Kenapa seperti ini …, kenapa …?
BRAKK!! Aku terdorong jatuh menimpa meja bobrok hingga hancur. Tubuhku sepertinya sudah mati rasa. Aku tidak merasakan sakit apa pun saat menimpa meja itu. "Bunuh penjahat itu!" "Bunuh, bunuh!" "Beraninya dia meracuni adiknya sendiri yang bahkan sedang sakit!" "Dasar binatang!" "Kau bahkan tidak pantas hidup di neraka!" "Mati kau, mati!" "Dasar sampah!" "Pengotor!" "Beraninya orang sepertimu menyandang marga Zhou milik Adipati Agung yang mulia!" "Mati kau!" "Pengacau! Sampah Kekaisaran!" Aku gemetar menahan makian yang penuh kebencian dari rakyat yang menunggu eksekusi mati yang akan dijatuhkan padaku. Aku menatap Ayah dan Ibu, serta adikku, Zhou Chuanyan yang memeluk Ayah dengan sangat erat seolah sangat ketakutan. Semua pemandangan itu menjadi buram dan tak terlihat jelas lagi. Samar-samar aku melihat Zhou Chuanyan tersenyum ke arahku. Ah …, apakah dia senang kalau aku akan mati sebentar lagi? Aku menatap kedua kakiku yang telanjang, lebam biru terlihat di mana-mana sampai tak terlihat seperti warna kulit lagi. Sudah lama aku tidak melihat kulitku berwarna normal sejak berendam air dingin pada hari itu. Rasanya juga tidak sakit lagi, padahal pertama kali direndam, aku menjerit dan meronta-ronta kesakitan karena rantai yang memborgol kakiku berkarat dan dipenuhi duri. Sejak tinggal di Penjara Dingin, aku mendapatkan berbagai macam siksaan untuk mengancamku. Mereka bilang akan memotong tangan dan kakiku kalau aku tidak mau mengaku. Pada akhirnya, meski tidak dipotong, kedua tangan dan kakiku lumpuh karena direndam air dingin selama berhari-hari tanpa henti. Mataku mulai kabur karena tidak pernah melihat matahari. Makananku tidak pernah layak konsumsi, roti yang keras, hampir busuk. Air yang keruh, berbau, harus kumasukkan ke dalam mulutku untuk bertahan hidup. Tapi aku tetap saja berakhir di mimbar pemenggalan ini …. Satu minggu yang lalu, adikku, Zhou Chuanyan yang sedang sakit itu tiba-tiba pingsan dan kondisinya kritis setelah meminum obat yang biasa dia minum. Sebagai orang yang mengurus makanan dan obat untuknya setiap hari, bulan dan tahun, tentu saja aku menjadi tersangka utama atas kasus yang diduga percobaan pembunuhan itu. Zhou Chuanyan dibawa ke Ibukota untuk mendapat penanganan dari tabib hebat di sisi Yang Mulia Ibu Suri. Pemeriksaan mengatakan bahwa obat yang dia minum bertolak belakang dengan kebutuhan medisnya, sehingga itu bisa membunuhnya kalau terlambat mendapat penanganan. Ayah dan Ibuku sangat murka dan menuduhku melakukan hal kotor itu. Aku menekankan bahwa aku selalu merebus obat yang sama setiap kali waktunya tiba. Tapi anehnya, adikku yang lemah itu mengatakan, "Hari itu, obat yang diberikan Kakak rasanya berbeda dari obat yang biasa kuminum, Ibu. Rasanya lebih pahit dan baunya membuatku pusing. Aku pikir itu memang resep dari kediaman …, tapi aku tidak menyangka ternyata Kakak sangat membenciku." Lalu dia menangis seolah-olah dia adalah korban sungguhan. Padahal aku tidak berbohong, aku benar-benar merebus obat yang sama seperti biasanya, karena aku selalu mencicipinya untuk mengetahui dosis yang tepat. Tapi Bisa-bisanya dia berbohong begitu? Dia begitu tidak menyukaiku sampai-sampai ingin menyingkirkanku untuk selamanya? Dia bahkan rela meminum racun itu hanya untuk menuduhku? Aku menatapnya tidak percaya, tapi Ibu dan Ayah tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan. "Sebenarnya aku sangat iri pada Kakak karena memiliki tubuh yang sehat, aku juga tidak ingin menjadi lemah dan merepotkan Kakak. Tapi sepertinya aku sangat merepotkan bagimu, ya, Kak? Kakak tidak tahan lagi mengurusku yang sedang sakit sampai memutuskan untuk mem—" "Sudah kubilang aku tidak melakukannya!" Aku berseru membentaknya saat itu juga. "Kalau tidak percaya, periksa saja data pembelian obatnya dalam dokumen keuangan keluarga! Aku