"Teruslah berpikir aku tidak tahu apa-apa, Fernando! Sebelum ku tendang kau ke pojok kehidupan!" Hati Melani menggeram.
"Tadi Papa ditelepon sama atasan dari perusahaan. Katanya besok papa harus kembali pergi keluar kota. Tapi sebelumnya Papa udah minta izin untuk tidak terburu-buru sebab ingin menemani kamu untuk mencabut laporan hilangnya Papa kemarin. Kan kalau laporannya nggak dicabut, Papa malu jadinya." Melanie manggut-manggut, menahan gejolak amarah yang hampir saja mendidih. Ia tahu Fernando lagi-lagi sedang berbohong. "Oh gitu, jadi besok Papa akan pergi lagi? Berapa banyak sih tugas yang diberikan sama atasan Papa? Sampai segitunya pergi beberapa hari?" Fernando memperbaiki posisi duduknya. "Mama sayang, kamu harus mengerti. Habis ini Papa akan mendapatkan bonus yang besar, tapi tunggu bulan depan. Memang kan kalau pengen penghasilan gede, kita harus rela berkorban termasuk kamu rela mengorbankan waktu Papa untuk pekerjaan." "Ya, terus?" "Besok lusa kita menarik laporanmu ke kantor pihak berwajib, kemungkinan besar setelahnya Papa harus langsung pergi. Tolong kamu siapkan barang-barang papa ya! Soalnya kali ini Papa agak lama. Pokoknya kamu jangan khawatir. Papa tidak akan kenapa-napa. Anggap saja papa sedang berjuang untuk masa depan keluarga kita." "Seberapa lamanya waktu yang akan di habiskan untuk keluar kota kali ini, Pa?" Uhuk... Uhuk... Fernando terbatuk kecil. Tangannya meraih dan mereguk air putih yang ada di hadapannya. Setelah usai, barulah ia kembali angkat bicara. "Begini Mah, mungkin Papa akan menghabiskan waktu yang lebih lama daripada biasanya. Tepatnya Papa tidak bisa menjelaskan secara detil berapa hari. Pokoknya kamu tidak usah banyak menghawatirkan. Tenang, uang bulanan akan tetap papa kasih. Kamu cukup di rumah saja dan mengasuh Arka. Urusan perekonomian biar Papa yang mengatur." "Mama bisa rasakan sendiri selama ini meskipun Papa sering tidak berada di rumah, tapi keadaan ekonomi kita tetap stabil bukan?" Lanjut Fernando menatap Melanie. Melanie mengangguk kecil. Anggukan Melanie bukan berarti Melanie membenarkan ucapan Fernando, melainkan hanya sebuah cara untuk memuluskan rencana yang akan ia persiapkan. "Iya benar. Papa memang suami dan ayah yang baik." Jawab Melanie menyunggingkan senyum. "Oleh karena itu jadilah istri dan ibu yang baik untuk anak kita, Ma. Biarkan Papa yang memperjuangkan ekonomi agar lebih baik." Dalam hati Melanie hanya tertawa dengan ucapan-ucapan penuh sandiwara dari mulut Fernando, "Kau mainkan kebohongan atas pengkhianatanmu, ku siapkan sebuah sketsa buruk atas kehidupanmu bersama simpananmu." "Sekarang Mama tidurlah. Agar besok tidak kesiangan." Dari dari tadi Fernando selalu menganjurkan agar Melania tidur dengan cepat. Melanie tahu tentu saja maksudnya adalah agar ia bisa telponan atau chattingan secara bebas sana Anggia, selingkuhannya. "Papa bagaimana? Pengen tidur sekarang atau?" Tanya Melanie. "Papa nanti saja tidurnya, masih ada yang ingin Papa urus." "Oh baiklah kalau begitu, Mama ke kamar dulu." Fernando mengangguk mengiakan. Tidak mau memperpanjang percakapan, Melanie beranjak ke tempat tidur. Di kamar terlihat Arka sudah tertidur lelap, Melanie memandang wajah imut Arka. Bocah yang belum tahu apa-apa soal orang tuanya. "Bahkan sepertinya Fernando tidak merindukan Arka. Pikirannya sudah terobsesi oleh Anggia. Apa yang harus kulakukan sekarang?" Melanie menopang dagu dengan sebelah tangan. "Oh ya, aku ingat aku masih mau punya sebuah benda yang bisa kugunakan untuk