MasukKamar Zhou Chuanyan?
Bagaimana aku bisa berada di sini? Aku berdiri saking terkejutnya. Dan lebih terkejut lagi ketika aku benar-benar berdiri. "Hei hei …," aku bergumam pada diriku sendiri. Bagaimana ini mungkin? Kakiku membusuk dan bernanah karena berendam terlalu lama. Tubuhku bengkak dan lebam-lebam karena terlalu banyak dipukuli para sipir penjara. Belum lagi, tanganku ini susah sekali digerakkan sejak terakhir kali aku menggunakannya. Ah …, aku mengedarkan pandanganku dengan hati-hati. Mataku tidak buram lagi. Apa maksudnya ini? Aku menatap Zhou Chuanyan yang tidur lelap di atas ranjangnya. Semangkuk obat yang hanya tersisa mangkuknya saja tergeletak di atas meja. Aku yang masih mencerna situasi ini, tetap merasa bingung dengan apa yang terjadi. Seharusnya aku mati begitu aku merasakan pisau besar itu menyentuh leherku. Tapi aku malah bangun di kamar Zhou Chuanyan?! Kalau begitu …, sepertinya aku …. Ini tidak masuk akal. Aku berlari keluar untuk melihat situasi yang bisa kupahami. Beberapa pelayan berlalu-lalang melakukan pekerjaan pagi. Saat ada yang lewat di hadapanku, aku menahannya dan bertanya. "Tahukah kamu ini hari apa?" "I-ini hari Kamis, Nona." "Kamis?" aku membeo pelan. Eksekusi itu dilakukan di hari Rabu. Apakah aku hanya tertidur saja? Ini hari setelah eksekusi itu? Tapi tubuhku sehat sekali …. "Nona?" Pelayan itu membuyarkan lamunanku. "Ya?" Raut wajahnya terlihat kesal, "Anda ini sedang apa? Cepat siapkan air hangat untuk Nona Kedua mandi! Lalu rebus obat dan membeli camilan manis sebagai makanan penutup untuk Nona Kedua. Bagaimana mungkin Anda santai sekali." Aku membulatkan mata, "Memandikan Zhou Chuanyan? Me-merebus obat?" "Haah, Nona. Apakah Anda melupakan tugas Anda hanya karena belum sarapan? Bisa-bisanya Anda terkejut begitu." Pelayan itu terlihat ingin segera pergi dari hadapanku. "Tugas apa yang kau maksud?! Bukankah Zhou Chuanyan itu tidak memercayaiku lagi? Dia bilang aku meracuni obatnya, kan? Aku sampai dihukum di Istana Kekaisaran dan hampir mendapat eksekusi mat—" "Apa yang Anda bicarakan itu, sih? Mimpi ya? Dasar tidak jelas. Cepat lakukan tugas Anda, Nona! Nanti Tuan Adipati Agung memarahi saya lagi!" "Hei, tunggu! bagaimana dengan eksekusinya? Ayah memaafkanku begitu saja meski aku sudah hampir dieksekusi mati karenanya juga?" Aku menahan pelayan itu selama mungkin. Dia mengernyit heran dan merasa aku sudah tidak waras. Dia segera menjaga jarak dan menatap dengan alis berkerut, "Anda ini apa-apaan?! Apanya yang eksekusi mati? Apanya yang Tuan Adipati? Haah, silakan cuci wajah terlebih dahulu supaya keluar dari mimpi Anda, Nona." Aku membeku di tempat. Apa maksudnya ini? Seolah-olah aku adalah orang yang paling tidak tahu apa-apa? Suasana ini …. "Tunggu!" aku berseru lagi. Pelayan itu berbalik menatapku dengan malas. "Se-sekarang tanggal berapa?" "Hah?" dia menaikkan sebelah alisnya karena heran. "Kenapa tiba-tiba menanyakan hal tidak jelas begitu? Bukannya segera beker—" "Cepat katakan! Sekarang tanggal berapa?" aku berseru sepenuh tenaga. Tanganku gemetar karena takut mendengar jawabannya. Dia terdiam sejenak karena terkejut, "Tanggal 7 bulan 10, tahun ke-50 Dinasti Dayu …." Tahun ke-50? Berarti aku kembali ke masa lalu? Tidak. Tepatnya, kembali ke sepuluh tahun yang lalu? Aku terhuyung-huyung, lalu segera berlari menuju kamarku sendiri. Kamar kecil di ujung lorong yang gelap dan pengap ini adalah kamarku sejak kedatangan Zhou Chuanyan saat usiaku dua belas tahun. Tunggu. Kalau ini sepuluh tahun yang lalu, berarti lima tahun telah berlalu sejak kedatangan Zhou Chuanyan, ya. Tidak kusangka