Setelah terpikirkan solusi itu, aku mengingat seorang pria dari kehidupanku yang sebelumnya, dia cukup menarik perhatian para gadis dari keluarga bangsawan besar seperti Zhou Chuanyan.
Pada saat aku berusia dua puluh empat tahun, Keluarga Jenderal Ye kembali menggemparkan seluruh Beizhou. Beliau memiliki tiga orang anak yang semuanya adalah laki-laki. Putra Pertama, Ye Tinghan telah memenuhi tugasnya sebagai jenderal setelah ditugaskan di Perbatasan Barat, Nanzhou. Lalu putra keduanya, Ye Xuanqing menjadi jenderal bawahannya di Perbatasan Utara, tempat tinggal kami, Beizhou. Lalu ada seorang putra bungsu, bernama Ye Qingyu yang sebelumnya tidak begitu menonjol, tapi tiba-tiba begitu terkenal di seluruh dinasti setelah mengalahkan lima puluh ribu pasukan barbar hanya dengan membawa sepuluh ribu pasukan kavaleri yang lemah. Pada tahun itu, prestasinya benar-benar merubah pandangan seluruh dunia. Karena dulunya Ye Qingyu tidak pernah dipandang tinggi oleh masyarakat Beizhou meski dirinya berasal dari keluarga Jenderal terpandang. Ya …, bisa dibilang kami bernasib serupa. Hanya saja dia berusaha untuk merubah nasibnya, tidak seperti aku yang tidak berani melangkah lebih jauh meski jalan di depan memiliki berbagai tujuan yang lebih baik. Kalau aku memilikinya sebagai suamiku, bukankah aku bisa pergi dari rumah ini? Dengan gantinya, aku akan membantu Ye Qingyu mencapai kesuksesannya lebih awal dari kehidupan sebelumnya. Masalahku sekarang adalah …, bagaimana caranya aku bisa bertemu dengannya? Aku tidak pernah keluar dari kediaman dan tidak tahu bagaimana rupa Ye Qingyu itu. Ah …. Karena ini awal musim gugur saat usiaku tujuh belas tahun, itu artinya Kediaman Jenderal Ye belum mengadakan perjamuan bunga musim gugur yang diadakan setiap tahun itu, kan? Di kehidupan sebelumnya, Zhou Chuanyan diundang untuk menghadiri perjamuan itu juga. Karena dia adalah putri penguasa kota ini, tentu saja dia merupakan tamu terhormat yang diundang Nyonya Besar Ye dalam perjamuannya. Aku harus bisa mengikuti perjamuan itu bersama Zhou Chuanyan untuk bisa bertemu dengan Ye Qingyu. Setelah itu, rencana berikutnya bisa dipikirkan pelan-pelan. *** Pada hari perjamuan bunga musim gugur itu tiba, Zhou Chuanyan berpikir untuk hanya membawa pelayannya saja dari pada mengajakku yang kakaknya sendiri. Lalu kakak laki-laki kami, Zhou Chenxi menerobos keributan untuk ikut campur. "Hei, Zhou Jingxi, orang sepertimu memangnya punya gaun sebagus apa untuk kau pamerkan di Kediaman Jenderal Ye? Jangan-jangan kau hanya mau pakai baju lusuh itu? Mau mempermalukan keluargamu atau bagaimana?" Aku mengepalkan tangan dengan kesal, "Aku juga punya pakaian bagus yang kupakai untuk mengikuti perjamuan itu. Kenapa aku tidak boleh ikut padahal aku sama-sama gadis dari keluarga ini?" Zhou Chuanyan tidak membalasnya dengan kalimat lembut yang menusuk seperti biasa. Tatapannya saat menatapku pun berbeda. Seolah dia tidak menyangka dengan apa yang kulakukan hari ini. Yeah …, tentu saja Karena Zhou Jingxi yang dulu, pasti akan merengek dan memohon pada Ibu agar aku bisa mengikuti adikku dengan alasan menjaganya. Tapi aku ingin ikut bukan untuk menjaga orang lemah ini. Aku punya tujuanku sendiri. Aku, Zhou Jingxi. Sudah bertekad tidak akan menjadi budak orang lemah lagi. Karena keras kepalaku ini, Zhou Chuanyan tersenyum lembut dan memegang kedua tanganku dengan hangat. "Kakak tidak perlu mengkhawatirkanku, aku bisa menjaga diri sendiri dengan baik." Haha …. Sudah pasti dia akan mengatakan itu. "Siapa yang bilang kalau aku mengkhawatirkanmu? Aku hanya mengambil hakku sebagai putri keluarga ini. Lagi pula tidak ada larangan dari Nyonya Besar Ye yang menyebutkan bahwa aku tidak boleh datang, kan? Kenapa kau sibuk sekali salah paham sendiri?" "Zhou Jingxi!" Ibu berteriak. Aku terhenyak sedikit. Berusaha tidak menggoyahkan tekadku yang sudah bulat ini. "Eh, hehe …, Kakak ada benarnya juga. Aku minta maaf karena tidak memahami Kakak dengan baik. Aku tidak tahu kalau Kakak juga tertarik dengan perjamuan bunga musim gugur …." "Biasanya kan, Kakak hanya menyukaiku, merebus obat untukku, dan