Sekarang kita mau ke mana?” tanya Rani.
Adit dan Rani sudah berjalan ke sana kemari mencari kamar kos. Tetapi, mereka belum mendapatkan yang sesuai budget.
“Kita ke hotel saja dulu, Sayang. Ini sudah mau maghrib juga. Kamu harus istirahat,” kata Adit.
Ia tahu jika saat ini Rani pasti sudah lelah.
“Dekat sini ada hotel, gimana kalo kita ke sana?” kata Adit. Rani pun menganggukkan kepalanya, ia juga sudah merasa sangat lelah.
Adit pun menggandeng tangan Rani dan membawanya ke hotel. Mereka langsung booking kamar.
Setelah menerima kunci, Adit dan Rani pun segera masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.
“Besok pagi, biar aku saja yang mencari kontrakan untuk kita,” kata Adit.
“Lalu aku?”
“Ya, kamu tunggu di sini aja, Sayang. Nanti kalau sudah dapat baru kita cek out dari hotel ini,” kata Adit.
Rani menganggukkan kepalanya, pasrah.
“Gimana kamu aja, Mas.”
“Kamu lapar?” tanya Adit saat tak sengaja mendengar perut Rani berbunyi. Istrinya itu hanya tersipu malu.
“Iya, Mas. Aku lapar,” jawabnya.
Adit hanya tertawa, ia merasa sangat gemas melihat kedua pipi Rani yang memerah karena malu. Rani menjadi tampak lebih cantik.
“Ya sudah, kamu tunggu sini. Aku beli makanan dulu. Atau mau pesan di sini saja?”
“Nggak usah, Mas. Harga makanan di hotel pasti lebih mahal. Kita kan harus berhemat,” kata Rani.
Adit tertawa kecil,”Kemarin, Ibuku memberikan uang. Tadinya aku akan gunakan untuk modal usahaa kecil-kecilan. Tapi, kita bisa gunakan dulu,” katanya.
“Nanti kalau dipakai modal usahanya gimana?”
“Ya bikin usaha yang modalnya nggak terlalu besar,” jawab Adit dengan mantap.
Rani hanya menganggukkan kepalanya.
“Ya sudah Mas, tapi, makanannya kita beli saja di luar. Meski Mas ada uang, tapi rasanya sayang jika kita membelinya di hotel ini. Kalau tidak salah, di depan hotel ini ada penjual pecel ayam. Kita beli di sana saja, bagaimana?” kata Rani.
Adit pun menganggukkan kepalanya.
“Ya sudah, kamu mau ikut atau tunggu aja?” tanyanya.
“Ikuuut, lebih enak makan di tempat,” kata Rani.
Benar apa yang dikatakan Rani, di depan hotel ada penjual pecel ayam. Rupanya Rani sempat memperhatikan ketika mereka hendak masuk ke dalam hotel.
Setelah selesai makan mereka pun kembali ke hotel untuk beristirahat.
Pagi harinya, Adit memutuskan untuk mencari rumah kontrakan sendiri sementara Rani menunggu di hotel.
Beruntung, tidak jauh dari hotel ternyata ada rumah bedeng yang disewakan. Dan harganya pun ternyata tidak terlalu mahal. Hanya satu juta perbulan. Dan rumah bedeng itu pun memilki dapur kecil dan ruang tamu. Hanya saja, kosong tidak ada kasur atau tikar sama sekali.
Adit hanya bisa menghela napas panjang. Kemarin, ibunya memberinya uang 50 juta rupiah. Adit memutuskan untuk membayar kontrakan itu untuk 1 tahun kedepan. Karena jika ia membayar untuk setahun, ia hanya perlu membayar 10 juta saja. Lagipula, Adit takut jika nanti setiap bulan ia keteteran.
“Ini kuncinya, Mas. Semoga Mas dan istrinya betah,” kata pemilik rumah dengan ramah setelah mendapatkan uang dari Adit.
Setelah menerima kuitansi pembayaran, Adit pun memutuskan untuk membeli kasur, dan juga peralatan dapur dan juga peralatan untuk bersih-bersih rumah.
