“Kenapa enggak minta izin dulu sama aku kalau mau ke rumah Tante Ambar? Untung saja aku ingat untuk mencari kalian ke sana,” hardik Mas Ezran ketika baru saja masuk ke dalam kamar.
Kami baru saja sampai ke rumah. Setelah tadi berpamitan untuk pulang karena Mas Ezran menyusulku ke sana. Aku tidak ingin terjadi keributan di rumah orang. Apalagi, ini masalahku dengan suamiku. Aku tidak ingin ada yang melihat perdebatan kami, terutama Laras.“Ingat kata Tante, Ras. Bicaralah dengan suamimu baik-baik. Carilah solusi untuk kalian berdua. Lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah dan berdoalah agar kamu bisa melewati ujian ini dengan ikhlas. Satu lagi, banyak-banyak beristigfar,” sarannya ketika aku berpamitan sebelum pulang di saat kami saling berpelukan.Aku berusaha meredam kegetiran di dalam hati dan jiwa ini. Kata-kata Tante Ambar masih terngiang di benakku. Kali ini, aku harus tenang menghadapi semuanya.Aku hanya melewati tubuh Mas Ezran, lalu mengambil handuk dan berjalan ke arah kamar mandi. Tak dihiraukan perkataan suamiku sama sekali. Aku lelah. Bahkan, bukan hanya fisik, tetapi juga batinku. Mungkin dengan menyegarkan tubuh di bawah air shower akan membuat pikiran ini terasa lebih dingin.“Sayang, Mas sedang bertanya. Jangan pernah mengacuhkanku seperti ini,” hardiknya langsung meraih pergelangan tanganku, membuat langkah ini langsung terhenti.Aku tahu sifat suamiku ini. Dia memang tidak suka kalau diacuhkan. Inginnya aku harus siap sedia mendengarkan segala perkataan yang terlontar dari mulutnya sampai selesai.“Sudahlah, Mas. Aku lelah dan ingin segera mandi. Bahkan, badan ini saja sudah lengket. Lagi pula, sebentar lagi adzan Maghrib. Jadi, aku harus segera membersihkan diri dan mengambil wudhu,” jawabku dengan nada setengah malas.Semenjak memergokinya berselingkuh, sepertinya sikapku padanya mulai berubah. Jujur, hatiku masih memberontak tak terima ada wanita lain di antara kami dan masuk begitu saja dalam rumah tanggaku dan Mas Ezran.“Tapi, setelah kamu selesai mandi dan salat, kita bicara berdua. Ada sesuatu yang harus kita obrolkan. Itu hal penting,” dahiku mengernyit dengan alis terangkat mendengar ucapan Mas Erzan. Apa yang akan suamiku bicarakan? Kutebak kalau ini mengenai hubungannya dengan Sinta. Apa lagi kalau bukan rencana menikahi wanita itu.Tak kuhiraukan perkataan Mas Ezran, dengan acuh kutinggalkan suamiku dan masuk ke kamar mandi. Merebahkan diri ke dalam bathtub yang sebelumnya telah kuisi air hangat dan sabun aroma terapi. Aku butuh ketenangan, mungkin dengan menghirup wangi sabun yang kusukai ini, tubuh dan otakku akan relaks. Seperempat jam lagi waktu magrib tiba, aku masih ada waktu sebentar untuk sekedar memanjakan diri.Ya, meskipun umurku telah memasuki usia tiga puluh delapan tahun, tetapi aku masih bisa berbangga diri. Kulit ini masih terlihat mulus dan kencang. Bahkan, tak jarang ketika disandingkan dengan Laras putriku. Semua orang bilang kami seperti adik kakak saja. Bolehkah aku berbangga diri?Tentu saja seperti itu. Namun, entah apa yang membuat Mas Ezran bisa berpaling dariku dan tertarik juga dengan wanita lain di luar sana. Padahal, selama ini aku selalu berusaha menjadi istri yang membanggakan untuknya, serta bisa mengurus dia dengan penuh kasih sayang. Bagiku bakti terhadap suami lebih segalanya setelah kedua orang tuaku.Kuturuti selera Mas Ezran yang suka memiliki istri terurus dan cantik. Bahkan, setelah usaha kami berkembang pesat, tak pernah absen untuk merawat diri hanya untuk membuatnya bahagia, pun selalu berusaha untuk memuaskan nafkah batin suamiku. Fisik ini kurawat hanya untuk Mas Ezran, dan dia seorang yang dapat melihatnya ketika kami hanya berdua. Sebab jika bertemu dengan orang luar penampilanku bisa dibilang tertutup.7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
