Share

Ketika Melahirkan di Tempat Mertua
Ketika Melahirkan di Tempat Mertua
Penulis: Enik Wahyuni

BAB 1. Hal yang Menegangkan.

 Ketika Melahirkan di Tempat Mertua

BAB  : 1

Hal yang menegangkan.

***

"Apa sih, An, ganggu aja. Emang gak lihat apa, aku lagi kerja?" ketus Mas Rangga saat aku menelponnya. Setelah tiga kali menelpon, baru ini diangkat oleh Mas Rangga. 

"Mas, sepertinya aku mau lahiran, deh. Perutku sakit banget. Mas, bisa pulang sekarang kan?" Keluhku sambil menahan sakit. 

"Ya, kan dirumah ada Ibu. Minta tolong sama Ibu. Aku lagi kerja, jangan ganggu dulu lah," ujar Mas Rangga di seberang sana.

"Mas, di rumah gak ada siapa-siapa, tolong aku, Mas. Ibu pergi sama Mbak Rosa tadi, sampai sekarang belum pulang," ucapku yang semakin menahan sakit di perut. 

"Ya, salah siapa tadi kamu gak ngomong sama Ibu. Kalau ngomong kan pasti Ibu bakal ngejaga kamu. Udahlah, tunggu saja Ibu pulang! Aku masih sibuk disini!"

Tit. 

Telpon dimatikan. Mas Rangga mematikan teleponku begitu saja. 

Mas Rangga benar-benar kelewatan. Disaat aku mau melahirkan seperti ini, dia tak peduli sama sekali denganku. Begitu juga Ibu mertuaku yang sekarang entah kemana. Semenjak aku tinggal di sini, Ibu mertua sering pergi bersama Mbak Rosa, Kakaknya Rangga. Padahal dulu Ibu mertua yang memohon padaku untuk tinggal di sini ketika melahirkan, tapi sikapnya sungguh membuatku, miris.

Aaaauuu ….

Perutku semakin sakit dan semakin sering terasa sakit. Namun, aku tak boleh terdiam terus seperti ini. Sungguh, tragis sekali hidupku. Disaat mau melahirkan seperti ini, keluarga suami, dan bahkan suami sendiri tak peduli denganku. Dan sialnya, aku termakan bujuk rayu mereka. 

Seeerrr!

Rasanya ada merembes di bawah sini, hingga baju bawahku terlihat basah. Cairan apa ini? Aku mulai panik. Dengan menahan sakit di perut dan perih di hati, aku terus berpikir. Aku harus mendapat pertolongan. Aku tak mau terus berdiam diri seperti ini. Waktu terus berjalan bisa-bisa aku melahirkan di sini sendirian.

Dengan langkah tergopoh-gopoh, aku terus berjalan. Berharap ada yang melihat lalu menolongku. Namun sepertinya jalanan sepi, karena ini juga sudah menjelang malam. Aku benar-benar kalut, kemana lagi harus mencari pertolongan sedangkan perutku sendiri sudah semakin sakit.

Dengan rasa sakit yang mendera, aku mencoba turun dan berjalan tertatih menuju ke tempat Mbak Winda. tetanggaku yang berada di depan rumah. Biarlah, kali ini aku mengganggunya. Yang penting aku mendapat pertolongan dengan segera. Rasa lega menyelimuti ketika sudah sampai di depan rumah Mbak Winda.

Tok tok tok!

Aku mengetuk pintu dengan kencang, rasanya sudah kehabisan tenaga hingga tak bisa bersuara lagi. 

Tok tok tok!

Aku kembali mengetuk pintu ketika tak ada suara yang menyahutnya dari dalam. Rasa bersalah ketika menghampiri, mungkin Mbak Winda sudah beristirahat. Tapi aku tak punya pilihan lain. 

"Siapa, ya?" tanya seseorang dari dalam membuatku lega. 

Krieeet! 

Suara pintu terbuka. Mata Mbak Winda membulat. Mbak Winda panik melihatku yang sudah tak berdaya menahan sakit. 

"Ya Allah, Mbak Andira mau melahirkan?" ujar Mbak Winda panik lantas menuntunku yang sudah tak berdaya ini untuk duduk di terasnya.

"Tolong saya, Mbak Win,"  ucapku dengan menahan sakit luar biasa.

"Ya Allah, Pak, cepat keluarkan mobil! Mbak Andira mau melahirkan. Cepat, Pak, kita ke rumah sakit sekarang!" titah Mbak Winda pada suaminya.

"Mbak, baju bayinya sudah disiapkan?" tanya Mbak Winda.

"Sudah, Mbak Win, tas perlengkapan bayi ada di kamarku," ucapku yang meringis menahan sakit. 

