Share

Part 10

“Liza nggak bisa pakai mesin cuci?” tanya mas Lutfan heran.

“Eh itu Mas, soalnya mesin cucinya beda sama yang sering kupakai. Ini lebih bagus, ya jadi—“

“Benar Fan, Ibu memakluminya kok. Nggak apa-apa, Ibu senang bisa mengajarinya seperti ini.”

Mereka benar-benar bersekongkol mengatakan kebohongan ini. Aku bertambah penasaran, kenapa ibu mertua dengan Eliza bisa sekompak itu. Sudahlah … aku harus lolos dari kamar mandi ini terlebih dulu. Perlahan kubuka pintu kamar mandi dan cepat-cepat pergi dari sana.

Dengan langkah seperti orang berlari, aku pergi menuju kamar. Tentunya dengan tak mengeluarkan suara. Sesampainya dikamar, aku berusaha mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan, padahal tak terlalu jauh tapi tetap saja terasa capek. Mungkin karena takut ketahuan menjadi adrenalinku ikut terkuras.

Aku berpura-pura duduk santai seperti tak terjadi apa-apa. Tinggal menunggu mas Lutfan datang saja.

“Salwa dimana sih!”

Suara gumaman mas Lutfan terdengar di telingaku. Sepertinya dia sudah ada di depan kamar. Saat langkahnya memasuki kamar dia belum sadar ada aku di sana.

“Eh Mas, cari apa?” tanyaku sebiasa mungkin.

“Lho? Kok kamu ada di sini, Dek?”

“Lha, kan emang di sini.” Tentu saja aku harus terus bersandiwara.

Dahinya mengernyit, alisnya yang tebal pun hampir saja bertabrakan karena saking bimbangnya.

“Tadi nggak ada kamu kok di sini. Kamu ngumpet ya, Dek?”

Aku terkekeh mendengar ucapannya dengan wajah khas orang kebingungan.

“Malah ngetawain aku ya?”

Dia menghampiriku, kini wajahnya berubah seolah ingin memangsaku.

“Kamu lucu sih,  Mas. Orang dari tadi aku di sini.”

Dalam hati aku mengatakan ‘nas’, istilah orang Jawa jika dalam berkata tidak pas dengan kenyataan atau bisa dimaksudkan untuk mengurungkan perkataannya. Karena memang aku sedang berbohong.

“Nggak mungkin kamu dari tadi duduk di sini, Dek. Pasti kamu ngumpet ‘kan? Ayo, jujur dong Dek. Kamu ngumpet dimana?”

Tubuhnya yang berpawakan bak artis Korea itu dengan sedikit lemak yang mulai tampak di perut sengaja menubrukku tanpa ampun. Dia mulai iseng menggelitiki perutku.

“Ih Mas … hehe … geli tau Mas. Haha …  ihhh, awas Mas … hahaha.”

Aku tak bisa mengelak, rasanya sungguh sangat geli sampai tak bisa menahan tawaku.

“Mangkanya, kamu jangan berani bohongin suamimu ini, Dek.”

“Hahaha, bohong apa sih, Mas? Udah dong, Mas. Hahaha. Geli banget tau!”

Tanganku mencubit lengannya yang kekar agar dia berhenti mnggelitikiku.

“Tuh ‘kan? Kamu beraninya nyubit sih?”

Dan akhirnya, karena cubitanku yang cukup keras itu menghentikan aksinya yang membuatku ketawa tak karuan.

“Impas dong, Mas. Kamu kira ketawa nggak pakai tenaga? Capek tau ….”

“Ya udah deh … emang dari tadi kamu di sini, Dek? Kayaknya nggak deh.”

Dia merebahkan tubuhnya di pangkuanku. Dia memang suka bermanja denganku. Mungkin mas Lutfan anak satu-satunya jadi terbiasa dimanja oleh keluarganya. Begitu pun saat denganku.

“Iya Sayang ….”

Kupegang hidungnya yang mancung dan sedikit menariknya.

“Udah ah, mau kamu dimana tadi kek, yang penting sekarang sudah bersamaku. Kamu emang sukanya iseng sih.”

“Nggak kok, hehehe.”

Syukurlah, permasalahan ini tidak diperpanjang. Aku bisa bernapas lega sekarang. Tapi sebenarnya apa rencana yang sedang dibuat oleh ibu mertu dan Eliza ya? Aku kembali terpikir tentang mereka.

“Fan … Lutfan ….”

Dari ruangan lain terdengar suara ibu mertua memanggil suamiku. Mas Lutfan yang tadi sedang bersantai kini dia bangkit dan memenuhi panggilan big bos di rumah ini.

“Iya Bu, ada apa?” tanya mas Lutfan.

Aku sengaja ikut di belakangnya.

“Itu lho, Eliza mau belanja. Tolong kamu antar dia ya?” Titahnya terdengar aneh di telingaku.

“Lho? Ngapain nyuruh aku sih, Bu?”

