"Gimana, udah ada tanda-tanda hamil belum? Kira-kira mau coba pengobatan apalagi?"
Sudah sering pertanyaan itu lolos dari mulut ibu mertua Sisca. Dia selalu bertanya, 'kapan hamil?' 'udah coba pengobatan?' 'coba program kehamilan ke Dokter ini, dan itu, sudah belum?' 'mau coba pengobatan lain gak? atau pengobatan kayak temen Barta?' Sisca hanya bisa menghela napas panjang, bosan menjawab pertanyaan itu. Lebih tepatnya ... sudah tidak tahu ingin menjawab apa. Dan seperti biasa saat kedua mertua berkunjung ke rumah, dia merasa seperti sedang disudutkan. "Mama punya kenalan Dokter terbaik di Singapura. Namanya Dokter Dilla. Dia Dokter perempuan, Mama yakin Barta pasti kasih ijin." Inggrid berbisik pada Sisca, meyakinkan Dokter pilihannya adalah Dokter terbaik. Dia tahu betul anaknya pasti tidak akan mengijinkan jika Dokter Kandungan yang akan menangani Sisca, adalah Dokter laki-laki. Sebenarnya Inggrid hanya ingin melakukan yang terbaik untuk rumah tangga anaknya_Barta. Dia hanya ingin sang anak bahagia dengan hadirnya buah hati di tengah-tengah mereka. Namun, ada satu hal yang tidak diketahui oleh Inggrid, bahkan oleh semua orang. Hanya Sisca dan Barta yang mengetahui itu. Jika ada orang lain ... mungkin teman dekat dan Dokter yang menangani sang suami. "Gimana, Nak? Kamu mau 'kan mencoba program kehamilan? Atau kalau perlu, kalian ikut saja program bayi tabung." Inggrid menunggu jawaban Sisca sambil menatap menantunya yang terlihat murung. Sedari tadi Sisca hanya menundukkan kepala sambil mencuci sayur hijau di atas wastafel. Berbagai sayuran yang akan dimasak untuk makan malam satu keluarga. Hari ini setiap akhir bulan, Inggrid dan suaminya_Bramanto, mengunjungi Barta_anak laki-laki mereka, yang sudah menikah dengan Sisca selama dua tahun. Inggrid sangat menyayangi menantunya, yang dia kenal sebagai wanita baik, penurut dan juga berbakti pada suami. "Sayang .... " Inggrid merangkul pinggang wanita cantik itu, yang diam membisu. Wajah Sisca terlihat tidak bersemangat, tidak seperti biasanya. Bahkan dari berbagai pertanyaan yang terlontar tadi, tak ada satupun yang dijawab oleh mantan Kembang Desa itu. "Kamu kenapa, Nak?" tanya Inggrid, merasa bersalah sudah memberi pertanyaan yang mungkin melukai hati menantunya. "Oke, kalau kamu dan Barta belum siap punya anak. Ngga apa-apa." Wanita baya itu tersenyum, penuh pengertian. Sisca menoleh, menatap wajah ibu mertua yang tersenyum padanya. Melihat senyum itu, rasa bersalah mulai menyelimuti hati. "Maaf ya Ma, bukan aku ngga mau menjalani pengobatan atau program kehamilan. Aku cuma takut semua itu sia-sia .... " Sisca menghela napas panjang. Kening Inggrid berkerut. "Sia-sia? Kenapa Nak? Kamu ngga percaya program kehamilan itu berhasil? Atau pengobatan untuk menyuburkan kandungan itu gagal?" "Bukan Ma, tapi .... " Sisca menggantung ucapan sambil menundukkan kepala. "Kenapa?" tanya Inggrid. Kedua tangan wanita baya itu memegang pundak, memutar sedikit tubuh Sisca agar berhadap-hadapan dengannya. "Kamu kenapa, Sayang?" Wajah Sisca terlihat tertekan. Ia terus menundukkan kepala dengan helaan napas panjang berkali-kali. "Maaf Ma, aku ngga bisa cerita. Aku cuma ingin menjaga perasaan Mas Barta." Sisca memutar tubuhnya, kembali menyibukkan diri membersihkan sayuran. "Pernikahan kalian baik-baik saja 'kan?" tanya Inggrid menyelidik. Sikap Sisca yang seperti itu, membuat Inggrid berpikiran lain. "Aku dan Mas Barta baik-baik aja kok, Ma. Mas Barta itu suami yang baik banget. Aku beruntung jadi istrinya," balas Sisca. Inggrid menghela napas lega. Ia pikir Barta menyakiti