"Mbak Andira tunggu di sini, biar aku saja yang ambil," ujar Mbak Winda lalu bergegas ke rumah untuk mengambil perlengkapan bayiku. Memang sudah jauh-jauh hari kusiapkan biar nanti tak gugup ketika mau melahirkan. Nyatanya terbukti sekarang.

Dengan langkah tergesa Mbak Winda menuntunku masuk ke dalam mobil menuju rumah sakit. Mbak Winda menggenggam tanganku erat. Aku yang rasanya sudah tak kuat lagi bersandar sejenak. Lalu, lagi-lagi merasa ada yang merembes hangat dari bawah sini. Dan kali ini semakin banyak. 

"Sabar, Mbak, kalau merasa sakit, tarik nafas lalu hembuskan. Agar sakitnya berkurang," ujar Mbak Winda sambil menggenggam tanganku.

Perutku sangat sakit luar biasa, seakan ingin membelah jalanan yang kurasa pelan agar segera sampai ke rumah sakit.

"Cepat dikit, Pak, kasihan Mbak Andira," 

"Iya, buk. Ini udah cepet," ujar suami Mbak Winda. Hingga akhirnya kita sampai di depan rumah sakit.

***

"Maaf, Bu, Bu Andira sudah kehabisan air ketuban, dan detak jantung bayi juga sudah semakin melemah. Kami harus melakukan tindakan operasi untuk menyelamatkan Ibu dan bayinya," ujar dokter pada Mbak Winda.

"Lakukan yang terbaik untuk Mbak Andira dan bayinya, Dok. Yang penting mereka semua selamat, setuju kan, Mbak Andira?" ujar Mbak Winda meminta persetujuanku. Aku mengangguk lemah tanda menyetujuinya.

"Tolong temani aku, Mbak Win," ucapku dengan suara bergetar. 

"Mbak Andira jangan takut, ya," ucap Mbak Winda menguatkanku. Lalu beberapa perawat membawaku ke dalam ruangan yang dingin dan tangan ini tak lepas dari genggaman tangan Mbak Winda. 

Sungguh, rasa sesak menyeruak di dalam sini ketika menyadari bahwa suamiku tak peduli ketika aku dan bayinya berada di antara hidup dan mati seperti ini. Padahal ini adalah anak pertama kami.

*********

~Pagi hari~

"Mbak, coba lihat, anaknya cantik banget. Mirip sekali dengan, Mbak Andira," ucap Mbak Winda sambil menggendong bayiku.

Aku lantas menggendong dan menimang bayiku. Benar kata Mbak Winda, bayiku terlihat bersih dan cantik. Matanya yang lentik dan alisnya yang tebal, benar-benar menjadi pelipur laraku saat ini. Rasanya bahagia sekali melihatnya, seakan semua beban hilang melihat wajah mungilnya.

"Selamat ya, aku ikut senang. Semoga nanti Gilang segera mempunyai adik, cantik seperti bayi Mbak Andira," ucap Mbak Winda membuatku tersenyum. Gilang adalah anak Mbak Winda. Umurnya sudah menginjak 7 tahun, sehingga Mbak Winda pun ingin segera memberikan adik untuk Gilang. Agar Gilang tak kesepian katanya.

"Mbak Win, Makasih banyak ya, Mbak Winda udah menemaniku semalaman," ucapku haru. Tak terasa air mata menetes begitu saja. Punya suami, serasa tak punya suami. Bersyukur masih punya tetangga sebaik Mbak Winda yang menolongku sampai aku melahirkan. Bahkan menemaniku menginap semalam disini. Suami Mbak Winda pulang semalam karena harus menemani Gilang, anaknya yang sendirian dirumah.

"Mbak, semalam Bapaknya Gilang menelpon. Katanya setelah pulang dari sini, suami langsung mengabari mertuanya Mbak Andira. Namun mertuanya Mbak bilang, kesini nya besok saja. Karena sudah ada saya yang menjaga Mbak Andira," 

Hatiku semakin perih mendengar ucapan Mbak Winda. Kenapa Ibu mertua memohon padaku untuk melahirkan di rumahnya waktu itu jika kejadiannya seperti ini. 

Krieeet!

Pintu nampak terbuka, hingga seseorang datang lalu mendekat ke arahku.

"Duh, Andira, kok bisa sih kamu melahirkan secara sesar? Kan Ibu sudah bilang, usaha dulu biar bisa normal. Kamu males ngeden ya? Maaf ya, Mbak Win, Andira sudah menyusahkan Mbak Win. Emang Andira ini orangnya rada males," ucap Ibu mertua yang baru datang, lalu nyerocos seperti itu.

Mbak Winda nampak tak enak denganku mendengar ucapan Ibu mertua.Tanpa sadar tanganku mengepal, bagaimana bisa Ibu mertua berkata seperti itu sedangkan menemaniku saja tidak. Nafasku pun ikut naik turun dibuatnya.

***********

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status