Share

Bab 2 : 10 Tahun Yang Lalu

Author: Xiao Chuhe
last update Last Updated: 2025-05-19 11:30:59

Kamar Zhou Chuanyan?

Bagaimana aku bisa berada di sini? Aku berdiri saking terkejutnya. Dan lebih terkejut lagi ketika aku benar-benar berdiri.

"Hei hei …," aku bergumam pada diriku sendiri.

Bagaimana ini mungkin? Kakiku membusuk dan bernanah karena berendam terlalu lama. Tubuhku bengkak dan lebam-lebam karena terlalu banyak dipukuli para sipir penjara.

Belum lagi, tanganku ini susah sekali digerakkan sejak terakhir kali aku menggunakannya. Ah …, aku mengedarkan pandanganku dengan hati-hati.

Mataku tidak buram lagi.

Apa maksudnya ini?

Aku menatap Zhou Chuanyan yang tidur lelap di atas ranjangnya. Semangkuk obat yang hanya tersisa mangkuknya saja tergeletak di atas meja.

Aku yang masih mencerna situasi ini, tetap merasa bingung dengan apa yang terjadi.

Seharusnya aku mati begitu aku merasakan pisau besar itu menyentuh leherku. Tapi aku malah bangun di kamar Zhou Chuanyan?!

Kalau begitu …, sepertinya aku ….

Ini tidak masuk akal. Aku berlari keluar untuk melihat situasi yang bisa kupahami.

Beberapa pelayan berlalu-lalang melakukan pekerjaan pagi. Saat ada yang lewat di hadapanku, aku menahannya dan bertanya.

"Tahukah kamu ini hari apa?"

"I-ini hari Kamis, Nona."

"Kamis?" aku membeo pelan.

Eksekusi itu dilakukan di hari Rabu. Apakah aku hanya tertidur saja? Ini hari setelah eksekusi itu? Tapi tubuhku sehat sekali ….

"Nona?" Pelayan itu membuyarkan lamunanku.

"Ya?"

Raut wajahnya terlihat kesal, "Anda ini sedang apa? Cepat siapkan air hangat untuk Nona Kedua mandi! Lalu rebus obat dan membeli camilan manis sebagai makanan penutup untuk Nona Kedua. Bagaimana mungkin Anda santai sekali."

Aku membulatkan mata, "Memandikan Zhou Chuanyan? Me-merebus obat?"

"Haah, Nona. Apakah Anda melupakan tugas Anda hanya karena belum sarapan? Bisa-bisanya Anda terkejut begitu." Pelayan itu terlihat ingin segera pergi dari hadapanku.

"Tugas apa yang kau maksud?! Bukankah Zhou Chuanyan itu tidak memercayaiku lagi? Dia bilang aku meracuni obatnya, kan? Aku sampai dihukum di Istana Kekaisaran dan hampir mendapat eksekusi mat—"

"Apa yang Anda bicarakan itu, sih? Mimpi ya? Dasar tidak jelas. Cepat lakukan tugas Anda, Nona! Nanti Tuan Adipati Agung memarahi saya lagi!"

"Hei, tunggu! bagaimana dengan eksekusinya? Ayah memaafkanku begitu saja meski aku sudah hampir dieksekusi mati karenanya juga?" Aku menahan pelayan itu selama mungkin.

Dia mengernyit heran dan merasa aku sudah tidak waras. Dia segera menjaga jarak dan menatap dengan alis berkerut, "Anda ini apa-apaan?! Apanya yang eksekusi mati? Apanya yang Tuan Adipati? Haah, silakan cuci wajah terlebih dahulu supaya keluar dari mimpi Anda, Nona."

Aku membeku di tempat. Apa maksudnya ini? Seolah-olah aku adalah orang yang paling tidak tahu apa-apa? Suasana ini ….

"Tunggu!" aku berseru lagi.

Pelayan itu berbalik menatapku dengan malas.

"Se-sekarang tanggal berapa?"

"Hah?" dia menaikkan sebelah alisnya karena heran. "Kenapa tiba-tiba menanyakan hal tidak jelas begitu? Bukannya segera beker—"

"Cepat katakan! Sekarang tanggal berapa?" aku berseru sepenuh tenaga. Tanganku gemetar karena takut mendengar jawabannya.

Dia terdiam sejenak karena terkejut, "Tanggal 7 bulan 10, tahun ke-50 Dinasti Dayu …."

Tahun ke-50? Berarti aku kembali ke masa lalu?

Tidak. Tepatnya, kembali ke sepuluh tahun yang lalu?

Aku terhuyung-huyung, lalu segera berlari menuju kamarku sendiri.

