Seorang penipu sudah seharusnya dibalas dengan tipuan yang lebih menyakitkan. Permainan halus itu akan segera dimulai. Dan ini adalah awal yang pahit yang akan ditelan oleh Fernando.
Jam menunjukkan hampir jam delapan malam ketika deru kendaraan memasuki pelarangan rumah. Dengan cepat, Melanie keluar untuk membukakan gerbang untuk suaminya. "Pa? Akhirnya kau pulang juga. Mama pikir ke mana. Berhari-hari pergi tanpa memberi kabar." Melanie menyambut suaminya dengan memasang ekspresi muka bahagia dan haru. Tentu saja itu hanyalah sebuah kamuflase saja. "Papa pasti pulang dong, Ma. Papa kan pergi untuk cari uang buat keluarga kita. Demi masa depan anak kita." Fernando berujar seolah bijaksana. Dalam hati Melani ingin mengumpat-umpat, bahwa sebenarnya bukan masa depan yang Fernando utamakan, melainkan perempuan yang dia sebut dengan nama Anggia tadi siang. Dengan kesabaran tinggi, Melanie menyembunyikan kenyataan yang telah ia ketahui. Seperti layaknya biasa, Melani tetap melayani Fernando sebaik-baiknya supaya lelaki itu tidak merasa curiga. "Pa, makan dulu yuk! Hidangan makan malam sudah siap." Ajak Melani. "Entar dulu mah. Mama ajak saja Arka makan duluan, sebentar lagi Papa nyusul." Jawab Fernando sembari jari-jemarinya masih sibuk memainkan ponsel. "Ayolah kita makan bareng, Pa. Arka kangen deh makan bareng sama papa." Arka bersungut-sungut. "Iya sayang bentar aja. Ntar pasti Papa nyusul. Arka sama Mama makan aja duluan ya, Nak," Fernando mengelus kepala arka. Akhirnya Melanie mengajak Arka menuju ke meja makan lebih dahulu. Getir memang, siapa yang tidak merasakan getir, tatkala suami yang beberapa hari disibukkan dengan pekerjaan, ketika pulang tidak memberi perhatian kepada sang buah hati. Namun, akan lebih sakit lagi apabila bukanlah pekerjaan yang membuatnya sibuk, melainkan wanita lain yaitu calon istri barunya. Tidak lama kemudian, Fernando menyusul. Namun raut mukanya nampak tidak tergiur dengan hidangan yang ada. Dengan cekatan Melanie mengambilkan piring untuk Fernando. "Tidak usah terlalu banyak ya, Ma. Papa lagi tidak selera makan." Melanie lalu menaruh nasi dan lauk sekedarnya saja. Tidak memerlukan waktu lama bagi Fernando untuk menghabiskan isi piringnya. Setelah usai, Fernando memperbaiki posisi duduknya. "Ma, ada yang ingin Papa tanyakan," "Apa itu?" "Siapa yang yang melaporkan kalau papa hilang?""Hmm..." Melani berdehem.
"Ma, siapapun itu yang melaporkan besok harus segera mencabut laporan tersebut. Masa Papa capek kerja malah dibilang hilang."
Melani bingung harus bagaimana menjelaskan pada Fernando. "Maafkan Mama, Pa. Sudah beberapa hari ini Mama mencari tahu kabar papa. Tapi Mama tidak mampu menemukan titik terang. Pihak keluarga sudah dihubungi namun mereka semua tidak tahu keberadaan Papa. Dan juga mama sudah menghubungi perusahaan. Pihak perusahaan pun tidak tahu keberadaan Papa di mana. Ditambah nomor ponsel Papa tidak pernah aktif lagi. Papa tidak tahu bagaimana khawatir nya aku.""Eh, Mama menghubungi pihak perusahaan? Terus, terus mereka bilang apa?" raut muka Fernando terlihat khawatir.
"Ya mereka bilang Papa emang nggak masuk kantor." jawab Melani pura-pura polos.
"Nggak ada yang lain yang mereka bilang?"
Melani menggeleng.
