Share

Part 8

“Mas, kira-kira Eliza udah tidur belum ya?” tanyaku saat di dalam mobil.

“Hmmm, mana aku tau, Dek. Dari tadi ‘kan aku bareng terus sama kamu. Kamu ini, tanyanya aneh-aneh saja deh.”

“Iya, iya … pertanyaanku aneh … aku ‘kan penasaran. Apa nggak boleh kalau tanya begitu?”

Bibirku sedikit manyun saat respon mas Lutfan seolah memojokkanku. Tinggal ngomong ‘nggak tau, Dek’ gitu aja kenapa sih? Tidak usah diembel-embeli dengan ucapan lain yang membuat perasaan ini menjadi merasa sebal.

“Boleh Sayang … maksudnya bukan gitu. Kamu ‘kan tau sendiri, sejak tadi aku selalu bersamamu, Dek. Kok kamu jadi manyun gitu sih?”

“Kamu sih, Mas. Tinggal ngomong nggak tau aja apa susahnya? Kenapa menganggapku aneh sih?”

“Ya ampun Sayang … kayak gitu aja kok dipermasalahin sih, Dek? Iya, iya … aku salah, aku minta maaf.”

Saat mengatakannya dia tersenyum lebar.

“Tuh ‘kan? Malah senyum-senyum gitu … kamu nggak ikhlas minta maafnya ya, Mas. Masa kayak lagi meledekku begitu sih?” ucapku, semakin merajuk.

“Ikhlas Sayang … ikhlas banget. Udah ya Sayang, jangan diterusin lagi. Ntar jatah malam ini jadi hilang deh.”

“Apaan sih, kamu Mas.”

Aku masih saja cemberut, namun sebenarnya sedang menahan senyuman. Ucapannya tadi membuat hatiku tergelitik.

“Iya ya? Harus pokoknya. Hehehe.”

“Kamu curang sih … aku jadi gagal ‘kan, marahnya ….”

Kucubit perutnya yang mulai ada sedikit lemak itu. Biar dia kapok sudah mengagalkan  kejengkelanku.

“Auw! Sakit Dek. Awas aja ntar. Hehehe.”

Tok, tok, tok ….

“Assalamu’alaikum!” sapa mas Lutfan saat berada di depan pintu rumah.

Gerbang depan sengaja dibiarkan tak terkunci. Namun, pintu rumah selalu saja terkunci jika dirasa sudah cukup malam. Sekitar jam Sembilan pintu rumah sudah terkunci dari dalam.

“Iya, wa’alaikumsalam.”

Seseorang yang menjawab salam terasa masih asing di telingaku. Benar saja, saat pintu dibuka Eliza-lah yang membukanya, tentu saja dia orang yang menjawab salam itu.

“Eh Bapak sama Ibu sudah pulang, silakan masuk,” sambutnya ramah.

Rasanya aneh saat orang lain yang membukakan pintu untuk kami. Biasanya ibu yang akan membukanya. Tentu saja dengan segala pertanyaan yang beliau lontarkan.

“Oh iya, terima kasih. Ibu sudah tidur ya?” tanya mas Lutfan, aku hanya mengekor saja.

“Tadi sih masih terjaga, Pak. Tapi nggak tau sekarang.”

“Oh begitu. Oh iya, Eliza. Panggil kami dengan sebutan mas sama mbak aja ya? Umur kita nggak terlalu jauh juga kok,” ucapnya kepada pembantu baru kami. “Ayo Dek.” Mas Lutfan menggandeng tanganku, pergi menuju ke dalam kamar.

Sedangkan Eliza kembali mengunci pintunya.

“Eh kalian udah pulang?”

Pertanyaan itu menghentikan langkah kami. Ya, suara itu milik ibu mertua.

“Iya ini, Bu. Baru aja sampai. Ibu kok belum tidur?” tanya mas Lutfan.

“Ini juga mau tidur, Fan. Tadi haus, mangkanya ibu keluar lagi ke dapur. Fan, dompetnya kamu taruh sesuai perintah Ibu ‘kan?”

Sebelum menjawab, mas Lutfan melihat ke arahku. Entah apa maksudnya, aku pun tak tahu.

“Kenapa? Kok lihat Salwa? Atau jangan-jangan, Salwa melarangmu?”

“Ibu … kok bicaranya gitu sih? Apa nggak boleh aku melihat istriku sendiri. Ibu ini pikirannya aneh-aneh saja sih. Dompet itu sudah kami letakan sesuai perintah Ibu kok.”

