Adzan magrib telah berkumandang, segera kubersihkan diri di bawah kucuran air shower yang hangat. Setelah mandi, rasa penat di pikiranku mulai berkurang. Pun sudah terasa tenang, meskipun amarah di dada ini masih belum sepenuhnya reda dan masih berkobar untuk Mas Ezran.
Kuambil juga wudu sebelum keluar kamar mandi dan langsung kukenakan baju di ruangan khusus kamar ini. Tempat pakaian serta aksesoris milikku dan Mas Ezran berada. Barulah aku keluar dan meminta Mas Ezran untuk mengambil wudu.“Kamu ambil wudu dulu, Mas. Kita salat berjamaah seperti biasa,” ujarku dengan nada dingin melintasi tubuhnya begitu saja. Lalu, keluar dari kamar dan berjalan ke arah Musala di rumah kami. Kulihat Laras sudah duduk di sana dan tersenyum saat aku datang.Dulu, kebersamaan inilah yang sering membuatku terharu. Merasa telah dilimpahkan keluarga sempurna yang bahagia dan harmonis. Namun, tidak untuk sekarang. Entah mengapa ketika melihat suamiku menjadi imam, tak ada perasaan membuncah seperti biasanya. Hanya rasa hampa dan kosong di sudut menyelimuti seluruh rongga hatiku.Secepat inikah cinta itu pergi? Semenjak kutahu Mas Ezran berselingkuh, cintaku untuknya sedikit memudar. Hanya perih dan sakit yang bersamaan kurasa kini.Berkali-kali kuseka air mataku saat memanjatkan doa dengan khusyuk, selepas salat berjamaah dan Mas Ezran masuk ke kamar lebih dahulu, membuat Laras yang ada di sampingku memiringkan kepalanya.“Mama kenapa nangis?” tanya putriku. Ah, kenapa aku sekarang lebih melow begini? Bagaimana jika Laras curiga kalau aku dan Mas Ezran sedang ada masalah?Setelah menyelesaikan doaku. Diri ini melirik Laras dan tersenyum manis padanya. Mencoba menutupi masalahku.“Tidak, Sayang. Mama baik-baik saja,” jawabku sambil mengusap kepala Laras, putri manisku yang teramat aku sayangi.“Terus kenapa Mama nangis saat berdoa?”“Mama hanya teringat dengan nenek dan kakek. Sudah lama sekali kita belum ziarah ke makamnya. Gimana kalau pekan nanti kita ke makam mereka?” ajakku dan langsung dibalas anggukan oleh Laras.Benar, selain kesedihanku ulah sang suami, aku pun teringat dengan nasihat Papa sebelum diri ini memutuskan menikah dengan Mas Ezran.“Papa enggak akan melarangmu menikah. Hanya saja, apa kamu yakin dengan keputusanmu ini? Menikahlah dengan niat ibadah dan semata-mata karena Allah. Ingin mencari ridhanya bukan karena nafsu belaka.” Itulah salah satu nasehat dari Papa selama masih hidup. Sebab, Mas Ezran dulu tidak seperti sekarang.Dia terkenal urakan dan suka sekali mabuk-mabukan. Meski dirinya salah satu putra keluarga kaya di kota ini, tetapi Papa terlihat kurang suka terhadap Mas Ezran. Menurut Mas Egi, suamiku dulu badboy, sehingga setiap hari ada saja kenakalan yang dia buat.Namun, setelah mengejar-ngejarku, Mas Ezran mau merubah sikap dan kebiasaannya. Itu yang membuatku mantap untuk bersedia menjadi istrinya. Namun, tidak dengan kedua orang tuaku yang telah mengetahui kelakuan Mas Ezran dari awal. Perlu waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan mereka agar merestui kami menikah.Teringat masa lalu, diri ini seolah tertampar. Dulu, aku dan Mas Ezran menikah karena rasa saling cinta dan nafsu semata, bukan karena ibadah. Apa ini teguran dari Allah?Benar!Mungkin dari awal, niat kami menikah saja salah, sehingga Allah menegurku sekarang dan menghadirkan rasa ketertarikan untuk wanita lain di hati Mas Ezran.Aku sungguh-sungguh merasa berdosa. Tak terasa mengingat itu semua cairan hangat mengalir dengan deras membanjiri pipi.**Malam begitu hening, hanya ada jam dinding yang berdetak terdengar dari kamar ini. Tempat di mana aku dan Mas Ezran saling terdiam sedari tadi. Setelah aku mengundur-undur waktu untuk mengobrol dengan suamiku tadi sesuai permintaannya. Akhirnya, aku sama sekali tidak dapat mengelak lagi kini.Dan di sinilah aku berada, duduk di pinggir ranjang, dengan Mas Ezran berada di sampingku. Ia terus menatapku dan terlihat kikuk. Sedangkan, aku hanya melengoskan wajah ke arah lain. Tidak ingin terlihat sedikit pun kesedihan yang ada tampak di wajah ini.