Saat aku berdiri melihat ke arah mobil yang sedang dicuci, di sana ada mas Lutfan yang masih belum melanjutkan hobby mencucinya itu. Dia masih berbicara dengan Eliza. Aku berinisiatif untuk mendekati mereka.
“Mas …,” panggilku.
Perbincangan mereka berhenti seketika. Terlihat dari raut wajah mas Lutfan terlihat ketidaksukaan.
“Dek, tumben kamu mau mendatangiku pas lagi cuci mobil begini,” tanyanya.
“Ya … pengin lihat kamu aja, Mas. Kalian ngomongin apa?”
Eliza hanya terdiam, terlihat sungkan kepadaku.
“Ini ibu aneh-aneh aja. Masa si Liza disuruh membantuku mencuci mobil. Aku bisa sendiri lho, Dek," sungutnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia benar-benar tidak suka.
“Mungkin takut kamu capek kali, Mas. Jadi ibu menyuruh Liza untuk bantuin kamu.”
Aku berusaha tenang meski hatiku ikut bergemuruh karena ulah ibu mertuaku itu.
“Capek gimana, Dek? Dari dulu memang aku suka mencuci mobil begini, nggak mungkin kalau aku capek. Kalau gini ‘kan jadi mengganggu hobby-ku saja. Apa sih yang ada dipikiran ibu.”
“Ya sudah, Mas. Kalau begitu saya masuk saja ke rumah. Lebih baik mengerjakan pekerjaan yang lain saja.”
Tanpa disuruh, Eliza berpamitan untuk pergi dari hadapan kami.
“Iya, lebih baik kamu mengerjakan yang lain saja ya?” ucapku, lembut.
“Permisi, Mas, Mbak.”
Dia pergi kembali ke dalam rumah.
“Dek, maksud ibu apaan sih, coba? Bikin aku nggak nyaman aja.”
Mas Lutfan masih mengeluhkan sikap ibunya itu. Ya,begitulah rasanya jika kebebasan dan keinginanmu diganggu, tidak enak ‘kan rasanya? Itu yang selama ini kurasakan.
“Ya itu, mungkin ibu takut kamu capek Mas.”
Tak ada jawaban lain selain kalimat seperti itu yang bisa kuucapkan kepadanya.
“Ya udahlah, yang penting Liza sudah pergi dari sini. Nah, mumpung kamu ada di sini, gimana kalau kamu yang membantuku, Dek. Aku suka kalau kamu yang membantuku mencuci mobil, Dek. Hehe.”
Sekejap aku bergeming. Memikirkan keputusan apa yang akan kuambil. Mengingat tadi ada wanita lain yang akan membantu mas Lutfan untuk mencuci mobilnya.
“Oke, Mas! Ayo kita cuci mobil ini.”
Dan pada akhirnya, aku menuruti kemauan suamiku. Kami bersenang-senang bersama meski hanya dengan mencuci mobil saja. Bahagia memang sesederhana itu ‘kan?
“Lutfan! Kenapa Salwa yang membantumu mencuci mobil?”
Ya, protes itu tentu saja keluar dari mulut sang ibu mertua. Siapa lagi kalau bukan dia yang selalu saja mengomentari segala sesuatu yang kami lakukan.
“Biarin lah, Bu. Dia ‘kan istriku. Daripada sama Liza. Nggak maulah, aku sama dia,” tolak mas Lutfan mentah-mentah.
“Salwa biarin istirahat. Mangkanya Ibu suruh Liza bantuin kamu.”
Ibu mertua tak mau kalah dong pastinya.
“Nggak usah dibantuin sekalian, Bu. Ibu ini kalau nyuruh yang pantas dong, Bu.”
Adu mulut antara ibu dan anak sudah dimulai. Apa lagi ke duanya mempunyai sifat keras kepala yang sama. Bakalan seru nih pastinya.
“Aduh Lutfan … kamu ini semakin susah dibilangin ya sekarang. Apa saja pasti kamu bantah perintah Ibu. Ini demi kebaikanmu lho, Fan.”
“Udah lah, Bu. Aku bisa melakukannya sendiri. Jangan pernah suruh Liza untuk membantuku mencuci mobil. Nggak butuh, Bu.”
“Anak ini, keras kepala banget sih kalau dibilangin! Itu semua demi kebaikanmu.”
“Kebaikan apa sih, Bu? Udah … udah … Ini udah selesai. Aku mau mandi. Ayo, Dek!”
Mas Lutfan menggandengku pergi ke dalam rumah. Dia meninggalkan ibunya yang masing ingin meneruskan perdebatan di antara mereka berdua.
