Share

Part 9

Saat aku berdiri melihat ke arah mobil yang sedang dicuci, di sana ada mas Lutfan yang masih belum melanjutkan hobby mencucinya itu. Dia masih berbicara dengan Eliza. Aku berinisiatif untuk mendekati mereka.

“Mas …,” panggilku.

Perbincangan mereka berhenti seketika. Terlihat dari raut wajah mas Lutfan terlihat ketidaksukaan.

“Dek, tumben kamu mau mendatangiku pas lagi cuci mobil begini,” tanyanya.

“Ya … pengin lihat kamu aja, Mas. Kalian ngomongin apa?”

Eliza hanya terdiam, terlihat sungkan kepadaku.

“Ini ibu aneh-aneh aja. Masa si Liza disuruh membantuku mencuci mobil. Aku bisa sendiri lho, Dek," sungutnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia benar-benar tidak suka.

“Mungkin takut kamu capek kali, Mas. Jadi ibu menyuruh Liza untuk bantuin kamu.”

Aku berusaha tenang meski hatiku ikut bergemuruh karena ulah ibu mertuaku itu.

“Capek gimana, Dek? Dari dulu memang aku suka mencuci mobil begini, nggak mungkin kalau aku capek. Kalau gini ‘kan jadi mengganggu hobby-ku saja. Apa sih yang ada dipikiran ibu.”

“Ya sudah, Mas. Kalau begitu saya masuk saja ke rumah. Lebih baik mengerjakan pekerjaan yang lain saja.”

Tanpa disuruh, Eliza  berpamitan untuk pergi dari hadapan kami.

“Iya, lebih baik kamu mengerjakan yang lain saja ya?” ucapku, lembut.

“Permisi, Mas, Mbak.”

Dia pergi kembali ke dalam rumah.

“Dek, maksud ibu apaan sih, coba? Bikin aku nggak nyaman aja.”

Mas Lutfan masih mengeluhkan sikap ibunya itu. Ya,begitulah rasanya jika kebebasan dan keinginanmu diganggu, tidak enak ‘kan rasanya? Itu yang selama ini kurasakan.

“Ya itu, mungkin ibu takut kamu capek Mas.”

Tak ada jawaban lain selain kalimat seperti itu yang bisa kuucapkan kepadanya.

“Ya udahlah, yang penting Liza sudah pergi dari sini. Nah, mumpung kamu ada di sini, gimana kalau kamu yang membantuku, Dek. Aku suka kalau kamu yang membantuku mencuci mobil, Dek. Hehe.”

Sekejap aku bergeming. Memikirkan keputusan apa yang akan kuambil. Mengingat tadi ada wanita lain yang akan membantu mas Lutfan untuk mencuci mobilnya.

“Oke, Mas! Ayo kita cuci mobil ini.”

Dan pada akhirnya, aku menuruti kemauan suamiku. Kami bersenang-senang bersama meski hanya dengan mencuci mobil saja. Bahagia memang sesederhana itu ‘kan?

“Lutfan! Kenapa Salwa yang membantumu mencuci mobil?”

Ya, protes itu tentu saja keluar dari mulut sang ibu mertua. Siapa lagi kalau bukan dia yang selalu saja mengomentari segala sesuatu yang kami lakukan.

“Biarin lah, Bu. Dia ‘kan istriku. Daripada sama Liza. Nggak maulah, aku sama dia,” tolak mas Lutfan mentah-mentah.

“Salwa biarin istirahat. Mangkanya Ibu suruh Liza bantuin kamu.”

Ibu mertua tak mau kalah dong pastinya.

“Nggak usah dibantuin sekalian, Bu. Ibu ini kalau nyuruh yang pantas dong, Bu.”

Adu mulut antara ibu dan anak sudah dimulai. Apa lagi ke duanya mempunyai sifat keras kepala yang sama. Bakalan seru nih pastinya.

“Aduh Lutfan … kamu ini semakin susah dibilangin ya sekarang. Apa saja pasti kamu bantah perintah Ibu. Ini demi kebaikanmu lho, Fan.”

“Udah lah, Bu. Aku bisa melakukannya sendiri. Jangan pernah suruh Liza untuk membantuku mencuci mobil. Nggak butuh, Bu.”

“Anak ini, keras kepala banget sih kalau dibilangin! Itu semua demi kebaikanmu.”

“Kebaikan apa sih, Bu? Udah … udah … Ini udah selesai. Aku mau mandi. Ayo, Dek!”

Mas Lutfan menggandengku pergi ke dalam rumah. Dia meninggalkan ibunya yang masing ingin meneruskan perdebatan di antara mereka berdua.