Raut wajah mas Lutfan terlihat sedikit menahan rasa jengkel.

“Oh … bagus deh kalau gitu. Kamu nggak membukanya ‘kan, Fan?”

“Sebenarnya dompet itu isinya apa sih, Bu? Kenapa aku nggak boleh lihat?”

“Udah … nggak penting apa isinya. Yang penting kamu simpan dompet itu baik-baik. Dan ingat! Jangan sampai kamu buka dompet itu.”

Selesai mengucapkan kalimat yang sedikit dibumbui dengan ancaman itu, beliau pergi meninggalkan kami ke kamarnya kembali.

“Dek, kok ibu gitu sih?” tanya mas Lutfan kepadaku.

Sedari tadi aku hanya mendengarkan percakapan mereka berdua saja. Tidak mau ikut campur. Ada mas Lutfan ini yang bisa tegas menjawab segalanya.

“Aku juga nggak tau, Mas. Yang kutau ibu itu kayak kamu, sama-sama keras kepala. Hehe.”

“Eh, eh … kok malah meledek suamimu yang tampan ini sih? Awas aja kamu ya, Dek.”

Aku sedikit berlari menuju ke dalam kamar. Namun, sekejap mataku menangkap seseorang yang sepertinya sedang mengawasi kita berdua. Tapi sudahlah, paling hanya bayanganku saja.

“Dek, tunggu aku dong ….”

Mas  Lutfan mengejarku ke dalam kamar.

“Mulai hari ini, setiap pulang dari toko kamu harus mandi ya, Dek,” ucapnya di atas pangkuanku.

Kami baru saja selesai membersihkan diri.

“Dulu aku ‘kan mandi juga, Mas. Tapi kalau malas hanya membasuhnya saja sih. Hehe.”

“Nah itu maksudku, Dek. Kamu jangan malas. Pokoknya harus rajin mandi.”

“Dingin Mas, jadinya aku malas mandi.”

Tanganku membelai mesra rambutnya yang masih basah. Sesekali memainkan hidungnya yang mancung.

“Ada aku ‘kan, yang jadi selimutmu, Dek. Hehehe.”

“Oh ya? Hehe. Ayo Mas, tidur.”

Dia mengikuti perintahku. Kini kami sudah di posisi masing-masing.

“Sayang, aku ingin menagih janjimu padaku.”

“Ih … janji apa Sayangku. Hehe.”

Tak mau berlama-lama, mas Lutfan langsung saja memulai aksinya itu. Ya, katanya aku harus memberikan jatah yang tadi pagi kujanjikan untuknya. Padahal dia sendiri yang meminta jatah itu, bukan aku yang berjanji padanya. Ya sudahlah, seorang istri harus taat dengan segala titah sang raja. Tentunya dalam segala kebaikan.

*** 

Waktu terus bergulir. Sudah seminggu Eliza membantu ibu di rumah ini. Selama itu tidak ada hal aneh yang terjadi. Ya, dia layaknya seorang pembantu yang mengerti kesopanan kepada seorang majikannya. Semoga saja tetap saja begitu.

Kebetulan hari ini adalah hari minggu. Hari dimana bisa sedikit lebih bersantai saat di rumah karena memang jadwal toko untuk libur. Apa lagi sekarang ada Eliza, pekerjaan rumah sudah tak terlalu kupikirkan. Itu ‘kan maunya ibu kepadaku.

“Liza, tolong bantu Lutfan cuci mobilnya ya? Bilang aja Ibu yang nyuruh.”

Aku mendengarnya dari dalam kamar. Hari minggu sering digunakan oleh mas Lutfan untuk mencuci mobilnya sendiri. Dia tidak mau membawa ke tempat pencucian mobil yang menurutku lebih memudahkannya. Tapi entah apa alasannya, dia inginnya mencuci sendiri. Ya, mungkin itu sudah menjadi hobby-nya.

“Ngapain Liza disuruh bantu cuci mobil sih? Ngapain kek, asalkan jangan bantu cuci mobil,” gerutuku.

Sengaja aku keluar dari kamar. Segera menyusul ke halaman depan melihat mas Lutfan mencuci mobil. Biasanya aku tak pernah melakukan hal ini. Buat apa menonton orang yang sedang mencuci mobil, lebih baik melakukan hal yang lebih bermanfaat lainnya. Tapi karena ini urgent, mau tak mau aku harus melihatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status