tidak punya uang pribadi, jadi jangan berpikir aku membelinya secara rahasia! Anak itu hanya berbohong, karena aku sudah mengatakan yang sebenarnya!" Zhou Chuanyan meringkuk ketakutan di bawah ketiak Ayah. Dasar pengecut. Beraninya bermain di belakang orang dewasa! Gara-gara itu, aku dimasukkan ke Penjara Dingin Istana Kekaisaran, menunggu keputusan Departemen Kehakiman. Lalu entah bagaimana, tuduhan itu terbukti benar. Dan di sinilah aku berakhir. Panggung eksekusi mati di mimbar penghukuman Kekaisaran. Ratusan rakyat rendahan menonton dengan tatapan penuh kebencian dan rasa jijik yang dilontarkan kepadaku. Mereka membawa telur busuk, sayuran basi yang sudah berulat, kotoran kuda dan melemparinya ke arahku. Aku tidak mencium bau apa pun meski orang-orang menutup hidung mereka. Aku menerima lemparan barang-barang kotor itu begitu saja seolah bukan apa-apa. Tapi telingaku masih sangat tajam. Aku mendengar semua caci maki yang mereka serukan untukku. Pengotor, sampah Kekaisaran, binatang, penjahat. Ah …, siapa yang peduli? Lagi pula sebentar lagi aku akan mati. Aku melirik Zhou Chuanyan yang semakin menyembunyikan dirinya di belakang orang tua kandungku yang selalu melindunginya itu. Terlihat sekali wajahnya senang karena aku sudah hancur, kan? Walau eksekusi ini mungkin saja dibatalkan, tetap saja aku tidak bisa kembali lagi. Kakiku sudah membusuk, mataku sudah rusak, reputasiku diinjak-injak. Hidup pun, aku hanya akan mati digigit anjing. Apa bedanya? Zhou Chuanyan menyeringai lebar begitu menyadari aku sedang menatapnya. Kenapa orang jahat selalu beruntung? Astaga …. Aku tidak pernah melakukan kesalahan apa pun …, haruskah berakhir seperti ini? “Lakukan eksekusinya!" Aku mendongak menatap Kepala Departemen Kehakiman yang duduk di atas. Berseru lantang dengan tatapan enggan sambil melempar papan panjang sebagai tanda perintah pemenggalan. Kepalaku diletakkan di atas meja, air mataku menetes. Pandanganku semakin memburam. Samar-samar melihat sosok laki-laki di antara kerumunan rakyat yang menghinaku, berdiri termenung dengan raut wajah sayu. Dia siapa …? Apakah malaikat yang akan mencabut nyawaku? Pisau panjang yang tebal itu diayunkan. Aku memejamkan mata. Sungguh. Aku sangat ingin mati. Aku tidak ingin menjadi pelayan Zhou Chuanyan lagi. Aku tidak ingin diperlakukan tidak adil seperti ini. Aku hanya bisa mengharapkan satu hal. Jika Dewa memang ada dan mendengar setiap keluh kesah hambanya, semoga beliau mendengarkanku. Aku tidak ingin mengenal Keluarga Adipati Agung lagi jika diberi kesempatan untuk terlahir kembali. Aku …, juga berhak mendapat kebebasan, kan? SRAK! . . . "Ukh …." Aku meringis pelan, perlahan membuka mataku, silau. Apa yang terjadi? Apakah eksekusinya benar-benar dibatalkan? Tapi di sekitarku ini …, sudah bukan panggung eksekusi lagi. Melainkan …. Kamar Zhou Chuanyan?!Senja sudah habis ketika kami tiba di sebuah penginapan besar di persimpangan terakhir menuju jalur utama. Cahaya lentera bergoyang diterpa angin, memantul di papan kayu dengan tulisan usang. Prajurit-prajurit yang mengawal kami sebagian sudah berpamitan, sebagian besar infanteri telah diperintah kembali ke markas utama bersama para jenderal mereka, sisanya menuju perbatasan barat. Suasana terasa janggal, rombongan kami lebih sepi dari biasanya.Aku turun dari kereta, memandang sekeliling. Suara derap kaki kuda menjauh perlahan, meninggalkan suara serangga malam dan desir angin yang menusuk. Hatiku menegang, entah kenapa. Seakan ketenangan di pinggir sungai tadi siang hanyalah fatamorgana.Kami masuk ke aula penginapan. Ruangan dipenuhi aroma sup ayam, arak, dan kayu terbakar. Tuan Besar Ye duduk di kursi paling depan, wajahnya tegas seperti biasa, sementara Nyonya Besar menata piring dengan tangan kasarnya. Aku duduk di samping Ye Qingyu, meski selera makanku hilang entah ke mana.