mengetahui sepak terjang mereka." Melanie mengambil sesuatu dari laci mejanya. Sebuah alat penyadap suara dan pengambil gambar. Sebelumnya itu adalah kepunyaan adiknya yang berkunjung beberapa waktu yang lalu, alat itu sengaja di beli untuk keperluan mata kuliahnya. "Untungnya alat ini tertinggal, beruntung juga kemarin aku minta diajari cara menggunakannya" Melanie memain-mainkan benda tersebut. Melanie bergegas kembali ke ruang keluarga di mana Fernando berada. "Ada apa, Ma? Kok balik lagi?" Tanya Fernando seakan tak suka. "Maaf kalau mengganggu. Mama ingin cari ikat rambut Mama. Mama rasa jatuh di sini, di sekitaran sofa." "Tapi kan ikat rambut mamah banyak bukan cuma satu." "Iya benar tapi besok kan kita harus cepat dan mama cuman nyaman pakai ikat rambut yang satu itu," ujar Melanie. "Kalau begitu cari aja. Cepat dikit ya kasihan Arka tidur sendirian di kamar." "Ya, Pa." Melanie terlihat sibuk di sekitaran kursi. "Diam dulu, Pa," Melanie tiba-tiba menunjukkan telunjuknya ke bibir. "Apa, Ma?" Fernando heran. "Kayaknya ada suara di dapur deh, kayak suara tikus gitu. Tolong Papa liatin. Mama mau cari ikat rambut dulu." "Apa-apaan sih Mama? Papa nggak dengar suara apa-apa deh." "Lihat aja dulu! Papa mau apa makanan atau tudung nasi kita diporak-porandakan sama tikus?" "Iya iya." Dengan malas Fernando melangkah ke dapur. Tidak lupa benda pipih tetap melekat pada tangannya. "Yup, ini waktunya." Dengan cepat, Melanie mengeluarkan benda kecil tadi, lalu memposisikannya di tempat yang tepat dan tersembunyi. "Beres." Melanie lega. Setelah selesai Melani kembali menuju ke kamar. "Udah dapat Ma, ikat rambutnya?" "Udah Pa. Gimana tikusnya ada beneran nggak?" "Mama salah dengar tuh, nggak ada apa-apa di dapur." "Oh ya kalau begitu Mama mau tidur dulu dah." Fernando menggangguk.*** Jam telah menunjukan pukul 02.30 menjelang dini hari, Melanie menoleh ke samping. Tidak ia temukan keberadaan Fernando di sana. "Ternyata belum tidur juga tuh orang." Gumam Melanie. Melanie bangun dari tempat tidur, ia melangkahkan kaki menuju ke ruang keluarga. Di sofa ruang keluarga terlihat Fernando tertidur pulas di sofa. Ponsel yang masih di tangan. Dengan pelan dan berhati-hati, Melanie meraih ponsel tersebut. Sialnya, ponsel Fernando terkunci."Ketahuan kalo nyimpen rahasia! Ponsel pake di gembok segala. Padahal sebelumnya tidak pernah." gerutu melanie pelan.
Melani cobae mendekatkan layar ponsel ke wajah Fernando.
Clink... Ponsel itu terbuka. Tak terlalu susah rupanya. Pengkhianat yang kurang berhati-hati. Pertama kali, Melanie membuka aplikasi pesan."Astaga!"
Mata Melanie terbelalak melihat sebuah dari sebuah nomor kontak yang bernama "Mamah Muda" [Mas, udah aman belum? telpon aku dong!] [Iya, iya sayang. Bentar.] Balas Fernando. Tentu saja Melanie tidak tahu apa yang mereka bicarakan lewat telpon. Rasa penasaran menyeruak di hatinya.Yapi untuk sementara rasa penasaran itu di singkirkan oleh Melani. Ada hal yang lebih penting yang harus Melani lakukan sekarang. Selagi ada kesempatan dengan cepat, melalui sebuah aplikasi khusus, Melanie mengambil ponselnya dan menyadap ponsel Fernando.
"Akan kuselidiki sepak terjang kalian bedebah." Bisik Melani dalam hati. Setelah usai, Melanie mengambil penyadap suara sekaligus mengambil gambar yang tadi ia selipkan di tempat tersembunyi. Di kamarnya, Melanie bersiap-siap untuk mendengar sebuah kemungkinan yang menjadi kejutan untuknya. Terlebih dahulu Melanie mengunci pintu kamar, untuk menjaga keadaan aman."Whatt? Apa ini?"