Langit akan menolakku. Dewa tidak mendengarkan doaku. Apakah aku manusia berdosa yang tidak pantas mendapatkan kebebasan? Aku ingin terpisah dari rumah ini …. Atau aku akan kembali mati menerima eksekusi mati tidak masuk akal itu …. Air mataku menetes. Aku benar-benar telah kembali ke masa lalu …. Di keluarga ini lagi. Menyedihkan. Aku mengurung diri di kamar, memikirkan bagaimana caranya keluar dari sini. Aku tidak mau hidup sebagai perawat untuk Zhou Chuanyan yang sakit itu. Dan berakhir di panggung eksekusi lagi. Aku akan pergi dari sini dan mencari kebebasanku. Terdengar suara pukulan keras di pintu kamarku. Aku segera keluar untuk menghentikan suara berisik itu. "Ibu?" aku menatap datar. Orang yang sudah mengusulkan untuk memenjarakanku di kehidupan sebelumnya itu …, kini sedang berdiri di hadapanku dengan wajah murka. "Kenapa kau meninggalkan adikmu sendirian?" pertanyaan itu selalu berulang setiap kali aku kembali ke kamar sebentar bahkan hanya untuk mengambil sesuatu. Ibuku marah untuk semua hal yang berkaitan dengan keselamatan Zhou Chuanyan. "Aku hanya ingin beristirahat sebentar, Ibu." Aku melengos, kembali ke dalam. "Dasar anak ini, ya! Kau sudah berani melawan Ibu?" Dia mengangkat tangannya dan bersiap mau memukulku. "Ibu …, jangan marahi Kakak! Jangan marahi Kakak! Soal aku terjatuh itu …, bukan salah Kakak, itu karena aku sendiri yang ceroboh …." Zhou Chuanyan tiba-tiba muncul dan menghentikan Ibu yang nyaris saja menamparku. Aku menatap malas ke arahnya, dia pasti berpura-pura sangat memikirkanku supaya Ibu semakin menyalahkanku. "Tetap saja! Alasan kau bisa terjatuh karena dia tidak ada di sana. Lagipula kenapa kau tidak memanggilnya saja dan bersikeras mengambil air minum sendiri? Kan jadi terjadi hal seperti ini." Ibu membelai rambutnya dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Ibu …" "Baiklah, baiklah. Lain kali putriku jangan terlalu lembut terhadapnya, ya. Nanti dia jadi tidak tahu diri." Aku tertunduk, tanpa kusadari sebelumnya, aku sudah mengalah pada Zhou Chuanyan setiap hari. Aku membiarkan Ibu menyalahkanku setiap kali Zhou Chuanyan merasa sakit. Aku memilih diam saja meski Zhou Chuanyan menuduhku melakukan sesuatu yang menyakitinya sebagai bentuk kecerobohan yang harus dimaafkan. Seolah-olah aku ceroboh dan Ibu memarahiku, lalu dia sok menjadi pahlawan yang membelaku di depan Ibu. Dia melakukan berbagai macam hal buruk untuk menurunkan citraku di mata keluargaku. Dan itu telah berlangsung selama lima belas tahun di kehidupanku sebelumnya. Aku kembali ke sepuluh tahun lalu, setelah mati karena tuduhan tidak benar yang dilemparkan adikku sendiri. Sudah sejauh ini kesempatan yang kudapat, tidak mungkin aku tetap membiarkan diriku terjebak dalam permainan licik Zhou Chuanyan si lemah ini, kan? "Kakak, aku minta maaf …, aku tidak akan membiarkan ini terjadi lagi, jadi kalau Kakak lelah, masuk dan beristirahatlah sejenak, aku baik-baik saja, uhuk." Zhou Chuanyan terbatuk-batuk, tubuhnya berkeringat dan raut wajahnya sangat buruk. Aku tahu sakitnya itu betulan. Tapi semua sikap sok pedulinya itu tidak benar-benar dia tujukan padaku. "Baiklah, terima kasih." Aku langsung berbalik dan menutup pintu kamarku. Zhou Chuanyan terlihat bingung, dia belum meninggalkan area depan kamarku seolah terkejut dengan perubahan sikapku. Sepertinya memang begitu. Karena jika ini bukan kehidupan kedua, aku akan segera mengantarnya ke kamar dan berkata kalau aku tidak perlu istirahat. Dulu aku sangat haus kasih sayang Ayah dan Ibu. Jadi aku akan melakukan semua perintah mereka untuk merawat adikku supaya mereka