Hampir jam 3 sore ketika Adit selesai mempersiapkan rumah. Saat ia melihat ke ponsel ada dua puluh panggilan tak terjawab dan semua dari Rani.
Adit pun segera bergegas kembali ke hotel untuk menjemput Rani.
“Ya Allah, Mas. Aku khawatir sekali kalau kamu nggak akan balik lagi dan aku ditinggalkan,” kata Rani saat Adit kembali ke hotel.
Adit pun tertawa, tetapi tiba-tiba ia menepuk dahinya.
“Ya ampun, ini sudah jam tiga sore. Kamu belum makan dari tadi?”
Ya, Rani memang belum makan. Tadi pagi, mereka sarapan yang disediakan oleh pihak hotel. Setelah itu Rani belum makan apa-apa lagi.
“Belum, Mas.”
“Kenapa nggak pesan layanan kamar?” kata Adit.
Rani menggelengkan kepalanya perlahan.
“Aku nggak punya uang,” jawabnya polos.
“Ya Allah, maafkan aku ya, Ran. Ya sudah, kita cek out aja dulu. Trus kita taro barang-barang di rumah baru kita. Setelah itu, kamu boleh makan apa aja yang kamu mau,” kata Adit.
“Kamu udah dapat rumah untuk kita,Mas?” tanya Rani.
“Sudah, Sayang. Ayo kita ke sana. Beres-beres dulu,” kata Adit.
Rani tersenyum, ia pun segera membereskan barang-barang mereka. Setelah selesai, mereka pun langsung cek out.
Dengan berjalan kaki mereka menuju ke kontrakan. Rani sangat senang saat melihat kondisi rumah yang sudah sangat rapi. Bahkan, dapur pun rapi dan sudah cukup lengkap. Ada magic com untuk memasak nasi, kompor, piring dan peralatan lainnya.
“Terima kasih, Mas. Ya Allah, pantas saja tadi Mas lama sekali. Aku pikir Mas tadi mau meninggalkan aku,” kata Rani.
Adit langsung memeluk sang istri dan mengecup keningnya dengan lembut.
“Sayang, kamu jangan takut. Aku nggak akan pernah meninggalkan kamu. Maafkan kalau aku belum bisa memberikan tempat tinggal yang layak, ya,” kata Adit.
Rani menghela napas dan mengembuskannya perlahan.
“Mas, memangnya harga sewa rumah ini berapa? Mas juga membeli kasur, lemari pakaian, dan alat masak.”
Adit tersenyum kemudian membelai rambut Rani.
“Waktu ibu memberikan seserahan, ibu juga memberi uang sebesar lima puluh juta. Tadinya uang itu mau aku jadikan modal usaha membuka toko kelontong. Tapi, modalnya sekarang nggak cukup. Sisa uangku hanya tinggal tiga puluh lima juta,” kata Adit.
Rani tampak merenung, baginya yang biasa hidup pas-pasan, uang sebesar tiga puluh lima juta itu memang besar. Tapi, jika digunakan modal usaha tentu saja tidak cukup, kecuali ....
“Aku ada ide, Mas. Uang Mas itu tabung saja ke bank sebesar dua puluh lima juta. Yang sepuluh juta kita gunakan untuk modal,” kata Rani.
Adit mengerutkan dahinya.
“Usaha apa yang hanya membutuhkan sepuluh juta?” tanya Adit.
“Sate ayam, Mas. Nanti Mas pesan saja gerobak satenya. Juga alat panggang dan lain-lain. Aku lihat di depan hotel itu kan hanya ada penjual pecel ayam. Kalau malam di sana sepertinya ramai. Biar aku yang membuat bumbu satenya dan Mas yang jualan, bagaimana?” kata Rani.
Untuk sejenak Adit terdiam. Jualan sate?"
“Tapi ....”
“Atau, Mas mau mencari pekerjaan saja? Ijazah Mas kan S1,” kata Rani.