“Bukannya Ezran mau minta rujuk sama kamu?” cetus Mas Egi dengan nada suara yang seperti kesal.Hah? Dari mana Mas Egi tahu niat sebenarnya mantan suamiku tadi datang? Atau ini hanya kebetulan saja?“Dari mana Mas Egi tahu?”Aku terhenyak mendengarkan ucapan dari Mas Egi. Penasaran bagaimana dia bisa tahu maksud Mas Ezran databg ke sini? Padahal, jelas-jelas tak ada dia saat mantan suamiku itu meminta rujuk tadi.“Tebakan saja. Lagi pula, kami ini sama-sama laki-laki, jadi bisa tahu apa yang ada di pikirannya,” ujarnya sambil menyalakan mobil dan fokus ke depan.“Hmmm ... tapi ... aku tak mungkin kembali lagi padanya.” Mas Egi menoleh, alisnya menukik tajam.“Kenapa? Bukannya kamu masih mencintainya? Aku takkan menghalangimu, kamu masih bisa memikirkan segalanya sebelum pernikahan kita terjadi dan semuanya terlambat,” ketusnya.“Maksud Mas Egi ini apa? Aku memang sudah memaafkannya, tetapi untuk kembali kepada Mas Ezran itu mustahil. Aku sama sekali sudah tak merasakan apa pun untuk
“Diminum dulu, Mas, tehnya,” ucapku demi mengurai ketegangan yang ada.Mas Ezran mengangguk, kemudian meneguk teh hangat yang dihidangkan Kiki tadi. Menyesap kemudian meminumnya beberapa tegukan.“Jadi, berita rencana pernikahan kalian yang kudengar beberapa hari yang lalu di kantor polisi itu benar? Maaf, aku tak sengaja mendengar obrolan bawahan Mas Egi di sana saat menanyakan kasus Sinta.”“Iya, Mas. Aku dan Mas Egi memang memutuskan untuk menikah. Kami berdua sudah mendaftarkan surat-surat izin sebagai persyaratan. Hari ini, Mas Egi dan aku akan menghadiri sidang BP4R untuk mendapatkan pemberian izin nikah dari atasan Mas Egi,” jelasku.“Apa kamu yakin untuk menikah dengannya?” tanya Mas Ezran tiba-tiba. Membuatku sontak memandang heran.“Maksud Mas Ezran apa?” “Apa tak ada kesempatan kita ... untuk kembali lagi, Ras?” Akhirnya, aku tahu maksud pertanyaan Mas Ezran. Dia ingin memintaku untuk rujuk dan kembali berumah tangga kembali dengannya.Jujur, setelah semua yang telah terj
“Nyonya. Ada Pak Ezran datang,” panggil Kiki ketika aku tengah merias diri karena habis mandi.“Suruh masuk, Ki. Sebentar lagi aku ke sana. Oh iya, Bi. Laras masih belum berangkat, kan?”“Belum nyonya. Non Laras masih nunggu temannya di teras,” jelas Kiki. Pasalnya, putriku itu akan pergi bersama Alisa untuk kerja kelompok. Untuk Mas Ezran, aku tak tahu ada perlu apa dia datang ke rumah ini hendak menemuiku. Mungkin saja, ada kepentingan tentang Laras yang mendesak sehingga harus mengobrol denganku. Biasanya, mantan suamiku itu hanya mampir ke rumah untuk menemui Laras saja. Itu pun tak lama, mampir sebentar lalu Mas Ezran dan putriku akan pergi keluar bersama-sama. Mungkin saja menghabiskan waktu berdua yang jarang dilakukan karena kesibukan mantan suamiku itu.Tak seperti biasanya, seminggu bisa meluangkan waktu dua kali untuk bertemu dengan Laras, sekarang dia hanya datang dua minggu sekali. Lalu, sekarang Mas Ezran berniat menemuiku? Sebenarnya ada apa?“Ya sudah, Ki. Sebentar