Share

Part 8

Aвтор: Khanna
last update Последнее обновление: 2021-08-29 12:00:18

“Mas, kira-kira Eliza udah tidur belum ya?” tanyaku saat di dalam mobil.

“Hmmm, mana aku tau, Dek. Dari tadi ‘kan aku bareng terus sama kamu. Kamu ini, tanyanya aneh-aneh saja deh.”

“Iya, iya … pertanyaanku aneh … aku ‘kan penasaran. Apa nggak boleh kalau tanya begitu?”

Bibirku sedikit manyun saat respon mas Lutfan seolah memojokkanku. Tinggal ngomong ‘nggak tau, Dek’ gitu aja kenapa sih? Tidak usah diembel-embeli dengan ucapan lain yang membuat perasaan ini menjadi merasa sebal.

“Boleh Sayang … maksudnya bukan gitu. Kamu ‘kan tau sendiri, sejak tadi aku selalu bersamamu, Dek. Kok kamu jadi manyun gitu sih?”

“Kamu sih, Mas. Tinggal ngomong nggak tau aja apa susahnya? Kenapa menganggapku aneh sih?”

“Ya ampun Sayang … kayak gitu aja kok dipermasalahin sih, Dek? Iya, iya … aku salah, aku minta maaf.”

Saat mengatakannya dia tersenyum lebar.

“Tuh ‘kan? Malah senyum-senyum gitu … kamu nggak ikhlas minta maafnya ya, Mas. Masa kayak lagi meledekku begitu sih?” ucapku, semakin merajuk.

“Ikhlas Sayang … ikhlas banget. Udah ya Sayang, jangan diterusin lagi. Ntar jatah malam ini jadi hilang deh.”

“Apaan sih, kamu Mas.”

Aku masih saja cemberut, namun sebenarnya sedang menahan senyuman. Ucapannya tadi membuat hatiku tergelitik.

“Iya ya? Harus pokoknya. Hehehe.”

“Kamu curang sih … aku jadi gagal ‘kan, marahnya ….”

Kucubit perutnya yang mulai ada sedikit lemak itu. Biar dia kapok sudah mengagalkan  kejengkelanku.

“Auw! Sakit Dek. Awas aja ntar. Hehehe.”

Tok, tok, tok ….

“Assalamu’alaikum!” sapa mas Lutfan saat berada di depan pintu rumah.

Gerbang depan sengaja dibiarkan tak terkunci. Namun, pintu rumah selalu saja terkunci jika dirasa sudah cukup malam. Sekitar jam Sembilan pintu rumah sudah terkunci dari dalam.

“Iya, wa’alaikumsalam.”

Seseorang yang menjawab salam terasa masih asing di telingaku. Benar saja, saat pintu dibuka Eliza-lah yang membukanya, tentu saja dia orang yang menjawab salam itu.

“Eh Bapak sama Ibu sudah pulang, silakan masuk,” sambutnya ramah.

Rasanya aneh saat orang lain yang membukakan pintu untuk kami. Biasanya ibu yang akan membukanya. Tentu saja dengan segala pertanyaan yang beliau lontarkan.

“Oh iya, terima kasih. Ibu sudah tidur ya?” tanya mas Lutfan, aku hanya mengekor saja.

“Tadi sih masih terjaga, Pak. Tapi nggak tau sekarang.”

“Oh begitu. Oh iya, Eliza. Panggil kami dengan sebutan mas sama mbak aja ya? Umur kita nggak terlalu jauh juga kok,” ucapnya kepada pembantu baru kami. “Ayo Dek.” Mas Lutfan menggandeng tanganku, pergi menuju ke dalam kamar.

Sedangkan Eliza kembali mengunci pintunya.

“Eh kalian udah pulang?”

Pertanyaan itu menghentikan langkah kami. Ya, suara itu milik ibu mertua.

“Iya ini, Bu. Baru aja sampai. Ibu kok belum tidur?” tanya mas Lutfan.

“Ini juga mau tidur, Fan. Tadi haus, mangkanya ibu keluar lagi ke dapur. Fan, dompetnya kamu taruh sesuai perintah Ibu ‘kan?”

Sebelum menjawab, mas Lutfan melihat ke arahku. Entah apa maksudnya, aku pun tak tahu.

“Kenapa? Kok lihat Salwa? Atau jangan-jangan, Salwa melarangmu?”

“Ibu … kok bicaranya gitu sih? Apa nggak boleh aku melihat istriku sendiri. Ibu ini pikirannya aneh-aneh saja sih. Dompet itu sudah kami letakan sesuai perintah Ibu kok.”