Fernando menghela nafas panjang. Cukup lega. "Ma, lain kali kalo Papa terlibat urusan kerja, mama jangan terlalu khawatir! tidak perlu juga sampai melaporkan ke pihak berwajib segala, Ma. Kan akhirnya Papa jadi malu disorot-sorotin sama orang-orang. Lagian nomor Papa tidak aktif itu karena Papa sedang kerja. Seharusnya Mama maklumin."Ujar Fernando. "Tapi ponsel Papa tidak aktif berhari-hari. Aku khawatir pa." Baru saja ingin memberi tanggapan, ponsel dalam saku Fernando bergetar. Fernando langsung mengecek. "Udah dulu ya, Ma. Ini ada panggilan dari perusahaan. Ya sudah pokoknya besok kita sama-sama mencabut laporan itu." Tanpa menoleh lagi, Fernando melangkah meninggalkan dapur, dengan ponsel di genggaman tangannya. "Pasti perempuan itu yang menelponnya." Tebak Melanie. Melanie menguntit. Di sebuah sudut yang agak sunyi, terdengar suara Fernando berbicara lirih. "Nanti saja ya sayang teleponannya, nanti malam Mas telpon." Dugaan Melanie tidak salah. Iya tahu kesabaran tinggi harus disiapkan untuk membalas perbuatan Fernando. Sebelum Fernando mengetahui keberadaannya, Melanie bergegas kembali ke dapur. Melanie dengan cekatan membereskan meja makan. Hari belum begitu malam, Namun Fernando masih sibuk dengan ponsel di tangannya. Memang biasanya seperti itu. Selama ini Fernando selalu berdalih memegang ponsel karena urusan pekerjaan. Namun, sekarang Melanie sudah mengetahui bahwa sebenarnya Fernando disibukkan dengan selingkuhannya di luar sana. Setelah semuanya selesai, Melanie segera mengajak Arka untuk tidur lebih cepat. Tidak seperti biasanya, karena malam ini ia akan memulai penyelidikan terhadap Fernando. Setidaknya ia harus mencari tahu apa yang akan dilakukan Fernando selanjutnya. Tidak perlu menunggu hingga 1 jam, Arka terlelap dalam tidurnya. Melanie bangkit untuk menemui suaminya yang masih selonjoran di sofa ruang keluarga. Layar televisi menyala, namun kedua mata Fernando tidaklah kesana. Melainkan fokus ke layar benda pipih di tangannya. Baru saja Melanie ingin menyapa, terlihat Fernando menempelkan ponsel di telinga. Melanie menghentikan langkahnya. "Halo, Sayang. Sabar dulu ya, ini mas sedang di rumah. Mas tidak bisa terus-terusan mengangkat telepon kamu, Sayang. Sebaiknya selagi Mas ada di rumah, kita jarangkan dulu komunikasi. Takutnya kalau kita keseringan kontek-kontekan, bisa membuat Melanie curiga. Tenang saja, nanti malam Mas pasti akan telepon kamu. Tunggu si Melanie dan Arka tidur. Nunggu situasi aman tentunya. Bagaimana oke?" Melanie di buat geleng-geleng kepala dengan kelakuan Fernando. Sungguh selama ini Melanie telah tertipu jauh."Dasar bajingan! Berani bermain betina kamu, Fernando! Kamu akan menyesal!" ucap Melani dalam benaknya.
Sebentar kemudian, terlihat Fernando menutup telepon dengan senyum-senyum. Melanie menelan saliva, "Perlu di akalin nih orang." Pikir Melanie. "Lelaki seperti ini harus diberi pelajaran secara perlahan. Tunggu kau Fernando." Melanie mengepalkan tangan.Bersambung... .Chapter 26 "Bu, aku berangkat dulu," Pamit Fernando. "Ya, semoga lekas mendapatkan pekerjaan yang layak, Nak!" Bu Risa berucap dengan hati mengharap. "Amin, doain ajah, Bu. Aku sudah bosan mencari pekerjaan via online. Tidak pernah diterima. Mending kucari secara langsung saja" Fernando segera meraih tas hitam berisi beberapa berkas penting sebagai persyaratan untuk melamar kerja. Mobil Fernando melaju meninggalkan rumah. "Tidak kusangka hidupku akan berubah dalam waktu yang lebih cepat. Fernando, tenangkan hatimu. Kamu pasti akan mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Dasar itu si Pak Surya, kesombongannya keterlaluan," Sepanjang perjalanan Fernando menggerutu. Setelah beberapa saat, Fernando mengarahkan mobilnya ke dalam suatu area perkantoran perusahaan yang bergerak di bidang industri pangan. "Maaf Pak, ada maksud apa kemari ya?" Tanya satpam yang berjaga. "Kelihatannya Bapak bukan pegawai di sini?" Lanjut satp