menantunya. "Kalau Barta baik, kenapa kamu seperti takut menceritakan alasan Barta melarang kamu mengikuti program kehamilan?" "Mas Barta ngga melarang aku, Ma. Aku yang ngga mau mengikuti itu, karena percuma aja .... " Lagi-lagi Sisca menggantung ucapan diakhiri helaan napas panjang. Ia tidak ingin menceritakan kekurangan sang suami yang mengalami masalah pada alat reproduksi. Bagaimana dia bisa hamil, kalau selama dua tahun pernikahan, dia tidak pernah mendapatkan nafkah batin. Mereka sudah berusaha menjalani berbagai pengobatan, dari medis sampai tradisional, namun belum ada tanda-tanda Barta bisa menggunakan pusakanya untuk menjebol pe-rawan Sisca. Ya, sampai saat ini Sisca masih perawan. "Kenapa, Nak? Kok kayak ada sesuatu yang bikin kamu tertekan?" tanya Inggrid makin penasaran melihat menantunya seperti tertekan menjalani rumah tangga bersama anaknya. Sisca menghela napas kian panjang sambil memejamkan kedua mata. Mencoba mengatur emosinya agar tidak menunjukkan perasaan sedih. "Aku ngga apa-apa Ma. Aku sama sekali ngga tertekan. Aku bahagia menjalani rumah tangga bersama Mas Barta. Dia suami yang sempurna," senyum Sisca, menunjukkan kesungguhan dari ucapannya. "Kamu yakin? Kalau Barta menyakiti kamu, jangan sembunyikan itu dari Mama dan Papa. Meskipun Barta anak kami, tapi Mama ngga akan membiarkan Barta menyakiti istrinya." "Aku yakin, Ma. Mas Barta itu sangat baik. Dia suami yang sempurna," jawab Sisca.Malam ini seperti malam biasanya, Sisca sudah memasak berbagai hidangan kesukaan sang suami.Ayam goreng dan tumis buncis menjadi masakan yang wajib ada di meja makan.Meskipun Barta seorang Dokter, namun makanan kesukaannya bukan makanan sehat. Ia lebih suka makanan yang digoreng dan sayuran yang ditumis.Saat tiba di ruang makan dan melihat menu-menu di atas meja, Barta tersenyum simpul. Ia melirik istrinya lalu memeluk mesra."Makasih, By," ucapnya dibarengi kecupan lembut di pucuk kepala."Ngga usah bilang makasih terus, Mas. Udah kewajiban aku memasak buat kamu, daripada kamu lebih suka makanan di luar. Rugi di aku dong," canda Sisca.Keduanya duduk di depan meja makan, bersebelahan. Kemudian Sisca menyiapkan makanan di atas piring untuk suaminya."Kamu belajar masak dari mana, By?" tanya Barta. Matanya terus memandang kagum pada sang istri.Mereka memang sudah menikah selama dua tahun, tetapi momen kebersa
Barta terhenyak kaget mendengar ucapan Dokter Lucky soal 'Ganti Wanita?'Gila! Tidak mungkin Barta mau mengkhianati pernikahannya dengan Sisca_wanita yang dia cintai setengah mati. Bahkan dia sangat menggilai wanita itu."Anda gila, Dok!" Barta tertawa getir. Menolak keras usul Dokter Lucky yang menurutnya sudah di luar akal sehat. Lucky tersenyum kecil. Satu tangannya menarik map merah di atas meja lalu memasukan ke dalam laci."Hanya metode itu yang kemungkinan akan berhasil tanpa efek samping berbahaya. Kemungkinan taruhannya hanya jika Istri Anda tahu, dia pasti meminta cerai."Barta tersenyum kecut. "Saya tidak akan mau mencoba pengobatan seperti itu! Saya tidak akan mau mengkhianati Istri saya!"Lucky mengangguk paham. "Saya mengerti dan saya tidak akan memaksa, meskipun banyak laki-laki yang memiliki masalah seperti Anda, melakukan pengobatan seperti itu dan rata-rata berhasil. Kemungkinan berhasil jauh lebih be
