Beranda / Romansa / Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku / Bab 110 : Terpikirkan Hal Berbahaya

Share

Bab 110 : Terpikirkan Hal Berbahaya

Penulis: Xiao Chuhe
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-24 22:36:11

Angin pagi menggoda ujung lengan bajuku, mencuri kehangatan yang sempat tersisa dari pelukan selimut semalam.

Di sampingku, Ye Qingyu berjalan dengan langkah santai, tangan kirinya terlipat di belakang punggung, sementara tangan kanannya menenteng bungkusan kecil berisi makanan kering yang disiapkan Chunhua tadi pagi untuk perjalanan Ayah dan Ibu Mertua.

"Kalau Ibu mengeluh makanan di perbatasan terlalu hambar, kau jangan bilang itu masakan Chunhua," gumamku, separuh mengingatkan, separuh menyindir, karena aku tahu Ibu bisa sangat jujur …, dan menyakitkan.

Ye Qingyu terkekeh kecil, suara tawanya dalam, seperti embusan angin yang membawa tawa musim gugur.

"Aku akan bilang itu kiriman dari pasar rakyat. Kalau rasanya buruk, maka salahkan rakyat."

Aku menahan senyum. "Jadi suami yang licik, ya?"

Ia menoleh padaku, senyumnya tetap tinggal di sudut bibirnya. "Kalau demi melindungi istri sendiri, licik pun tak masalah."

Hati ini …, entah kenapa, makin lama makin tidak tahu diri.

Perjalana
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 178 : Waktu Bersama

    Kereta berhenti di tepi sungai yang airnya jernih berkilau, memantulkan cahaya sore yang merambat turun. Angin semilir membawa aroma basah bebatuan dan dedaunan. Suara burung-burung kecil di pepohonan bercampur dengan gemericik arus, menciptakan harmoni yang menenangkan setelah berhari-hari perjalanan berat.Aku menyingkap tirai kereta, menghirup dalam-dalam udara segar itu. Rasanya seperti paru-paruku baru pertama kali diisi dengan kehidupan.Dan seketika aku melupakan aroma darah dan asap tebal di medan perang. Rasa syukurku kembali terucapkan melalui senyum lebar begitu melihat pemandangan ini. "Jingxi, kita istirahat di sini sebentar," suara Ayah terdengar dari luar, penuh wibawa tapi juga hangat. "Airnya jernih, kau bisa mencuci tangan dan wajahmu di sana."Aku turun bersama Ye Qingyu. Saat kakiku menyentuh tanah lembap, pandanganku menangkap Ye Xuanqing yang sudah lebih dulu melepas sepatunya, menaikkan celana sampai betis, lalu melompat masuk ke air dangkal."Xuanqing!" seru

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 177 : Kepulangan Ye Tinghan

    Tiga hari setelah kemenangan besar itu, kami berdiri berderet di depan gerbang kota, barisan panjang yang memenuhi jalan utama. Langit Yangzhou begitu cerah, matahari bersinar lembut, seakan turut merayakan tercapainya perdamaian. Kibar bendera Beizhou dan panji Yangzhou berjejer, melambai ditiup angin musim semi. Sorak-sorai rakyat membahana, bergema hingga jauh ke balik tembok kota. Semua orang menanti kedatangan orang yang menjadi utusan sekaligus saksi kemenangan ini, Ye Tinghan.Ia muncul dari kejauhan, menunggang kuda hitam gagah. Di belakangnya, para prajurit yang mengawal surat itu bersamanya berjalan tegap, membawa kotak berukir naga emas, tempat disimpannya surat perdamaian dari Kekaisaran Han. Surat itu akan segera diserahkan pada Baginda Kaisar, bukti bahwa perang panjang telah berakhir, setidaknya untuk belasan tahun mendatang.Suara rakyat semakin membahana ketika rombongan semakin dekat. Aku bisa merasakan getaran tanah dari derap kuda, juga aroma debu bercampur kerin