menyelimutiku saat aku tidur. Aku tidak menyangka ternyata Kakak memiliki kegemaran lain juga." Zhou Chuanyan tersenyum licik. Aku mengernyit jijik, "Kenapa kau percaya diri sekali? Kalau bukan karena Ibu dan Ayah yang memintaku merawatmu, memangnya aku sudi melakukan itu? Buang-buang waktu dan saja." Plak!! Aku memegangi pipiku yang berdenyut nyeri, rasa panas menjalar dengan cepat. Aku menatap Ibu dengan pupil mata bergetar. Mentalku selalu saja lemah setiap kali Ibu melakukannya. Lidahku tiba-tiba kelu dan tidak mampu mengatakan pembelaan apa pun lagi. "Zhou Jingxi, sejak kapan kau tumbuh menjadi anak yang begitu tidak tahu terima kasih?!" "Kalau bicara tentang tidak tahu terima kasih, bukankah itu lebih cocok digunakan untuk mengatai Zhou Chuanyan? Kapan dia pernah berterima kasih padaku yang sudah merawatnya selama lima tahun ini?" aku menatap datar ke arah adikku yang lemah itu. "Dasar anak tak tahu diri—!" "Ibu! Jangan memukul Kakak lagi!" Zhou Chuanyan merentangkan kedua tangannya sambil berseru membelaku. "Ka-karena Kakak ingin ikut, kenapa tidak kita biarkan saja? Lagi pula aku memang merasa lebih baik kalau ada Kakak di sampingku. Aku …, merasa ada orang yang akan melakukan apa saja demi keselamatanku karena ada Kakak." Zhou Chuanyan menatapku dan tersenyum. Sudahlah. Terserah katanya saja. Aku tidak peduli dia mau menganggapku apa. Yang penting aku harus menghadiri perjamuan itu. Kalau ini masih kehidupan sebelumnya, aku akan tersenyum sambil merasa bangga mendengar kalimat yang seolah 'pujian' itu. Tapi sekarang aku mengerti. Bagi Zhou Chuanyan, aku hanya seorang kakak yang bisa dimanfaatkan sesuka hatinya. Dan akan dibuang kalau sudah tidak berguna lagi. Aku sudah kenyang mengalami hal buruk karena keegoisan Zhou Chuanyan. Jadi aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. *** Perjamuan Bunga Musim Gugur. Aku tidak menyangka akan menemukan sesuatu yang sangat mengejutkan begitu tiba di tempat yang penuh kemewahan itu. "Dasar bajingan tak tahu diri! Seharusnya kau tidak muncul di sini! Akan seperti apa pandangan para gadis bangsawan itu karena datang jauh-jauh tapi malah anak haram sepertimu yang menyambut mereka? Ye Qingyu, kau mulai berani membantah?"Malam harinya, pesta kemenangan diadakan di pusat barak. mereka bersenda gurau seperti biasa, yang berduka memberikan penghormatan terakhir pada yang meninggalkannya. Kendi-kendi arak diturunkan, hidangan-hidangan khas Yangzhou memenuhi meja-meja panjang. Keluargaku berkumpul, Ye Qingyu sudah lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dia duduk menunggu makanan bersamaku. Aku mengamati Ye Xuanqing yang masih berwajah muram. Melihat orang yang biasanya ceria dan banyak cerita tiba-tiba menjadi begitu pendiam, membuatku merasa bersalah karena telah melimpahkan kesalahan padanya. Padahal kematian Xin Jian sepenuhnya kehendak Langit. Tanpa perlu campur tangan Ye Xuanqing pun, takdir tidak bisa dihindari begitu saja. Kemarin aku menyalahkannya, padahal seharusnya aku bersyukur karena dia tidak mati menggantikan Xin Jian. Selain itu, usahaku sama sekali tidak pernah sia-sia. Karena tujuh ratus prajurit wanita milik Xin Jian, tetap dapat melanjutkan hidup mereka dengan baik. Itu adalah
Barak besar di lapangan luas sisi timur berdiri muram dalam bayangan senja. Tak ada riuh sorak seperti di gerbang utama, di sini hanya sunyi yang menyayat telinga, seolah udara pun bahkan menolak bergerak. Langkah kakiku berat ketika memasuki ruangan, dan seketika pandanganku disergap oleh barisan prajurit wanita yang berjongkok di lantai, wajah mereka muram dan mata sembab. Ada sekitar tujuh ratus orang, aku tahu siapa mereka. Mereka adalah prajurit wanita yang dilatih sendiri oleh Xin Jian selama bertahun-tahun demi peperangan hari ini. Begitu melihatku, mereka spontan berdiri. Beberapa menunduk dengan mata basah, yang lain menatapku dengan sorot luka, seakan kepergian pemimpin mereka adalah luka yang tak bisa dijahit. Dada ini terasa diremas, napasku tercekat.Melihat mereka semua, membuatku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku merasa bersalah karena gagal menjauhkan Xin Jian dari kematian. Di sisi lain, aku merasa senang karena sebagian besar dari mereka berhasil bertahan