mengakuiku lagi seperti dulu. Setelah lima belas tahun berusaha, aku tahu itu usaha yang sia-sia. Aku mengintip dari balik celah. Zhou Chuanyan sudah kembali ke kamarnya diantar oleh Ibu. Yang terus mengomel padanya agar tidak terlalu melunak terhadapku. Haah, Ibu tidak sadar bahwa dia terlalu memanjakan manusia lemah itu. Sampai-sampai dia menjadi tidak tahu diri dan berani mencelakai kakak kandungnya sendiri. Aku merebahkan diri di atas ranjang. Ternyata rasanya sangat nyaman …. Selama berada di penjara, aku tidur di tanah yang dingin, dan tidak memakai sehelai pun selimut. Kini aku kembali ke masa lalu, aku harus memikirkan cara bagaimana agar aku bisa terbebas dari ikatan yang menjengkelkan ini. Aku bertanya-tanya bagaimana keluarga ini bisa begitu membeda-bedakan diriku dan Zhou Chuanyan padahal kami sama-sama putri mereka? Sekarang aku tidak mengharapkan pengakuan apa pun lagi. Meski keluarga kandung sekali pun, mereka yang duluan membuangku. Aku tidak bersalah kalau memutuskan untuk pergi sekarang. Bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini? Bagaimana pun, seorang gadis dari keluarga terpandang tidak bisa keluar begitu saja dari keluarganya. Kecuali karena satu hal. Yaitu pernikahan.Orang-orang mulai berbisik lebih keras. Aku bisa mendengar potongan suara di antara mereka. "Benaf juga, ya …, Nyonya Muda Ye kan, memang putrinya Adipati Agung ….""Tapi bukankah Baginda sendiri yang mengampuninya?" "Kalau memang diampuni, kenapa dia tidak memohon ampun untuk adiknya? Mereka kan sama-sama tidak tahu apa-apa." "Benarkah Nyonya Muda Ye membuang adiknya?" "Tidak mungkin, kan …."Dadaku sesak. Aku ingin menjawab, ingin menjelaskan, tapi lidahku terasa berat. Semua kata terasa salah.Ye Qingyu menatap kerumunan itu dengan pandangan tajam. "Semua itu omong kosong," dia berkata lantang. "Istri saya bukan wanita seperti yang dituduhkan. Dia dihormati oleh seluruh keluarga Ye dan dikenal oleh semua orang dengan kebaikannya sendiri." "Jika kalian lebih memilih mempercayai teriakan orang yang bahkan tidak bisa berdiri dengan benar, silakan, tapi aku tak akan membiarkan siapa pun menodai nama keluargaku."Nada suaranya tegas, penuh wibawa. Tapi Chuanyan menatapnya dengan ta
Udara Beizhou membawa embun yang wangi, dan sinar matahari menembus kisi-kisi jendela kamarku seperti benang sutra emas. Tubuhku masih sedikit berat, tapi wajahku tak lagi sepucat kemarin. Tidak ada pusing, tidak ada mual, hanya sedikit lemas yang mudah diabaikan.Seperti yang kuduga, flu ringan memang akan sembuh hanya dengan beristirahat sepanjang malam. Aku beringsut duduk dan meregangkan tubuh. Segar sekali. Aku menoleh ke samping, Ye Qingyu masih meringkuk di balik selimut tebal. Aku bangun lebih awal darinya. Musim gugur memang waktu yang cocok untuk bermalas-malasan. Biasanya dia sudah duduk di ruang depan, membaca laporan perbatasan sambil menyesap teh, tapi pagi ini dia masih terlelap di atas ranjang. Napasnya pelan. Mungkin karena semalaman menemaniku yang sempat demam ringan.Aku baru saja hendak menyiapkan teh ketika suara gaduh dari arah depan terdengar. Awalnya samar, seperti suara langkah yang terburu-buru. Tapi tak lama, teriakan pelayan memecah udara pagi."Cepat p