“Sepertinya aku memilih untuk mencari kerja saja, Ran. Kalau berjualan di toko begitu aku mungkin bisa. Tapi, kalau menjadi penjual sate ... aku tidak tau apa aku bisa. Ah, sudahlah, sekarang kita makan dulu. Di depan sana ada penjual soto, sepertinya enak, kamu pasti lapar,” kata Adit.
Rani menganggukkan kepalanya. Untuk beberapa saat, mereka pun mencoba untuk melupakan masalah mereka soal pekerjaan.
Rani yang sedang sibuk membuat kue bersama Mbok Suti sontak mengalihkan perhatiannya ketika mendengar ponselnya berdering. Terpaksa dia harus meninggalkan pekerjaannya lebih dulu untuk melihat notifikasi apa yang masuk ke ponselnya.Tak lama kemudian, bibir Rani menerbitkan sebuah senyuman setelah membaca beberapa pesan dari pelanggan barunya. Hari ini adalah hari pertama Rani membuka toko online-nya, dan sudah ada 3 orang pelanggan yang memesan kuenya. Sebisa mungkin Rani akan menyelesaikan kuenya hari ini juga, dan mengantarkannya tepat di hari pelanggan itu memesan pesanan kuenya.Rani menaruh ponselnya ke tempat semula, lantas melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Mbok Suti yang sedang mengaduk adonan baru ikut tersenyum ketika melihat raut wajah bahagia Rani yang sudah lama tidak dia lihat. Ternyata, Rani tidak selemah yang dia pikirkan. "Mbok, yang ini kue ulang tahun, ya?" tanya Rani memastikan."Iya, Non. Itu belum dikasih note, soalnya takut acak-acakkan kalau Mbok yang
Rani dengan wajah seriusnya duduk di depan laptop untuk mengedit bagian-bagian penting yang akan dia perlukan untuk kebutuhan toko online-nya. Usulan Mbok Suti tadi pagi berhasil membuka pikiran Rani mengenai bisnis kue yang akan dia jalankan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Bakat masak yang Rani dan Mbok Suti miliki bisa menjadi ladang penghasilan untuk mereka selama beberapa bulan ke depan. Walaupun masih ada cukup uang yang ada dalam tabungan Rani, tapi dia tidak bisa langsung menggantungkan hidupnya dari sana. Rani harus punya pekerjaan sampingan agar hidupnya tidak terlalu memprihatinkan.Meski pun Bu Ana berjanji selalu mendukung keputusannya dan juga akan memberikan biaya untuknya dan Tasya tetapi, Rani tidak mau terlalu bergantung pada Ibu mertuanya itu.Lain dengan Rani, saat ini Mbok Suti tengah belanja ke swalayan untuk membeli bahan-bahan kue yang akan dia dan Rani buat nanti malam. Rani akan membutuhkan beberapa kue untuk dia foto dan akan dia pasang di banner iklan
Helaan napas tak berhenti keluar dari mulut Adit yang sedari tadi tengah mondar-mandir di depan kamarnya. Pintu kamar yang dibiarkan terbuka membuat Ghea bisa melihat tingkah suaminya dari dalam. Bukannya mencoba menenangkan, Ghea justru malah sibuk bersantai ria di atas kasur dengan secangkir coklat panas di atas nakas.Adit berdecak kasar, mengacak rambutnya frustrasi karena dia masih merasa dengan kepergian Rani. Rani pergi tanpa sepengetahuannya. Bahkan Mbok Suti pun dikabarkan ikut dengan Rani dan Tasya entah ke mana.Ghea memutar bola matanya malas, lantas beranjak dari tempat tidur dan menghampiri Adit yang sedang dilema. Meskipun Ghea tak suka melihat Adit yang masih terlihat mengkhawatirkan Rani, tapi dia tidak peduli.Setidaknya Adit dan Rani sudah berpisah meski belum resmi, dan kini hanya dialah satu-satunya istri yang Adit miliki."Mas, kamu nggak bosan dari tadi mondar-mandir terus?" tanya Ghea, lalu memeluk Adit dari belakang agar suaminya itu menghentikan kegiatan ta