Pemakaman Xin Jian digelar keesokan harinya. Langit Yangzhou masih kelabu, seakan turut berkabung. Asap dupa mengepul tipis, bercampur bau tanah basah dan anyir darah yang masih melekat di udara pasca perang. Gerbang kota yang semalam dipenuhi sorak kemenangan kini berubah senyap; ribuan pasang mata menunduk hening.Aku berdiri di depan keranda sederhana yang ditutup kain hitam. Jantungku berat, dadaku seperti diikat rantai besi. Semalam aku meraung, memeluk jasadnya sampai tubuhku sendiri hampir ikut membeku. Kini, aku harus merelakan dia berbaring di sini, di hadapan pasukan yang datang memberi penghormatan terakhir. Dadaku sesak. Aku merasa gagal. Takdir ini bagai tali besi yang tidak bisa kutarik, tidak bisa kuputuskan.Ye Qingyu berdiri di sampingku, wajahnya tegang. Tangannya sesekali mencoba meraih lenganku, tapi aku menghindar pelan. Bukan karena aku ingin menjauh darinya, melainkan karena aku takut kalau aku bersandar, aku akan benar-benar roboh. Ia hanya bisa memandangku
"MENAAAANG!!!" Sorak sorai itu meledak di udara malam seperti guntur yang pecah. Dari puncak benteng hingga ke gerbang, suara ribuan pasukan yang bersorak bersatu menjadi gelombang yang mengguncang tanah. Aku berdiri tegak, tersenyum senang, air mata mengalir tanpa perlu kutahan lagi. Akhirnya. Setelah perjuangan selama berminggu-minggu, kemenangan berhasil kami rengkuh melakui tebasan Ayah Mertua di leher Jenderal Besar terakhir Kekaisaran Han. "Kita menang!" "Hidup Jenderal Besar!" "Hidup keluarga Ye!" Aku berlari ke gerbang untuk menyambut kepulangan para prajurit itu, jantungku ikut berdegup mengikuti teriakan itu. Api obor berkibar di kedua sisi jalan, memantulkan cahaya merah di wajah para prajurit yang kembali. Wajah penuh jelaga, pakaian compang-camping, darah menodai tubuh mereka. Tapi sorot mata mereka menyala, bangga, seakan semua luka dan lelah lenyap oleh satu kata, kemenangan. Aku melihat mereka berjalan masuk, barisan demi barisan, berbaris rapi mesk
Aku duduk di sisi ranjang, kain basah di tanganku menempel lembut pada dahi Ye Qingyu. Matanya meremang, tapi masih berusaha terbuka setiap kali aku mengusap peluh di pelipisnya."Suamiku, kau harus minum obat." Aku mengangkat mangkuk kecil berisi ramuan hangat, menyentuhkan bibirnya perlahan dengan tepi mangkuk. Cairan itu pahit, aku tahu, tapi aku menahan tangannya supaya tidak menepis. "Kalau kau menolak, luka di dadamu tidak akan mengering."Dia menatapku samar, dan tersenyum—senyumnya yang menyebalkan itu sudah kembali. "Ah, melihatmu di sini saja sudah cukup membuatku merasa sembuh." Aku menatapnya dengan mata memicing. "Merasa sembuh dan sembuh sungguhan itu berbeda, Ye Qingyu. Kau harus meminumnya agar sembuh sungguhan."Dia terbatuk, tubuhnya berguncang. Aku segera menahan bahunya, menunduk begitu dekat hingga keningku hampir menyentuh wajahnya. Bau obat, bau besi, dan aroma tubuhnya yang masih asing bercampur jadi satu. "Kau lihat, merasa sembuh saja tidak cukup. Kau harus
Udara di dalam tenda begitu pengap. Aroma herbal bercampur darah kering menusuk hidungku, membuat napas serasa berat. Aku masih menggenggam tangan Qingyu erat-erat, merasakan jemarinya yang dingin bergetar samar."Xi'er …," suara itu lirih, serak, hampir hilang ditelan dentuman jauh di luar perkemahan. Matanya terbuka hanya setipis celah, tapi cukup untuk menusuk dadaku dengan tatapan yang rapuh. "Xi'er, kenapa …, kau ada di sini?"Aku menunduk, air mataku jatuh satu-persatu ke perban yang melilit dadanya. "Aku tidak mungkin duduk diam di kediaman, YeQingyu. Aku istrimu. Tempatku ada di sini, bahkan jika dunia di luar runtuh sekalipun."Dia tersenyum tipis, tapi segera terbatuk. Darah merembes di sudut bibirnya. Tabib yang berdiri di dekat ranjang segera maju, melotot padaku."Nyonya Muda, saya menyarankan untuk tidak membiarkan Tuan Muda banyak bicara. Luka di dadanya terlalu dalam. Paru-parunya tertusuk. Setiap kata bisa memperburuk pendarahan."Aku tersentak. Tanganku refleks menut