Ye Qingyu sudah dua bulan penuh menghabiskan waktunya di rumah bersamaku. Ia memang sedang cuti panjang karena luka lamanya yang belum benar-benar sembuh, tapi ia selalu tampak lebih sehat setiap harinya.Dan setiap pagi, aku akan melihatnya duduk di bawah sinar matahari, menyesap teh sambil membaca laporan yang dikirim Ye Tinghan dari markas perbatasan.Haha, sudah mirip dengan jenderal pensiunan padahal usianya saja baru dua puluh satu tahun. Kadang, aku duduk di sebelahnya. Kadang, aku hanya memandangi punggungnya dari teras. Aku baru menyadari betapa tenang wajahnya saat tidak mengenakan baju perang—sudah lama sejak aku melihatnya sesantai ini."Kenapa melihatku seperti itu?" dia bertanya tanpa menoleh. Pagi ini, kami duduk di paviliun taman dan sarapan bersama. "Karena tidak setiap hari aku bisa melihat Jenderal Ye tanpa bau darah dan peluh," jawabku sambil menahan tawa.Dia terkekeh pelan, lalu menatapku balik. "Kau ini kenapa?Sudah dua bulan aku hanya dipenuhi aromamu yang ma
Dua bulan telah berlalu sejak kebakaran yang menghebohkan itu.Hari-hari di Kediaman Ye berjalan seperti aliran sungai yang tenang. Aku terbiasa membuka mata pada fajar, menyiapkan teh untuk Ye Qingyu, lalu duduk di beranda sembari memandangi taman yang mulai ditumbuhi bunga musim semi.Aku mulai terbiasa dengan kedamaian ini, aroma kayu cendana di aula utama, dengan langkah kaki para pelayan yang ramah, dan dengan cara Ye Qingyu memandangku setiap kali aku menyiapkan sarapannya.Rasanya aneh, karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa berkata bahwa aku hidup seperti seorang istri pada umumnya.Ye Tinghan dan Ye Xuanqing sudah kembali ke pos masing-masing di Timur dan Utara. Mereka berdua sibuk seperti biasa.Sementara Ye Qingyu masih di rumah, menjalani masa cutinya yang panjang. Luka-lukanya dari medan perang belum sepenuhnya pulih, meski dia bersikeras bahwa dirinya baik-baik saja.Kadang aku menangkapnya mengerang pelan saat duduk terlalu lama. Kadang aku memergokinya me
"Lama tidak mendengar kabarmu, Adik Ipar. Kau tampak lebih sehat dari hang kubayangkan, ya." Ye Qingyu menyapanya dengan senyum ramah.Ah, astaga, tapi yang dia katakan itu sama sekali bukan sapaan yang baik. Tapi ini bukan saatnya untuk membahas itu. Aku menatap Chuanyan dengan raut datar, gadis yang kini telah berusia enam belas tahun itu menatapku jengkel seolah-olah terganggu dengan kedatanganku. "Seperti yang sudah kukatakan, aku datang untuk mengantarku pulang, ke rumahmu sendiri." "Hah? Kakak mau membiarkanku tinggal di rumah yang hangus itu?" dia bertanya dengan nada marah sambil menatapku dengan ekspresi kesal. "Hei …, kau sungguh berpikir aku bisa setega itu?" "Selama itu Kakak dan aku, tidak ada yang tidak mungkin." Aku mendengus. "Yang penting, sekarang kamu berkemaslah dan kita segera pergi dari sini. Atau aku akan berubah pikiran dan membuangmu di jalanan." Aku berbalik dan meninggalkan kamarnya. Aku juga menyuruh pelayan yang kami bawa dari kediaman baru Chuanyan
Paginya aku terbangun lebih awal dari Ye Qingyu. Tapi tubuhku terasa benar-benar kurang tidur. Ye Qingyu terlelap pukul dua. Tapi tepat setelah dia tidur, Chunhua mengirimiku makan malam. Jadi aku memutuskan segera mandi lalu makan.Sebenarnya aku bisa saja melewatkan makan malam, tapi itu bisa memengaruhi kualitas tidurku. Jadi aku harus memastikan perutku sudah kenyang sebelum tidur. Dan itu rasanya benar-benar menyegarkan begitu bangun. Hanya sedikit rasa mengantuk saja.Aku meminta Chunhua menyiapkan air hangat untuk Ye Qingyu mandi. Aku berniat membangunkannya. Tapi ternyata dia sudah membuka mata.Dengan senyum hangat yang polos, dia menyapaku. "Istriku,selamat pagi."Aku tersenyum. "Selamat pagi. Tidurmu nyenyak sekali, ya.""Bagaimana denganmu?" dia menatapku, tapi tatapanku malah fokus ke tubuhnya yang bertelanjang dada dan hanya berbalut selimut untuk menutupi puser hingga kakinya."Cepat mandi. Semua orang menunggu kita untuk sarapan." Aku berbalik setelah menyadari bahwa