Kereta berhenti di tepi sungai yang airnya jernih berkilau, memantulkan cahaya sore yang merambat turun. Angin semilir membawa aroma basah bebatuan dan dedaunan. Suara burung-burung kecil di pepohonan bercampur dengan gemericik arus, menciptakan harmoni yang menenangkan setelah berhari-hari perjalanan berat.Aku menyingkap tirai kereta, menghirup dalam-dalam udara segar itu. Rasanya seperti paru-paruku baru pertama kali diisi dengan kehidupan.Dan seketika aku melupakan aroma darah dan asap tebal di medan perang. Rasa syukurku kembali terucapkan melalui senyum lebar begitu melihat pemandangan ini. "Jingxi, kita istirahat di sini sebentar," suara Ayah terdengar dari luar, penuh wibawa tapi juga hangat. "Airnya jernih, kau bisa mencuci tangan dan wajahmu di sana."Aku turun bersama Ye Qingyu. Saat kakiku menyentuh tanah lembap, pandanganku menangkap Ye Xuanqing yang sudah lebih dulu melepas sepatunya, menaikkan celana sampai betis, lalu melompat masuk ke air dangkal."Xuanqing!" seru
Tiga hari setelah kemenangan besar itu, kami berdiri berderet di depan gerbang kota, barisan panjang yang memenuhi jalan utama. Langit Yangzhou begitu cerah, matahari bersinar lembut, seakan turut merayakan tercapainya perdamaian. Kibar bendera Beizhou dan panji Yangzhou berjejer, melambai ditiup angin musim semi. Sorak-sorai rakyat membahana, bergema hingga jauh ke balik tembok kota. Semua orang menanti kedatangan orang yang menjadi utusan sekaligus saksi kemenangan ini, Ye Tinghan.Ia muncul dari kejauhan, menunggang kuda hitam gagah. Di belakangnya, para prajurit yang mengawal surat itu bersamanya berjalan tegap, membawa kotak berukir naga emas, tempat disimpannya surat perdamaian dari Kekaisaran Han. Surat itu akan segera diserahkan pada Baginda Kaisar, bukti bahwa perang panjang telah berakhir, setidaknya untuk belasan tahun mendatang.Suara rakyat semakin membahana ketika rombongan semakin dekat. Aku bisa merasakan getaran tanah dari derap kuda, juga aroma debu bercampur kerin
Malam harinya, pesta kemenangan diadakan di pusat barak. mereka bersenda gurau seperti biasa, yang berduka memberikan penghormatan terakhir pada yang meninggalkannya. Kendi-kendi arak diturunkan, hidangan-hidangan khas Yangzhou memenuhi meja-meja panjang. Keluargaku berkumpul, Ye Qingyu sudah lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dia duduk menunggu makanan bersamaku. Aku mengamati Ye Xuanqing yang masih berwajah muram. Melihat orang yang biasanya ceria dan banyak cerita tiba-tiba menjadi begitu pendiam, membuatku merasa bersalah karena telah melimpahkan kesalahan padanya. Padahal kematian Xin Jian sepenuhnya kehendak Langit. Tanpa perlu campur tangan Ye Xuanqing pun, takdir tidak bisa dihindari begitu saja. Kemarin aku menyalahkannya, padahal seharusnya aku bersyukur karena dia tidak mati menggantikan Xin Jian. Selain itu, usahaku sama sekali tidak pernah sia-sia. Karena tujuh ratus prajurit wanita milik Xin Jian, tetap dapat melanjutkan hidup mereka dengan baik. Itu adalah
Barak besar di lapangan luas sisi timur berdiri muram dalam bayangan senja. Tak ada riuh sorak seperti di gerbang utama, di sini hanya sunyi yang menyayat telinga, seolah udara pun bahkan menolak bergerak. Langkah kakiku berat ketika memasuki ruangan, dan seketika pandanganku disergap oleh barisan prajurit wanita yang berjongkok di lantai, wajah mereka muram dan mata sembab. Ada sekitar tujuh ratus orang, aku tahu siapa mereka. Mereka adalah prajurit wanita yang dilatih sendiri oleh Xin Jian selama bertahun-tahun demi peperangan hari ini. Begitu melihatku, mereka spontan berdiri. Beberapa menunduk dengan mata basah, yang lain menatapku dengan sorot luka, seakan kepergian pemimpin mereka adalah luka yang tak bisa dijahit. Dada ini terasa diremas, napasku tercekat.Melihat mereka semua, membuatku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku merasa bersalah karena gagal menjauhkan Xin Jian dari kematian. Di sisi lain, aku merasa senang karena sebagian besar dari mereka berhasil bertahan
Pemakaman Xin Jian digelar keesokan harinya. Langit Yangzhou masih kelabu, seakan turut berkabung. Asap dupa mengepul tipis, bercampur bau tanah basah dan anyir darah yang masih melekat di udara pasca perang. Gerbang kota yang semalam dipenuhi sorak kemenangan kini berubah senyap; ribuan pasang mata menunduk hening.Aku berdiri di depan keranda sederhana yang ditutup kain hitam. Jantungku berat, dadaku seperti diikat rantai besi. Semalam aku meraung, memeluk jasadnya sampai tubuhku sendiri hampir ikut membeku. Kini, aku harus merelakan dia berbaring di sini, di hadapan pasukan yang datang memberi penghormatan terakhir. Dadaku sesak. Aku merasa gagal. Takdir ini bagai tali besi yang tidak bisa kutarik, tidak bisa kuputuskan.Ye Qingyu berdiri di sampingku, wajahnya tegang. Tangannya sesekali mencoba meraih lenganku, tapi aku menghindar pelan. Bukan karena aku ingin menjauh darinya, melainkan karena aku takut kalau aku bersandar, aku akan benar-benar roboh. Ia hanya bisa memandangku