Aku lagi-lagi hanya mengekor. Dan setia mendengarkan perdebatan mereka.
“Ck! Ibu sukanya nyuruh ini dan itu. Emangnya nggak bisa ngertiin perasaanku apa? Maunya kok diturutin terus sih!”
Ya, kembali mas Lutfan menggerutui ibunya sendiri.
“Ya … itulah sifat ibu, Mas. Udahlah … ayo katanya mau mandi.”
Aku hanya bisa mengalihkan pembicaraan agar kejengkelan mas Lutfan bisa cepat hilang.
“Bareng kamu, Dek?”
Begitulah mas Lutfan, selalu saja meledekku.
“Nggak! Sana sendiri.”
Tentu saja aku mengatakannya dengan senyum yang mengembang. Meski nada bicaraku seperti orang yang sedang marah. Itu semua karena aku merasa malu.
“Hehehe.”
Mas Lutfan tertawa seraya pergi ke dalam kamar mandi.
***
“Liza, ayo ikut Ibu sebentar.”
Tak sengaja aku mendengar ajakan ibu kepada Eliza. Ada niatan untuk menguping yang hadir di benakku.
“Iya Bu,” jawab Eliza, mereka berdua pergi ke suatu tempat.
Sesuai niatanku tadi, aku mengendap-endap mengikuti mereka.
“Nah udah di sini aja, pasti aman.”
Mereka berhenti di tempat cucian baju. Di sana memang jarang sekali ada orang, kecuali sedang mencuci dan menjemur pakaian. Aku mencari tempat yang aman untuk sekedar menguping pembicaraan mereka. Entah mengapa ingin rasanya mengetahui percakapan yang akan terjadi.
“Ada apa ya, Bu?” tanya Eliza.
“Liza, kamu nggak lupa ‘kan tugasmu di sini?”
“Nggak kok, Bu. Pasti akan mengingatnya terus.”
“Ya … bagus. Kapan pun kamu harus siap lho ya? Ibu membayar mahal untuk ini.”
Samar aku mendengarnya. Mereka sengaja berbicara dengan suara yang sangat pelan. Ya, hampir berbisik.
“Iya Bu, sudah pasti aku akan siap melakukannya kapan pun Ibu mau.”
“Melakukan apa?” gumamku. Apa ada misi tertentu Eliza datang ke sini?
Kembali kutajamkan pendengaranku.
“Tak akan lama lagi, kamu harus melakukannya. Bersiaplah.”
“Iya, Bu. Aku siap kapan pun.”
Belum juga aku menemukan jawaban atas apa yang dimaksud dalam percakapan itu, telingaku mendengar langkah kaki yang mendekat. Tak mungkin aku terus menguping. Bisa-bisa ketahuan.
“Aduh … ada seseorang yang mendekat. Aku harus bagaimana ya?” gumamku.
Aku harus segera mungkin memutar otak. Tak mau jika aku ketahuan menguping pembicaraan ibu dan Eliza. Bagaimana nasibku jika sampai terjadi seperti itu.
“Iya! Aku ke kamar mandi aja. Biarkan saja kalau kamar mandi itu jarang di pakai, yang penting aku harus aman.”
Gegas kaki ini menuju kamar mandi yang jarang terpakai karena letaknya terlalu jauh. Ada kamar mandi dalam di setiap kamar, wajar jika kamar mandi ini jarang terpakai.
Langkah kaki itu semakin mendekat, sepertinya langkah itu milik mas Lutfan. Tumben dia main ke tempat cucian, atau dia sedang mencariku, entahlah. Aku sudah berada di dalam kamar mandi.
“Eh, kok Ibu sama Liza ada di sini?” tanya mas Lutfan, suaranya lumayan lantang.
“Lho, lho? Kok kamu ada di sini, Fan? Ngapain kamu di sini?” Dari nada bicara yang aku tangkap sepertinya ibu merasa gugup.
“Iya, aku cari Salwa Bu. Aku kira sedang mencuci, jadi kusamperin ke sini. Eh, dianya nggak ada. Ibu lihat dia?”
Benar ternyata, mas Lutfan mencariku.
“Ibu nggak tau, Fan. Dari tadi Ibu di sini sama Liza. Dia bingung caranya cuci baju pakai mesin cuci, jadi Ibu ajarin deh.”
Wah … ibu kok bisa bohong begitu ya? Padahal dari tadi mereka berbisik mengatakan hal lain. Dan sekarang dengan lantangnya mengatakan hal yang sangat berbeda.
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”