“Silakan saja kalau Ayah tidak percaya jika Tasya cucu Ayah. Saya merasa sangat kecewa sekali. Saya tau jika hubungan saya dan mas Adit juga tidak mendapatkan restu ayah tadinya. Saya juga tahu jika kami sudah melakukan kesalahan. Tetapi, saya tidak pernah berhubungan dengan lelaki lain,” kata Rani. Selama ini wanita itu sudah cukup diam. Kali ini ia tidak akan diam saja mendengar hinaan dari Ayah mertuanya itu. Bu Ana sendiri merasa sangat kaget karena baru kali ini mendengar Rani bersuara seperti ini. Selama ini wanita itu lebih banyak diam dan mengalah. “Ibu percaya kepada kamu, Rani. Baiklah, kita akan menunggu dua bulan lagi. Jika memang anak dalam kandungan Ghea itu anak Adit, kita akan mencari jalan keluar. Ibu tidak mau Adit dan Rani berpisah. Tetapi, jika terbukti anak itu bukan anak Adit maka Ibu tidak akan membiarkan penipuan ini berlangsung lama,” kata Bu Ana dengan tegas.**Terik matahari membuat peluh keringat di dahi Rani semakin bertambah banyak. Kulit putih dan mu
Adit tersentak mendengar perkataan Rani.“Cerai? Tidak! Aku tidak mau. Kamu harus mendengarkan dulu penjelasanku. Aku dan Ghea itu ....” Adit pun menceritakan semua yang terjadi di malam itu. Tanpa ada yang ia kurangi sama sekali.“Demi Allah ... Aku nggak pernah sadar kalo aku meniduri Ghea.”“Awalnya ga sadar, tapi setelah itu kamu pasti sering melakukannya, bukan? Jawab dengan jujur!”Adit terdiam, apa yang dikatakan oleh Rani benar. Awalnya mungkin ia tidak sadar, tetapi bukankah setelah itu dia dan Ghea juga menikmati hubungan mereka?“Kamu ngga bisa jawab, kan? Itu karena memang kamu sudah bermain api, Mas!”“Aku ....” “Ceraikan aku!”BRAK!"Tidak, Ibu tidak mau kalian bercerai! Aduh!" Rani dan Adit tersentak. Keduanya menoleh, ternyata Bu Ana tanpa sengaja mendengarkan semua percakapan mereka. Dengan cepat, Adit menghampiri Ibunya yang sedang memegangi dadanya. Dengan cepat Adit segera memanggil perawat, sehingga Bu Ana dengan cepat ditangani oleh dokter. Untung serangan ja
“A-apa maksudnya ini. Mas, kenapa Ghea ....” Rani benar-benar tidak mengerti dengan kehadiran Ghea. Terakhir kali bertemu di Lombok beberapa bulan lalu, perut Ghea masih rata. Tapi sekarang ....“Tanyakan saja kepada suami kita. Dia yang sudah menghamili aku dan kami sudah menikah siri tujuh bulan yang lalu. Sekarang aku sedang hamil tujuh bulan,” kata Ghea dengan lantang. Bu Ana segera menghampiri Ghea dan langsung menampar perempuan itu dengan kesal. “Jangan kurang ajar kamu! Anakku tidak mungkin menikahi kamu,” kata Bu Ana. “Apa yang Ibuku katakan benar. Adikku nggak mungkin menikah dengan kamu, Ghea,” sahut Anjar membenarkan. “Ayah kalian sendiri yang menjadi saksi pernikahan kami.” JLEB!Seketika ingatan Bu Ana dan Rani melayang di saat Adit dan Pak Tomy pergi berdua saja. Bu Ana langsung memicingkan mata dan menatap PakTomy.“Keterlaluan kamu, Yah!” seru Bu Ana.“Ghea sudah hamil karena perbuatan Adit, mana bisa aku tinggal diam. Jadi, aku mengizinkan Adit menikah lagi. La