Kamar kecil di ujung lorong yang gelap dan pengap ini adalah kamarku sejak kedatangan Zhou Chuanyan saat usiaku dua belas tahun.

Tunggu.

Kalau ini sepuluh tahun yang lalu, berarti lima tahun telah berlalu sejak kedatangan Zhou Chuanyan, ya.

Tidak kusangka Langit akan menolakku. Dewa tidak mendengarkan doaku. Apakah aku manusia berdosa yang tidak pantas mendapatkan kebebasan? Aku ingin terpisah dari rumah ini ….

Atau aku akan kembali mati menerima eksekusi mati tidak masuk akal itu ….

Air mataku menetes.

Aku benar-benar telah kembali ke masa lalu …. Di keluarga ini lagi. Menyedihkan.

Aku mengurung diri di kamar, memikirkan bagaimana caranya keluar dari sini. Aku tidak mau hidup sebagai perawat untuk Zhou Chuanyan yang sakit itu.

Dan berakhir di panggung eksekusi lagi.

Aku akan pergi dari sini dan mencari kebebasanku.

Terdengar suara pukulan keras di pintu kamarku. Aku segera keluar untuk menghentikan suara berisik itu.

"Ibu?" aku menatap datar.

Orang yang sudah mengusulkan untuk memenjarakanku di kehidupan sebelumnya itu …, kini sedang berdiri di hadapanku dengan wajah murka.

"Kenapa kau meninggalkan adikmu sendirian?" pertanyaan itu selalu berulang setiap kali aku kembali ke kamar sebentar bahkan hanya untuk mengambil sesuatu.

Ibuku marah untuk semua hal yang berkaitan dengan keselamatan Zhou Chuanyan.

"Aku hanya ingin beristirahat sebentar, Ibu." Aku melengos, kembali ke dalam.

"Dasar anak ini, ya! Kau sudah berani melawan Ibu?" Dia mengangkat tangannya dan bersiap mau memukulku.

"Ibu …, jangan marahi Kakak! Jangan marahi Kakak! Soal aku terjatuh itu …, bukan salah Kakak, itu karena aku sendiri yang ceroboh …." Zhou Chuanyan tiba-tiba muncul dan menghentikan Ibu yang nyaris saja menamparku.

Aku menatap malas ke arahnya, dia pasti berpura-pura sangat memikirkanku supaya Ibu semakin menyalahkanku.

"Tetap saja! Alasan kau bisa terjatuh karena dia tidak ada di sana. Lagipula kenapa kau tidak memanggilnya saja dan bersikeras mengambil air minum sendiri? Kan jadi terjadi hal seperti ini." Ibu membelai rambutnya dengan lembut.

"Aku baik-baik saja, Ibu …"

"Baiklah, baiklah. Lain kali putriku jangan terlalu lembut terhadapnya, ya. Nanti dia jadi tidak tahu diri."

Aku tertunduk, tanpa kusadari sebelumnya, aku sudah mengalah pada Zhou Chuanyan setiap hari. Aku membiarkan Ibu menyalahkanku setiap kali Zhou Chuanyan merasa sakit.

Aku memilih diam saja meski Zhou Chuanyan menuduhku melakukan sesuatu yang menyakitinya sebagai bentuk kecerobohan yang harus dimaafkan.

Seolah-olah aku ceroboh dan Ibu memarahiku, lalu dia sok menjadi pahlawan yang membelaku di depan Ibu.

Dia melakukan berbagai macam hal buruk untuk menurunkan citraku di mata keluargaku.

Dan itu telah berlangsung selama lima belas tahun di kehidupanku sebelumnya.

Aku kembali ke sepuluh tahun lalu, setelah mati karena tuduhan tidak benar yang dilemparkan adikku sendiri. Sudah sejauh ini kesempatan yang kudapat, tidak mungkin aku tetap membiarkan diriku terjebak dalam permainan licik Zhou Chuanyan si lemah ini, kan?

"Kakak, aku minta maaf …, aku tidak akan membiarkan ini terjadi lagi, jadi kalau Kakak lelah, masuk dan beristirahatlah sejenak, aku baik-baik saja, uhuk." Zhou Chuanyan terbatuk-batuk, tubuhnya berkeringat dan raut wajahnya sangat buruk.

Aku tahu sakitnya itu betulan. Tapi semua sikap sok pedulinya itu tidak benar-benar dia tujukan padaku.

"Baiklah, terima kasih." Aku langsung berbalik dan menutup pintu kamarku.

Zhou Chuanyan terlihat bingung, dia belum meninggalkan area depan kamarku seolah terkejut dengan perubahan sikapku.

Sepertinya memang begitu.