Kali ini Melanie dibuat lebih terbelalak lagi dengan isi percakapan di rekaman tersebut, [Mas, besok jangan lama-lama ya! Aku tunggu di rumah. Ibu nanyain kamu terus, Mas. Katanya ingin beli cincin buat lamaran nanti?] [Iya sayang tunggu aja. Nggak terlalu sore Mas pasti datang. Ini di rumah lagi menyusun situasi. pertama Mas harus meyakinkan Melanie, satu lagi Mas juga harus mengajaknya untuk mencabut dulu laporan hilang kemarin.] [Iya, Mas. Aku bisa maklum. Tapi mas itu nggak usah lama-lama deh kalau pulang sama Melani. Ntar Mas lupa sama aku. Bisa-bisa Mas nggak cinta sama aku lagi] [Tidak mungkinlah Mas lupa sama kamu. Kalau mas gak cinta sama kamu,nggak mungkin mas mau jadiin kamu istri.] Dughh... Jantung Melanie kembali berdegup kencang. "Berarti benar tidak lama lagi Fernando akan menikahi Anggia. Ya Rabb! Kurang ajar? Persiapan harus ku lakukan sekarang, lebih cepat lebih baik." Melanie menggeram.Bersambung....Chapter 26 "Bu, aku berangkat dulu," Pamit Fernando. "Ya, semoga lekas mendapatkan pekerjaan yang layak, Nak!" Bu Risa berucap dengan hati mengharap. "Amin, doain ajah, Bu. Aku sudah bosan mencari pekerjaan via online. Tidak pernah diterima. Mending kucari secara langsung saja" Fernando segera meraih tas hitam berisi beberapa berkas penting sebagai persyaratan untuk melamar kerja. Mobil Fernando melaju meninggalkan rumah. "Tidak kusangka hidupku akan berubah dalam waktu yang lebih cepat. Fernando, tenangkan hatimu. Kamu pasti akan mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Dasar itu si Pak Surya, kesombongannya keterlaluan," Sepanjang perjalanan Fernando menggerutu. Setelah beberapa saat, Fernando mengarahkan mobilnya ke dalam suatu area perkantoran perusahaan yang bergerak di bidang industri pangan. "Maaf Pak, ada maksud apa kemari ya?" Tanya satpam yang berjaga. "Kelihatannya Bapak bukan pegawai di sini?" Lanjut satp
Chapter 25 "Bagaimana Fernando? Apakah kau masih diterima di perusahaan itu?" Tanya Bu Risa. "Fernando akan cari pekerjaan di tempat lain aja Bu." Jawab Fernando. "Lhoo...? kok gitu?" Bu Risa mengernyitkan dahi. "Ya gitu aja Bu. Udah ah Fernando capek," Fernando melangkah ke tempat peristirahatan. tanpa mengganti pakaian kerja atau mandi terlebih dahulu, Fernando menghempaskan tubuhnya ke sofa. Terpuruk dalam pandangan yang menatap jauh ke luar jendela, dengan lamunan yang melanglang buana. Ditengah lamunannya. Bayangan Melanie kembali datang menyelip ke sela-sela hatinya. "Mengapa Melanie terlihat begitu cantik? Mengapa dulu tatkala ia masih bersamaku ia terlihat begitu lusuh? Setan apa yang menguasaiku sehingga kembali mengingat sosok Melanie?"*** Dari toilet, Melanie berjalan linglung. Kedua tangannya berpegangan pada dinding. Pemandangan itu membuat suaminya khawatir. "Kenapa, Ma?" Lelaki yang telah berpakaian rapi dengan paka
Chapter 24 Fernando berlalu dari tempat pusat perbelanjaan itu dengan muka bersemu merah. Tapi ia masih merasa patut untuk bersyukur, untung tidak dijerat tuntutan hukum atas tindakan sembrononya tadi. Cuma sebatas diberi peringatan saja. "Rupanya Melanie sudah menikah? Ah lelaki yang tadi itu? Mengapa justru dia lebih tampan? Atau mereka hanya berpura-purasaja? Hanya ingin membuat hatiku panas?" tebak Fernando. Sebenarnya Fernando menuai rasa malu yang begitu besar akibat pertemuan dengan Melanie dan suami barunya yang sama sekali tidak terduga-duga. Ada rasa rendah diri, ada rasa kalah, ada juga rasa minder pada kenyataan itu. Namun, untuk mengakuinya secara langsung, rasa gengsilah yang menyiksa. Masih terbayang dengan amat jelas sosok lelaki yang merupakan suami Melanie tadi. Postur tubuh yang bahkan lebih dari cukup untuk bisa dikatakan tampan dan gagah. Ditambah lagi dengan penampilan yang bisa dipastikan jika laki-laki itu cukup mapan. Semu