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 176 : Makan Malam

    Malam harinya, pesta kemenangan diadakan di pusat barak. mereka bersenda gurau seperti biasa, yang berduka memberikan penghormatan terakhir pada yang meninggalkannya. Kendi-kendi arak diturunkan, hidangan-hidangan khas Yangzhou memenuhi meja-meja panjang. Keluargaku berkumpul, Ye Qingyu sudah lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dia duduk menunggu makanan bersamaku. Aku mengamati Ye Xuanqing yang masih berwajah muram. Melihat orang yang biasanya ceria dan banyak cerita tiba-tiba menjadi begitu pendiam, membuatku merasa bersalah karena telah melimpahkan kesalahan padanya. Padahal kematian Xin Jian sepenuhnya kehendak Langit. Tanpa perlu campur tangan Ye Xuanqing pun, takdir tidak bisa dihindari begitu saja. Kemarin aku menyalahkannya, padahal seharusnya aku bersyukur karena dia tidak mati menggantikan Xin Jian. Selain itu, usahaku sama sekali tidak pernah sia-sia. Karena tujuh ratus prajurit wanita milik Xin Jian, tetap dapat melanjutkan hidup mereka dengan baik. Itu adalah

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 175 : Pemimpin Baru

    Barak besar di lapangan luas sisi timur berdiri muram dalam bayangan senja. Tak ada riuh sorak seperti di gerbang utama, di sini hanya sunyi yang menyayat telinga, seolah udara pun bahkan menolak bergerak. Langkah kakiku berat ketika memasuki ruangan, dan seketika pandanganku disergap oleh barisan prajurit wanita yang berjongkok di lantai, wajah mereka muram dan mata sembab. Ada sekitar tujuh ratus orang, aku tahu siapa mereka. Mereka adalah prajurit wanita yang dilatih sendiri oleh Xin Jian selama bertahun-tahun demi peperangan hari ini. Begitu melihatku, mereka spontan berdiri. Beberapa menunduk dengan mata basah, yang lain menatapku dengan sorot luka, seakan kepergian pemimpin mereka adalah luka yang tak bisa dijahit. Dada ini terasa diremas, napasku tercekat.Melihat mereka semua, membuatku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku merasa bersalah karena gagal menjauhkan Xin Jian dari kematian. Di sisi lain, aku merasa senang karena sebagian besar dari mereka berhasil bertahan

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 174 : Pemakaman

    Pemakaman Xin Jian digelar keesokan harinya. Langit Yangzhou masih kelabu, seakan turut berkabung. Asap dupa mengepul tipis, bercampur bau tanah basah dan anyir darah yang masih melekat di udara pasca perang. Gerbang kota yang semalam dipenuhi sorak kemenangan kini berubah senyap; ribuan pasang mata menunduk hening.Aku berdiri di depan keranda sederhana yang ditutup kain hitam. Jantungku berat, dadaku seperti diikat rantai besi. Semalam aku meraung, memeluk jasadnya sampai tubuhku sendiri hampir ikut membeku. Kini, aku harus merelakan dia berbaring di sini, di hadapan pasukan yang datang memberi penghormatan terakhir. Dadaku sesak. Aku merasa gagal. Takdir ini bagai tali besi yang tidak bisa kutarik, tidak bisa kuputuskan.Ye Qingyu berdiri di sampingku, wajahnya tegang. Tangannya sesekali mencoba meraih lenganku, tapi aku menghindar pelan. Bukan karena aku ingin menjauh darinya, melainkan karena aku takut kalau aku bersandar, aku akan benar-benar roboh. Ia hanya bisa memandangku

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 173 : Duka Kemenangan

    "MENAAAANG!!!" Sorak sorai itu meledak di udara malam seperti guntur yang pecah. Dari puncak benteng hingga ke gerbang, suara ribuan pasukan yang bersorak bersatu menjadi gelombang yang mengguncang tanah. Aku berdiri tegak, tersenyum senang, air mata mengalir tanpa perlu kutahan lagi. Akhirnya. Setelah perjuangan selama berminggu-minggu, kemenangan berhasil kami rengkuh melakui tebasan Ayah Mertua di leher Jenderal Besar terakhir Kekaisaran Han. "Kita menang!" "Hidup Jenderal Besar!" "Hidup keluarga Ye!" Aku berlari ke gerbang untuk menyambut kepulangan para prajurit itu, jantungku ikut berdegup mengikuti teriakan itu. Api obor berkibar di kedua sisi jalan, memantulkan cahaya merah di wajah para prajurit yang kembali. Wajah penuh jelaga, pakaian compang-camping, darah menodai tubuh mereka. Tapi sorot mata mereka menyala, bangga, seakan semua luka dan lelah lenyap oleh satu kata, kemenangan. Aku melihat mereka berjalan masuk, barisan demi barisan, berbaris rapi mesk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status