Karena jika ini bukan kehidupan kedua, aku akan segera mengantarnya ke kamar dan berkata kalau aku tidak perlu istirahat.

Dulu aku sangat haus kasih sayang Ayah dan Ibu. Jadi aku akan melakukan semua perintah mereka untuk merawat adikku supaya mereka mengakuiku lagi seperti dulu.

Setelah lima belas tahun berusaha, aku tahu itu usaha yang sia-sia.

Aku mengintip dari balik celah. Zhou Chuanyan sudah kembali ke kamarnya diantar oleh Ibu. Yang terus mengomel padanya agar tidak terlalu melunak terhadapku.

Haah, Ibu tidak sadar bahwa dia terlalu memanjakan manusia lemah itu. Sampai-sampai dia menjadi tidak tahu diri dan berani mencelakai kakak kandungnya sendiri.

Aku merebahkan diri di atas ranjang. Ternyata rasanya sangat nyaman …. Selama berada di penjara, aku tidur di tanah yang dingin, dan tidak memakai sehelai pun selimut.

Kini aku kembali ke masa lalu, aku harus memikirkan cara bagaimana agar aku bisa terbebas dari ikatan yang menjengkelkan ini.

Aku bertanya-tanya bagaimana keluarga ini bisa begitu membeda-bedakan diriku dan Zhou Chuanyan padahal kami sama-sama putri mereka?

Sekarang aku tidak mengharapkan pengakuan apa pun lagi. Meski keluarga kandung sekali pun, mereka yang duluan membuangku. Aku tidak bersalah kalau memutuskan untuk pergi sekarang.

Bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini?

Bagaimana pun, seorang gadis dari keluarga terpandang tidak bisa keluar begitu saja dari keluarganya. Kecuali karena satu hal.

Yaitu pernikahan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 175 : Pemimpin Baru

    Barak besar di lapangan luas sisi timur berdiri muram dalam bayangan senja. Tak ada riuh sorak seperti di gerbang utama, di sini hanya sunyi yang menyayat telinga, seolah udara pun bahkan menolak bergerak. Langkah kakiku berat ketika memasuki ruangan, dan seketika pandanganku disergap oleh barisan prajurit wanita yang berjongkok di lantai, wajah mereka muram dan mata sembab. Ada sekitar tujuh ratus orang, aku tahu siapa mereka. Mereka adalah prajurit wanita yang dilatih sendiri oleh Xin Jian selama bertahun-tahun demi peperangan hari ini. Begitu melihatku, mereka spontan berdiri. Beberapa menunduk dengan mata basah, yang lain menatapku dengan sorot luka, seakan kepergian pemimpin mereka adalah luka yang tak bisa dijahit. Dada ini terasa diremas, napasku tercekat.Melihat mereka semua, membuatku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku merasa bersalah karena gagal menjauhkan Xin Jian dari kematian. Di sisi lain, aku merasa senang karena sebagian besar dari mereka berhasil bertahan

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 174 : Pemakaman

    Pemakaman Xin Jian digelar keesokan harinya. Langit Yangzhou masih kelabu, seakan turut berkabung. Asap dupa mengepul tipis, bercampur bau tanah basah dan anyir darah yang masih melekat di udara pasca perang. Gerbang kota yang semalam dipenuhi sorak kemenangan kini berubah senyap; ribuan pasang mata menunduk hening.Aku berdiri di depan keranda sederhana yang ditutup kain hitam. Jantungku berat, dadaku seperti diikat rantai besi. Semalam aku meraung, memeluk jasadnya sampai tubuhku sendiri hampir ikut membeku. Kini, aku harus merelakan dia berbaring di sini, di hadapan pasukan yang datang memberi penghormatan terakhir. Dadaku sesak. Aku merasa gagal. Takdir ini bagai tali besi yang tidak bisa kutarik, tidak bisa kuputuskan.Ye Qingyu berdiri di sampingku, wajahnya tegang. Tangannya sesekali mencoba meraih lenganku, tapi aku menghindar pelan. Bukan karena aku ingin menjauh darinya, melainkan karena aku takut kalau aku bersandar, aku akan benar-benar roboh. Ia hanya bisa memandangku