Aku lagi-lagi hanya mengekor. Dan setia mendengarkan perdebatan mereka.

“Ck! Ibu sukanya nyuruh ini dan itu. Emangnya nggak bisa ngertiin perasaanku apa? Maunya kok diturutin terus sih!”

Ya, kembali mas Lutfan menggerutui ibunya sendiri.

“Ya … itulah sifat ibu, Mas. Udahlah … ayo katanya mau mandi.”

Aku hanya bisa mengalihkan pembicaraan agar kejengkelan mas Lutfan bisa cepat hilang.

“Bareng kamu, Dek?”

Begitulah mas Lutfan, selalu saja meledekku.

“Nggak! Sana sendiri.”

Tentu saja aku mengatakannya dengan senyum yang mengembang. Meski nada bicaraku seperti orang yang sedang marah. Itu semua karena aku merasa malu.

“Hehehe.”

Mas Lutfan tertawa seraya pergi ke dalam kamar mandi.

*** 

“Liza, ayo ikut Ibu sebentar.”

Tak sengaja aku mendengar ajakan ibu kepada Eliza. Ada niatan untuk menguping yang hadir di benakku.

“Iya Bu,” jawab Eliza, mereka berdua pergi ke suatu tempat.

Sesuai niatanku tadi, aku mengendap-endap mengikuti mereka.

“Nah udah di sini aja, pasti aman.”

Mereka berhenti di tempat cucian baju. Di sana memang jarang sekali ada orang, kecuali sedang mencuci dan menjemur pakaian.  Aku mencari tempat yang aman untuk sekedar menguping pembicaraan mereka. Entah mengapa ingin rasanya mengetahui percakapan yang akan terjadi.

“Ada apa ya, Bu?” tanya Eliza.

“Liza, kamu nggak lupa ‘kan tugasmu di sini?”

“Nggak kok, Bu. Pasti akan mengingatnya terus.”

“Ya … bagus. Kapan pun kamu harus siap lho ya? Ibu membayar mahal untuk ini.”

Samar aku mendengarnya. Mereka sengaja berbicara dengan suara yang sangat pelan. Ya, hampir berbisik.

“Iya Bu, sudah pasti aku akan siap melakukannya kapan pun Ibu mau.”

“Melakukan apa?” gumamku. Apa ada misi tertentu Eliza datang ke sini?

Kembali kutajamkan pendengaranku.

“Tak akan lama lagi, kamu harus melakukannya. Bersiaplah.”

“Iya, Bu. Aku siap kapan pun.”

Belum juga aku menemukan jawaban atas apa yang dimaksud dalam percakapan itu, telingaku mendengar langkah kaki yang mendekat. Tak mungkin aku terus menguping. Bisa-bisa ketahuan.

“Aduh … ada seseorang yang mendekat. Aku harus bagaimana ya?” gumamku.

Aku harus segera mungkin memutar otak. Tak mau jika aku ketahuan menguping pembicaraan ibu dan Eliza. Bagaimana nasibku jika sampai terjadi seperti itu.

“Iya! Aku ke kamar mandi aja. Biarkan saja kalau kamar mandi itu jarang di pakai, yang penting aku harus aman.”

Gegas kaki ini menuju kamar mandi yang jarang terpakai karena letaknya terlalu jauh. Ada kamar mandi dalam di setiap kamar, wajar jika kamar mandi ini jarang terpakai.

Langkah kaki itu semakin mendekat, sepertinya langkah itu milik mas Lutfan. Tumben dia main ke tempat cucian, atau dia sedang mencariku, entahlah. Aku sudah berada di dalam kamar mandi.

“Eh, kok Ibu sama Liza ada di sini?” tanya mas Lutfan, suaranya lumayan lantang.

“Lho, lho? Kok kamu ada di sini, Fan? Ngapain kamu di sini?” Dari nada bicara yang aku tangkap sepertinya ibu merasa gugup.

“Iya, aku cari Salwa Bu. Aku kira sedang mencuci, jadi kusamperin ke sini. Eh, dianya nggak ada. Ibu lihat dia?”

Benar ternyata, mas Lutfan mencariku.

“Ibu nggak tau, Fan. Dari tadi Ibu di sini sama Liza. Dia bingung caranya cuci baju pakai mesin cuci, jadi Ibu ajarin deh.”

Wah … ibu kok bisa bohong begitu ya? Padahal dari tadi mereka berbisik mengatakan hal lain. Dan sekarang dengan lantangnya mengatakan hal yang sangat berbeda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status