Chapter 23 "Ini pasti ada sesuatu yang tidak beres," "Apa ada seseorang yang menyebar fitnah? Tapi siapa?" Fernando tidak habis pikir. "Ah sepertinya aku harus datang langsung ke kantor untuk mengecek video apa yang dimaksud mereka?" Fernando memasukkan ponsel ke dalam tas yang biasa menemaninya ke mana-mana. "Mau ke mana lagi kamu?" Tanya Bu Risa. "Mau ke kantor." Jawab Fernando pendek. "Apa kamu sudah diterima bekerja kembali di sana?" "Entahlah." "Lhaa, kalau kamu masih belum tahu kenapa pergi ke kantor jam segini?" Fernando mulai geram dengan banyaknya rentetan pertanyaan dari mulut sang ibu. "Datang ke sana untuk bertanya Bu, kalau aku cuma diam dirumah saja mana tahu aku. Ah ibu terlalu cerewet. Bosan aku mendengarnya." Fernando menggerutu. Bu Risa geleng-geleng kepala melihat aksi Fernando. Mobil yang dikendarai oleh Fernando meluncur menuju ke perusahaan dimana selama ini ia bekerja. Di tengah perjalanan, Fer
"Aku ingin melihat dengan jelas jikalau rumah ini memang telah berubah kepemilikan menjadi milik Bapak," ucap Fernando. "Ya oke, tidak masalah. Tunggu di sini sebentar." Laki-laki itu beranjak dari duduknya. Sepeninggal laki-laki itu terlihat Topan dan istrinya memandang tak suka kepada Fernando. "Kamu bagaimana, Fer? mau menipu atau ingin mempermainkan kami? Kok tiba-tiba masalahnya jadi ribet kayak gini?" Topan kesal. "Iya Mas. Kita udah lama nunggu. Udah capek-capek juga datang ke sini eh tahu-tahunya rumah yang jadi tujuan nggak jelas," timpal Mona. "Maaf, ini pasti cuma salah paham. Tidak mungkin Melanie berani menjual rumah ini tanpa sepengetahuanku." Ujar Fernando menenangkan. Tidak lama kemudian lelaki tadi kembali datang dengan menenteng map di tangannya. "Ini Pak, Bapak boleh lihat sertifikat asli rumah ini." Lelaki tersebut membuka map dan menyodorkan sebuah sertifikat yang jelas-jelas saja membuat Fernando terkejut. "Ya amp
Fernando sejenak mengabaikan pertanyaan Topan. Perhatiannya hanya terpaut pada lelaki asing yang kini ada di rumah itu. "Anda siapa, Pak?" Tanya Fernando. "Maaf sebelumnya, sepatutnya aku yang bertanya Anda yang siapa?" "Aku pemilik rumah ini? Lalu bapak ini?" Fernando menaikkan dagu. "Aku pindah sejak beberapa bulan yang lalu. Dan tentu saja aku pemilik baru di sini," Jawab laki-laki tersebut. "Apa iya? Tidak usah bicara ngawur! Sama siapa Bapak mendapatkan hak milik. Toh pemilik sah rumah ini adalah aku," timpal Fernando, "Hahaa... Sepertinya obrolan kamu agak kurang nyambung. Kok bisa mengaku-ngaku jadi pemilik rumah ini?" Lelaki asing tersebut nampak terkekeh lucu. Fernando mendadak merasa di rendahkan dengan ucapan lelaki yang sama sekali belum ia kenal tersebut. "Ngomong apa Anda ini? Atau bapak yang mengalami gangguan jiwa?" Balas Fernando. Mukanya mulai merah padam. Rupanya sifat mudah marah masih begitu melekat pada sosok Fer