“Mas ingin melanjutkan obrolan kita yang tadi siang sempat tertunda, Ras. Maaf, kalau secara tidak sengaja membuatmu terluka. Tapi ...,”“Apa Mas mencintainya? Sejak kapan?” potongku cepat. Tak ingin berputar-putar. Dan memangnya untuk apa permintaan maaf Mas Ezran. Toh dia sudah mencabik-cabik perasaanku karena ulahnya.“Maafkan aku ....”“Aku tanya sekali lagi. Kapan Mas memiliki hubungan dengan Sinta? Dia sahabatku, Mas. Kenapa kalian tega sekali padaku?” cecarku membuatnya seketika terlihat menghela napas dalam.“Semenjak Mas ketemu sama dia di restoran jepang langganan kita tiga bulan yang lalu, itu pertama kali kami makan bersama.”Aku terbelalak, bukankah itu hari di mana aku tak datang makan malam romantis dengan Mas Ezran karena Laras tiba-tiba demam tinggi?“Tega kamu, Mas!”7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
“Bukannya Ezran mau minta rujuk sama kamu?” cetus Mas Egi dengan nada suara yang seperti kesal.Hah? Dari mana Mas Egi tahu niat sebenarnya mantan suamiku tadi datang? Atau ini hanya kebetulan saja?“Dari mana Mas Egi tahu?”Aku terhenyak mendengarkan ucapan dari Mas Egi. Penasaran bagaimana dia bisa tahu maksud Mas Ezran databg ke sini? Padahal, jelas-jelas tak ada dia saat mantan suamiku itu meminta rujuk tadi.“Tebakan saja. Lagi pula, kami ini sama-sama laki-laki, jadi bisa tahu apa yang ada di pikirannya,” ujarnya sambil menyalakan mobil dan fokus ke depan.“Hmmm ... tapi ... aku tak mungkin kembali lagi padanya.” Mas Egi menoleh, alisnya menukik tajam.“Kenapa? Bukannya kamu masih mencintainya? Aku takkan menghalangimu, kamu masih bisa memikirkan segalanya sebelum pernikahan kita terjadi dan semuanya terlambat,” ketusnya.“Maksud Mas Egi ini apa? Aku memang sudah memaafkannya, tetapi untuk kembali kepada Mas Ezran itu mustahil. Aku sama sekali sudah tak merasakan apa pun untuk
“Diminum dulu, Mas, tehnya,” ucapku demi mengurai ketegangan yang ada.Mas Ezran mengangguk, kemudian meneguk teh hangat yang dihidangkan Kiki tadi. Menyesap kemudian meminumnya beberapa tegukan.“Jadi, berita rencana pernikahan kalian yang kudengar beberapa hari yang lalu di kantor polisi itu benar? Maaf, aku tak sengaja mendengar obrolan bawahan Mas Egi di sana saat menanyakan kasus Sinta.”“Iya, Mas. Aku dan Mas Egi memang memutuskan untuk menikah. Kami berdua sudah mendaftarkan surat-surat izin sebagai persyaratan. Hari ini, Mas Egi dan aku akan menghadiri sidang BP4R untuk mendapatkan pemberian izin nikah dari atasan Mas Egi,” jelasku.“Apa kamu yakin untuk menikah dengannya?” tanya Mas Ezran tiba-tiba. Membuatku sontak memandang heran.“Maksud Mas Ezran apa?” “Apa tak ada kesempatan kita ... untuk kembali lagi, Ras?” Akhirnya, aku tahu maksud pertanyaan Mas Ezran. Dia ingin memintaku untuk rujuk dan kembali berumah tangga kembali dengannya.Jujur, setelah semua yang telah terj
“Nyonya. Ada Pak Ezran datang,” panggil Kiki ketika aku tengah merias diri karena habis mandi.“Suruh masuk, Ki. Sebentar lagi aku ke sana. Oh iya, Bi. Laras masih belum berangkat, kan?”“Belum nyonya. Non Laras masih nunggu temannya di teras,” jelas Kiki. Pasalnya, putriku itu akan pergi bersama Alisa untuk kerja kelompok. Untuk Mas Ezran, aku tak tahu ada perlu apa dia datang ke rumah ini hendak menemuiku. Mungkin saja, ada kepentingan tentang Laras yang mendesak sehingga harus mengobrol denganku. Biasanya, mantan suamiku itu hanya mampir ke rumah untuk menemui Laras saja. Itu pun tak lama, mampir sebentar lalu Mas Ezran dan putriku akan pergi keluar bersama-sama. Mungkin saja menghabiskan waktu berdua yang jarang dilakukan karena kesibukan mantan suamiku itu.Tak seperti biasanya, seminggu bisa meluangkan waktu dua kali untuk bertemu dengan Laras, sekarang dia hanya datang dua minggu sekali. Lalu, sekarang Mas Ezran berniat menemuiku? Sebenarnya ada apa?“Ya sudah, Ki. Sebentar