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 173 : Duka Kemenangan

    "MENAAAANG!!!" Sorak sorai itu meledak di udara malam seperti guntur yang pecah. Dari puncak benteng hingga ke gerbang, suara ribuan pasukan yang bersorak bersatu menjadi gelombang yang mengguncang tanah. Aku berdiri tegak, tersenyum senang, air mata mengalir tanpa perlu kutahan lagi. Akhirnya. Setelah perjuangan selama berminggu-minggu, kemenangan berhasil kami rengkuh melakui tebasan Ayah Mertua di leher Jenderal Besar terakhir Kekaisaran Han. "Kita menang!" "Hidup Jenderal Besar!" "Hidup keluarga Ye!" Aku berlari ke gerbang untuk menyambut kepulangan para prajurit itu, jantungku ikut berdegup mengikuti teriakan itu. Api obor berkibar di kedua sisi jalan, memantulkan cahaya merah di wajah para prajurit yang kembali. Wajah penuh jelaga, pakaian compang-camping, darah menodai tubuh mereka. Tapi sorot mata mereka menyala, bangga, seakan semua luka dan lelah lenyap oleh satu kata, kemenangan. Aku melihat mereka berjalan masuk, barisan demi barisan, berbaris rapi mesk

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 172 : Kemenangan?

    Aku duduk di sisi ranjang, kain basah di tanganku menempel lembut pada dahi Ye Qingyu. Matanya meremang, tapi masih berusaha terbuka setiap kali aku mengusap peluh di pelipisnya."Suamiku, kau harus minum obat." Aku mengangkat mangkuk kecil berisi ramuan hangat, menyentuhkan bibirnya perlahan dengan tepi mangkuk. Cairan itu pahit, aku tahu, tapi aku menahan tangannya supaya tidak menepis. "Kalau kau menolak, luka di dadamu tidak akan mengering."Dia menatapku samar, dan tersenyum—senyumnya yang menyebalkan itu sudah kembali. "Ah, melihatmu di sini saja sudah cukup membuatku merasa sembuh." Aku menatapnya dengan mata memicing. "Merasa sembuh dan sembuh sungguhan itu berbeda, Ye Qingyu. Kau harus meminumnya agar sembuh sungguhan."Dia terbatuk, tubuhnya berguncang. Aku segera menahan bahunya, menunduk begitu dekat hingga keningku hampir menyentuh wajahnya. Bau obat, bau besi, dan aroma tubuhnya yang masih asing bercampur jadi satu. "Kau lihat, merasa sembuh saja tidak cukup. Kau harus

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 171 : Tempat Perempuan

    Udara di dalam tenda begitu pengap. Aroma herbal bercampur darah kering menusuk hidungku, membuat napas serasa berat. Aku masih menggenggam tangan Qingyu erat-erat, merasakan jemarinya yang dingin bergetar samar."Xi'er …," suara itu lirih, serak, hampir hilang ditelan dentuman jauh di luar perkemahan. Matanya terbuka hanya setipis celah, tapi cukup untuk menusuk dadaku dengan tatapan yang rapuh. "Xi'er, kenapa …, kau ada di sini?"Aku menunduk, air mataku jatuh satu-persatu ke perban yang melilit dadanya. "Aku tidak mungkin duduk diam di kediaman, YeQingyu. Aku istrimu. Tempatku ada di sini, bahkan jika dunia di luar runtuh sekalipun."Dia tersenyum tipis, tapi segera terbatuk. Darah merembes di sudut bibirnya. Tabib yang berdiri di dekat ranjang segera maju, melotot padaku."Nyonya Muda, saya menyarankan untuk tidak membiarkan Tuan Muda banyak bicara. Luka di dadanya terlalu dalam. Paru-parunya tertusuk. Setiap kata bisa memperburuk pendarahan."Aku tersentak. Tanganku refleks menut

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 170 : Bertemu Ye Qingyu

    Kereta kuda itu melaju kencang meninggalkan kediaman Ye. Angin malam memukul wajahku, menusuk kulit, tapi sama sekali tidak mampu membekukan pikiranku yang mendidih. Chunhua duduk di hadapanku dengan wajah tegang, kedua tangannya menggenggam erat sisi kursi seolah takut aku sewaktu-waktu meloncat keluar."Nyonya Muda, perjalanan ini sangat berbahaya. Yangzhou sedang kacau. Bagaimana kalau kita tetap menunggu di kediaman saja? Saya yakin Tuan Muda Ketiga dan Nyonya Besar tidak akan suka melihat Anda berada di sana, Nyonya Muda," suaranya penuh kekhawatiran.Aku memejamkan mata, menahan sesak yang terus menghantam dadaku. "Kalau aku hanya duduk diam berpangku tangan di kediaman, aku hanya akan hidup dalam penyesalan karena tidak melakukan hal yang kumampu dalam hal ini.. Aku tidak bisa berdiam diri, Chunhua.""Tapi—""Tidak ada tapi!" aku menajamkan suara, membuka mata dan menatap lurus ke arahnya. "Aku adalah istri Jenderal Ketiga Ye. Jika aku gentar hanya untuk menempuh perjalanan ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status