Chapter 25 "Bagaimana Fernando? Apakah kau masih diterima di perusahaan itu?" Tanya Bu Risa. "Fernando akan cari pekerjaan di tempat lain aja Bu." Jawab Fernando. "Lhoo...? kok gitu?" Bu Risa mengernyitkan dahi. "Ya gitu aja Bu. Udah ah Fernando capek," Fernando melangkah ke tempat peristirahatan. tanpa mengganti pakaian kerja atau mandi terlebih dahulu, Fernando menghempaskan tubuhnya ke sofa. Terpuruk dalam pandangan yang menatap jauh ke luar jendela, dengan lamunan yang melanglang buana. Ditengah lamunannya. Bayangan Melanie kembali datang menyelip ke sela-sela hatinya. "Mengapa Melanie terlihat begitu cantik? Mengapa dulu tatkala ia masih bersamaku ia terlihat begitu lusuh? Setan apa yang menguasaiku sehingga kembali mengingat sosok Melanie?"*** Dari toilet, Melanie berjalan linglung. Kedua tangannya berpegangan pada dinding. Pemandangan itu membuat suaminya khawatir. "Kenapa, Ma?" Lelaki yang telah berpakaian rapi dengan paka
Chapter 24 Fernando berlalu dari tempat pusat perbelanjaan itu dengan muka bersemu merah. Tapi ia masih merasa patut untuk bersyukur, untung tidak dijerat tuntutan hukum atas tindakan sembrononya tadi. Cuma sebatas diberi peringatan saja. "Rupanya Melanie sudah menikah? Ah lelaki yang tadi itu? Mengapa justru dia lebih tampan? Atau mereka hanya berpura-purasaja? Hanya ingin membuat hatiku panas?" tebak Fernando. Sebenarnya Fernando menuai rasa malu yang begitu besar akibat pertemuan dengan Melanie dan suami barunya yang sama sekali tidak terduga-duga. Ada rasa rendah diri, ada rasa kalah, ada juga rasa minder pada kenyataan itu. Namun, untuk mengakuinya secara langsung, rasa gengsilah yang menyiksa. Masih terbayang dengan amat jelas sosok lelaki yang merupakan suami Melanie tadi. Postur tubuh yang bahkan lebih dari cukup untuk bisa dikatakan tampan dan gagah. Ditambah lagi dengan penampilan yang bisa dipastikan jika laki-laki itu cukup mapan. Semu
Chapter 23 "Ini pasti ada sesuatu yang tidak beres," "Apa ada seseorang yang menyebar fitnah? Tapi siapa?" Fernando tidak habis pikir. "Ah sepertinya aku harus datang langsung ke kantor untuk mengecek video apa yang dimaksud mereka?" Fernando memasukkan ponsel ke dalam tas yang biasa menemaninya ke mana-mana. "Mau ke mana lagi kamu?" Tanya Bu Risa. "Mau ke kantor." Jawab Fernando pendek. "Apa kamu sudah diterima bekerja kembali di sana?" "Entahlah." "Lhaa, kalau kamu masih belum tahu kenapa pergi ke kantor jam segini?" Fernando mulai geram dengan banyaknya rentetan pertanyaan dari mulut sang ibu. "Datang ke sana untuk bertanya Bu, kalau aku cuma diam dirumah saja mana tahu aku. Ah ibu terlalu cerewet. Bosan aku mendengarnya." Fernando menggerutu. Bu Risa geleng-geleng kepala melihat aksi Fernando. Mobil yang dikendarai oleh Fernando meluncur menuju ke perusahaan dimana selama ini ia bekerja. Di tengah perjalanan, Fer
"Aku ingin melihat dengan jelas jikalau rumah ini memang telah berubah kepemilikan menjadi milik Bapak," ucap Fernando. "Ya oke, tidak masalah. Tunggu di sini sebentar." Laki-laki itu beranjak dari duduknya. Sepeninggal laki-laki itu terlihat Topan dan istrinya memandang tak suka kepada Fernando. "Kamu bagaimana, Fer? mau menipu atau ingin mempermainkan kami? Kok tiba-tiba masalahnya jadi ribet kayak gini?" Topan kesal. "Iya Mas. Kita udah lama nunggu. Udah capek-capek juga datang ke sini eh tahu-tahunya rumah yang jadi tujuan nggak jelas," timpal Mona. "Maaf, ini pasti cuma salah paham. Tidak mungkin Melanie berani menjual rumah ini tanpa sepengetahuanku." Ujar Fernando menenangkan. Tidak lama kemudian lelaki tadi kembali datang dengan menenteng map di tangannya. "Ini Pak, Bapak boleh lihat sertifikat asli rumah ini." Lelaki tersebut membuka map dan menyodorkan sebuah sertifikat yang jelas-jelas saja membuat Fernando terkejut. "Ya amp
Fernando sejenak mengabaikan pertanyaan Topan. Perhatiannya hanya terpaut pada lelaki asing yang kini ada di rumah itu. "Anda siapa, Pak?" Tanya Fernando. "Maaf sebelumnya, sepatutnya aku yang bertanya Anda yang siapa?" "Aku pemilik rumah ini? Lalu bapak ini?" Fernando menaikkan dagu. "Aku pindah sejak beberapa bulan yang lalu. Dan tentu saja aku pemilik baru di sini," Jawab laki-laki tersebut. "Apa iya? Tidak usah bicara ngawur! Sama siapa Bapak mendapatkan hak milik. Toh pemilik sah rumah ini adalah aku," timpal Fernando, "Hahaa... Sepertinya obrolan kamu agak kurang nyambung. Kok bisa mengaku-ngaku jadi pemilik rumah ini?" Lelaki asing tersebut nampak terkekeh lucu. Fernando mendadak merasa di rendahkan dengan ucapan lelaki yang sama sekali belum ia kenal tersebut. "Ngomong apa Anda ini? Atau bapak yang mengalami gangguan jiwa?" Balas Fernando. Mukanya mulai merah padam. Rupanya sifat mudah marah masih begitu melekat pada sosok Fer