Sisca menunggu balasan chat dari Dokter Lucky, namun pesannya hanya dibaca, tidak dibalas.Kesal! Sisca menghubungi nomor ponsel itu, namun tidak diangkat oleh sang Dokter. "Darimana dia tahu nomor hape aku?" gumam Sisca mengingat-ingat.Sekian menit berdiri di depan pintu rumah sambil mengingat tentang nomor ponselnya, Sisca mengingat darimana Dokter Lucky mendapatkan nomor ponselnya.Saat berbicara dengan petugas resepsionis di tempat praktek tadi, ia diminta untuk menuliskan nomor ponsel dan data diri. "Apa maksudnya ngirim chat itu?" Sisca membaca kembali pesan yang dikirim oleh Dokter Lucky.Beberapa kali ia baca, tetap saja tidak menemukan jawaban kenapa Lucky mengatakan itu.Malas meladeni kegilaan Dokter Lucky, Sisca mengabaikan pesan tersebut lalu masuk ke dalam rumah.Dring! Suara ponselnya berdering, Sisca menerima telepon itu tanpa melihat siapa yang menghubungi. "Mau
Wajah Sisca terlihat ketakutan, tapi penasaran. Ia pun menguping pembicaraan suaminya dengan Dokter Lucky."Halo. Selamat siang Dokter, ada apa menghubungi saya di jam makan siang?" tanya Barta dengan nada ramah. "Selamat siang Dokter Barta, maaf menggangu waktu makan siang Anda. Kalau boleh tahu, apa Anda punya waktu untuk menemui saya sore ini?"Barta mengangkat kedua alisnya. Pandang matanya beralih pada jam di atas dasbor mobil. Biasanya dia pulang pukul lima sore, kalau tidak lembur. Jika hari ini dia diminta lembur, kemungkinan jam pulangnya lebih malam."Bagaimana Dok? Bisa?" tanya Dokter Lucky, menunggu jawaban. "Hmm, kalau sore sekitar jam berapa ya Dok?" tanya Barta. Seingatnya, praktek Dokter Lucky tutup jam lima sore. "Jam empat, atau jam lima pas, bisa Dok?" Barta menggaruk alis yang tidak gatal. "Kalau jam empat saya tidak bisa Dokter. Kalau jam lima pas juga sepertinya tidak bisa karena saya pulang sekitar jam lima sore.""Oh begitu, oke .... ""Maaf sebelumnya, Do
Selesai marah-marah di tempat praktek Dokter Lucky. Sisca melanjutkan perjalanan menggunakan mobil hadiah sang suami, menuju rumah sakit.Selama dua tahun menikah, entah barang apa yang tidak dibelikan oleh Barta untuk hadiah anniversary dan ulang tahun. Semua Sisca dapatkan, meskipun harganya tidak semahal barang-barang milik Istri Pejabat. Namun, mendapatkan apresiasi seperti itu sudah cukup membuat Sisca merasa beruntung memiliki suami sebaik Barta. Dari semua kelebihan Barta, hanya satu kekurangan lelaki tampan itu, penyakit reproduksi."Mas, aku udah ada di parkiran. Aku bawa makan siang untuk kamu," ucap Sisca di dalam telepon."Makasih By, aku jemput kamu di parkiran ya. Jangan turun dari mobil dulu. Cuaca hari ini panas, nanti kulit kamu rusak.""Apaan sih Mas! Lebay banget. Kamu lupa ya kalau aku ini cuma gadis Desa yang kebetulan dinikahin sama Dokter dari Kota? Jangan berlebihan deh, biasanya di kampung, jam segini tuh aku nyuci baju di sungai."Barta terkekeh pelan. "Itu
"Bagaimana, Bu Sisca? Apa Anda yakin ingin melaporkan saya ke Polisi dengan tuduhan tanpa bukti seperti itu? Saya tunggu laporan Anda," tantang Dokter Lucky sambil tersenyum kecil. Ia menatap wajah Sisca yang pucat. Wanita itu hanya diam, kehabisan kata-kata mendengar tantangan sang Dokter.Bukan Lucky yang takut, justru malah sebaliknya ... nyali Sisca menciut.Dokter Lucky menghela napas panjang, masih menyunggingkan senyuman manis dengan kedua tangan bertumpu di atas meja sambil menopang dagunya.Ia menatap Sisca tanpa berkedip. Entah mengapa, semakin ditatap wajah Sisca terlihat semakin cantik dan memesona. Beruntung laki-laki seperti Barta memiliki istri spek bidadari seperti Sisca, pikir Lucky."Saya hanya menjalankan tugas saya sebagai Dokter. Tidak ada yang salah dengan hal itu," lanjut Lucky.Wanita yang terus ditatap Dokter tampan itu, menarik napas panjang. Sadar apa yang dilakukan akan menjadi bumerang untuk rumah tangganya.Kalau dia menuruti ego, bukan tidak mungkin Ba