Raut wajah mas Lutfan terlihat sedikit menahan rasa jengkel.

“Oh … bagus deh kalau gitu. Kamu nggak membukanya ‘kan, Fan?”

“Sebenarnya dompet itu isinya apa sih, Bu? Kenapa aku nggak boleh lihat?”

“Udah … nggak penting apa isinya. Yang penting kamu simpan dompet itu baik-baik. Dan ingat! Jangan sampai kamu buka dompet itu.”

Selesai mengucapkan kalimat yang sedikit dibumbui dengan ancaman itu, beliau pergi meninggalkan kami ke kamarnya kembali.

“Dek, kok ibu gitu sih?” tanya mas Lutfan kepadaku.

Sedari tadi aku hanya mendengarkan percakapan mereka berdua saja. Tidak mau ikut campur. Ada mas Lutfan ini yang bisa tegas menjawab segalanya.

“Aku juga nggak tau, Mas. Yang kutau ibu itu kayak kamu, sama-sama keras kepala. Hehe.”

“Eh, eh … kok malah meledek suamimu yang tampan ini sih? Awas aja kamu ya, Dek.”

Aku sedikit berlari menuju ke dalam kamar. Namun, sekejap mataku menangkap seseorang yang sepertinya sedang mengawasi kita berdua. Tapi sudahlah, paling hanya bayanganku saja.

“Dek, tunggu aku dong ….”

Mas  Lutfan mengejarku ke dalam kamar.

“Mulai hari ini, setiap pulang dari toko kamu harus mandi ya, Dek,” ucapnya di atas pangkuanku.

Kami baru saja selesai membersihkan diri.

“Dulu aku ‘kan mandi juga, Mas. Tapi kalau malas hanya membasuhnya saja sih. Hehe.”

“Nah itu maksudku, Dek. Kamu jangan malas. Pokoknya harus rajin mandi.”

“Dingin Mas, jadinya aku malas mandi.”

Tanganku membelai mesra rambutnya yang masih basah. Sesekali memainkan hidungnya yang mancung.

“Ada aku ‘kan, yang jadi selimutmu, Dek. Hehehe.”

“Oh ya? Hehe. Ayo Mas, tidur.”

Dia mengikuti perintahku. Kini kami sudah di posisi masing-masing.

“Sayang, aku ingin menagih janjimu padaku.”

“Ih … janji apa Sayangku. Hehe.”

Tak mau berlama-lama, mas Lutfan langsung saja memulai aksinya itu. Ya, katanya aku harus memberikan jatah yang tadi pagi kujanjikan untuknya. Padahal dia sendiri yang meminta jatah itu, bukan aku yang berjanji padanya. Ya sudahlah, seorang istri harus taat dengan segala titah sang raja. Tentunya dalam segala kebaikan.

*** 

Waktu terus bergulir. Sudah seminggu Eliza membantu ibu di rumah ini. Selama itu tidak ada hal aneh yang terjadi. Ya, dia layaknya seorang pembantu yang mengerti kesopanan kepada seorang majikannya. Semoga saja tetap saja begitu.

Kebetulan hari ini adalah hari minggu. Hari dimana bisa sedikit lebih bersantai saat di rumah karena memang jadwal toko untuk libur. Apa lagi sekarang ada Eliza, pekerjaan rumah sudah tak terlalu kupikirkan. Itu ‘kan maunya ibu kepadaku.

“Liza, tolong bantu Lutfan cuci mobilnya ya? Bilang aja Ibu yang nyuruh.”

Aku mendengarnya dari dalam kamar. Hari minggu sering digunakan oleh mas Lutfan untuk mencuci mobilnya sendiri. Dia tidak mau membawa ke tempat pencucian mobil yang menurutku lebih memudahkannya. Tapi entah apa alasannya, dia inginnya mencuci sendiri. Ya, mungkin itu sudah menjadi hobby-nya.

“Ngapain Liza disuruh bantu cuci mobil sih? Ngapain kek, asalkan jangan bantu cuci mobil,” gerutuku.

Sengaja aku keluar dari kamar. Segera menyusul ke halaman depan melihat mas Lutfan mencuci mobil. Biasanya aku tak pernah melakukan hal ini. Buat apa menonton orang yang sedang mencuci mobil, lebih baik melakukan hal yang lebih bermanfaat lainnya. Tapi karena ini urgent, mau tak mau aku harus melihatnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 55

    “Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 54

    Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 53

    Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 52

    Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 51

    POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 50

    POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status