dip

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 48.a

    KETIKA MAS GAGAH TIBA ENDMungkin nyawa Wulandari sudah melayang bila mana bayi itu tidak menangis. Seperti mendapat panggilan alam, mulut kecil itu menjerit keras. Suaranya memantul dari dinding ke dinding. Lalu menyelinap masuk ke dalam relung hati Burhan.'Dia ibu dari anakmu, dan ayahnya bukan seorang pembunuh.' Suara lembut berbisik dalam dirinya.Marah yang meletup bertabrakan dengan penyesalan karena tidak bisa menahan emosi. Dua perasaan itu membuat dia kesulitan mengendalikan diri. Burhan menghempaskan Wulandari dan Sumarni dari cengkeramannya. Dia berbalik dengan kaca-kaca di matanya. Bertolak pinggang. Sakit hati dan penuh penyesalan.Di belakang Burhan. Wulandari luruh. Duduk di lantai dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Terbatuk-batuk dia. Sementara Sumarni memegangi rahangnya yang seperti akan hancur.Selama ini, pada siapa pun mereka melontarkan cacian, tidak pernah ada yang melawan dengan melakukan tindak kekerasan yang nyaris melayangkan nyawa. Sumarni dan Wulanda

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 47

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 47POV AuthorDi malam yang hening, Andini berurai air mata. Ditatapnya berkas sertifikat yang menunjukkan kepemilikan atas namanya itu. Dadanya terasa penuh sebab rasa bahagia yang membuncah. Tak menyangka Nata akan melakukannya.Dipeluknya berkas itu serupa kekasih yang telah lama pergi."Sayang...." Nata mengusap punggung Andini."Aku gak nyangka kamu lakuin ini, Mas." Mata merah Andini menatap suaminya."Kenapa kamu baik banget?"Tanpa berkata, Nata menarik Andini bersandar pada dadanya yang lebar. Kemudian mengecup ubun-ubun Andini. "Aku sayang kamu. Sudah terlalu lama kamu menanggung penderitaan. Sekarang saatnya bahagia." Nata menjeda."Mas bahagia kalau kamu bahagia. Mas ikut sakit jika kamu sakit. Maka teruslah bahagia ... untukku." Nata mengangkat dagu Andini agar melihat padanya.Mendengar itu, tangisan dua netra Andini semakin berlinang. Nata bukan laki-laki yang pandai menggombal. Kalimat itu pastilah dari hatinya yang paling dalam. Bagi Andini, Nata

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 46.b

    "Pak...Bapak... maafkan ibu, Pak." Dia langsung bersujud di depan kaki bapak."Ibu tidak punya niat jahat, Pak. Ibu hanya mau menabung." Dia berlinang-linang. Aku mencebik.Tanpa menghiraukannya, aku dan bapak melanjutkan langkah kembali ke tempat tidur.Sumarni beranjak mengikuti kami. Menunduk di depan bapak. "Bapak jangan salah sangka. Itu tidak seperti yang Andini kira. Ibu menabung untuk masa tua kita.""Masa tua yang seperti apa, Sumarni?" bapak yang sudah duduk tenang di atas kasur menatap wanita yang dulu selalu dibelanya."Masa tua seperti apa? Harus menunggu bagaimana dulu agar kau mengeluarkan tabunganmu? Jika bapak ada dalam kondisi hampir kehilangan kaki saja kau tidak bicara, lalu menunggu kondisi seperti apa? Menunggu bapak mati? Lalu kau bisa foya-foya, begitu?"Sumarni menggeleng. Terisak-isak."Bapak paham. Kau mempersiapkan diri untuk masa tuamu, bukan masa tua kita.""Tidak, Pak. Tidak begitu....""Cukup! Cukup!" Bapak menunjukkan telapak. "Bapak selalu menomorduak

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 46.a

    KETIKA MAS GAGAH TIBA 46"Kalau bapak masih menganggapku anak, ceraikan dia. Tapi kalau bapak tetap mempertahankan pernikahan bapak. Maaf aku tidak akan lagi ada di samping bapak."Aku menatap pria yang masih berbaring ini dengan mata panas. Meski waktu sudah memberi jeda, gejolak di dada tetap sama.Jika kemarahan memiliki interval 1 sampai 1000, misal. Maka marah dan kecewa ini sudah sampai di batas maksimal. Aku tidak sudi lagi melihat wajah Sumarni. Andai bapak tetap mempertahankan dia, maka lebih baik aku saja yang pergi.Bapak menghela napas berat. Ditatapnya plafon rumah sakit dengan sendu. Lelaki yang sedang berbaring itu berkaca kedua netranya. Air yang menggumpal di kedua sudut mata itu menetes melewati pelipis kanan dan kiri.Aku paham. Bapak pun pasti sama kecewanya."Sampaikan talak bapak pada Sumarni, Ndok. Bapak sudah tidak bisa melanjutkan kalau seperti ini."Aku membuang napas dengan entakkan. "Aku lega mendengarnya."Setelah lama berharap, akhirnya talak itu keluar d

  • Ketika Mas Gagah Tiba   Mas Gagah 45

    Ketika Mas Gagah Tiba 45"Ambil saja." Nata memberi saran. Dia menyentuh lengan agar aku menghentikan pertengkaran dengan Bu Sum.Bola mata Bu Sum membola ketika Nata berucap seperti itu. Dua bola mata yang dulu selalu membuatku takut dan menciut itu kini kucebik saja sambil balik kanan. Lalu menuju kamar bapak.Di depan lemari putih ini, aku membuka pintunya. Dikunci. Nata meraba bagian atas lemari. Ada. Dia memberikannya padaku, lantas aku segera membukanya."Heh! Jangan lancang kamu!" Bu Sum berkata sengit.Aku tidak tahu apa yang hendak dia lakukan karena fokus membuka kunci lemari, tapi Nata membuat gerakan seperti menghadang sesuatu di belakangku. Sontak aku menengok. Tangan Bu Sumarni sedang teracung sementara tangan kekar suamiku mencengkeram pergelangannya, sepertinya Bu Sumarni baru saja mau memukulku."Istriku hanya ingin mengambil haknya, Anda jangan halangi, Bu Sum!" Nata memperingatkan.Kalau lah suamiku kurus kerempeng seperti Mas Burhan, mungkin ibu tiriku itu sudah me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status