Tentu dan sudah pasti mas Lutfan akan menolaknya.

“Ya nggak apa-apa. Emangnya kenapa?”

Mas Lutfan melihat ke arahku dengan tatapan kebingungan.

“Bolehkan Wa, Lutfan antar Eliza belanja sebentar saja?”

Kini ibu mertua meminta izin kepadaku. Ya sedikit ada nada memaksa sih yang terdengar  dari ucapannya.

“Dek ….”

Mas Lutfan memanggilku dengan nada memelas. Aku tahu apa maksudnya.

“Iya Bu, boleh ….” 

“Dek!” Mas Lutfan terlihat semakin panik. Matanya sedikit melotot kepadaku.

“Nah ‘kan pasti—“

“Tapi Bu, aku juga mau belanja. Boleh dong sekalian?”

Sengaja aku menabrak ucapan beliau. Tidak sopan sih, tapi memang aku belum menyelesaikan ucapanku tadi. Daripada disimpulkan sendiri lebih baik aku tabrak saja ucapan beliau. Sekali-kali nggak apa-apalah.

“Nah ayo, kalau gitu aku mau,” ucap mas Lutfan semangat. Wajahnya kini tersenyum memandangku.

“Tapi Fan—“

“Mana Elizanya, Bu?” potong mas Lutfan. “Kamu sana siap-siap, Dek.”

“Kamu sih, Mas? Kayak gitu aja?” tanyaku sebelum pergi ganti baju.

“Iya lah, mau bagaimana pun aku ini tetap tampan lho, Dek. Hehe.”

“Ihh … apaan?” Aku tinggalkan dia untuk ganti baju.

“Fan, kok Salwa ikut sih?”

Saat aku melangkah pergi, kembali telingaku mendengar pertanyaan yang menyebalkan keluar dari mulut ibu mertua.

“Maksud ibu apa sih? Apa sengaja mendekatkan pembantu itu sama mas Lutfan? Katanya menyuruh mas Lutfan jadi imam yang baik untukku. Kenapa sekarang justru ibu kayaknya berusaha mendekatkan antara mas Lutfan dengan Eliza. Aku ‘kan istrinya. Ibu semakin aneh saja sih.”

Di dalam kamar aku berganti baju seraya menggerutu.

“Dek, kok lama sih?”

Mas Lutfan datang menghampiriku.

“Sabar dong, Mas.”

“Di luar udah ada Eliza, ibu menyuruhku pergi berdua saja dengannya. Katanya kamu kelamaan. Jadinya aku samperin ke sini, Dek. Nggak maulah aku pergi berdua sama Eliza.”

Oh … jadi seperti itu alasannya. Kenapa ibu seperti ini sih? Membuat perasaan ini menjadi tak tenang saja.

“Ya udah, ayo Mas.”

Aku sengaja menggandeng tangannya. Dengan begitu, saat ibu melihatnya beliau tidak akan mengusik ketentraman rumah tangga kami. Maksudnya apa coba, mau mendekatkan suamiku kepada wanita lain. Tak sudi aku berbagi.

“Mas, kamu nggak suka Eliza ‘kan?” bisikku.

Kami masih berjalan menuju garasi. Ibu dan Eliza menunggu kami di sana.

“Mana mungkin aku suka sama dia, Dek. Aku ini milikmu seorang.” Dengan lantangnya dia mengatakan itu semua.

“Sssttt … jangan keras-keras, Mas.”

“Biarin aja semua dengar. Nyatanya kamu ini istriku, Dek. Nggak ada yang boleh menggantikanmu.”

“Iya Sayang, makasih ya?”

Hembusan angin semilir terasa di dalam hati. Senang rasanya saat mas Lutfan mengatakan itu semua.

“Kamu lama banget sih, Wa?” protes ibu mertua. “Lutfan Ibu suruh pergi berdua saja sama  Eliza, malah dia nggak mau.”

‘Jelaslah, mas Lutfan itu menghargai perasaanku. Bukan kayak ibu yang semua kemauannya harus dituruti.’

“Iya Bu, lama. Dia mau cantik dihadapanku. Dia nggak mau malu-maluin aku. Jadi wajarlah, kalau lama. Yuk berangkat.”

Mas Lutfan menarik tanganku, menyuruhku naik ke mobil. Ya, dialah tamengku.

“Za, sini dulu sebentar,” panggil ibu mertua kepada Eliza.

Kami sudah duduk rapi di dalam mobil. Hanya menunggu Eliza saja. Tapi ibu mertua masih sibuk berbisik kepadanya.

“Eliza ngapain sih sama ibu, Dek?” tanya mas Lutfan.

Itulah pertanyaan yang saat ini sedang melayang-layang di pikiranku.

“Aku juga nggak tau, Mas. Mungkin ibu titip sesuatu.”

“Masa iya, harus bisik-bisik.”

Aku hanya mengangkat ke dua pundakku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status