Begitu sadar diriku seperti kelepasan bicara, aku segera menutup mulutku dan menghindari tatapannya.
Sialnya lagi, pemuda itu mendengar jelas seruanku dan berjalan mendekat dengan tatapan tajam dan dinginnya itu. Apa-apaan? Padahal ini sesuai dengan rencanaku, tapi aku malah dibuat sangat ketakutan olehnya? Aku melangkah mundur secara refleks, dan mencari apa pun yang bisa kujadikan pegangan tangan. "Dasar orang gila." Ye Qingyu mengataiku. Aku menelan ludah. Dia bukan orang yang bisa didekati sembarangan. Bagaimana? Bagaimana caranya agar aku bisa menjelaskan maksud ajakanku itu? Dia bahkan tidak bisa diajak bicara baik-baik. Aku tertunduk dalam. Aku terlalu ceroboh. Kalau sudah seperti ini, sepertinya Ye Qingyu malah akan membenciku. Dia pasti akan membenciku. Satu-satunya orang yang bisa membawaku keluar dari lubang gelap ini …, dia tidak boleh sampai membenciku. Aku menatapnya yang sudah pergi menjauh lagi. Tidak boleh. Tidak boleh pergi. Aku melangkahkan kakiku mengejar kepergiannya. Perlahan, semakin cepat, semakin lebar, semakin pasti. "Ye Qingyu," panggilku lagi. Pemuda itu enggan menoleh. "Aku bisa membuatmu tidak diabaikan lagi," aku segera mengungkapkan maksud kedatanganku. Aku tidak boleh menunda apapun lagi. Orang ini, harus bisa kudapatkan hari ini juga. Tapi dia bahkan seperti orang yang tidak tertarik diperhatikan. Benarkah dia Ye Qingyu yang itu? "Aku bisa membuatmu diakui Jenderal Ye! Aku bisa membuatmu mendapatkan kesuksesanmu lebih awal. Ye Qingyu, berhentilah dan dengarkan aku!" "Aku bukan orang yang diabaikan." Langkahku terhenti. Bukan orang yang diabaikan? Ye Qingyu segera menjauh, aku tidak bisa menyerah hanya karena satu perkataan itu. "Ye Qingyu!" "Haah …." Terdengar helaan napas berat dari mulutnya. Aku tertegun, refleks berhenti bicara. Pemuda itu berbalik dan menatapku. "Pergilah," ucapnya. "Eh?" aku menatap tidak mengerti. "Kubilang, pergi dari sini." "Ta-tapi aku serius!" "Tidak ada perempuan yang akan mengatakan ‘nikahi aku’ di depan pria yang tak dikenal." Ye Qingyu berjalan menuju kursi dan meja kecil yang ada di sudut taman. Maksudnya, aku adalah wanita paling tidak tahu malu yang gila di antara semua wanita yang pernah dikenalnya, kan? Aku mengikutinya. "Tolong bicaralah denganku sebentar." "Kalau mau bicara omong kosong lagi, sebaiknya kau pergi saja." "Tidak, aku benar-benar serius," bantahku. Ye Qingyu menatapku dari bawah hingga ke atas, "Kenapa gadis yang datang untuk perjamuan malah berkata ingin bicara denganku?" Maksudnya mungkin adalah, ‘Kenapa kau mendekatiku? Mencurigakan!’ Aku menelan ludah, menjawab, "Ya. Aku datang ke sini untukmu. Bukan untuk perjamuan tidak penting itu." Ye Qingyu menaikkan sebelah alisnya. Sepertinya dia banyak mempertimbangkan sesuatu. "Dari mana kau tahu namaku?" tanya Ye Qingyu, "Lalu, berasal dari mana keyakinanmu itu?" "Eh?" Aku mengernyit heran. Tidak mungkin aku mengaku telah terlahir kembali, kan? Jenaka sekali kalau dia sampai percaya. Hal tidak mungkin yang aku pun sulit sekali memercayainya, tidak mungkin bisa dipercaya dengan mudah. Aku tertunduk pelan untuk mencari jawabannya. "Pertanyaanku sangat sederhana, tapi kau tidak bisa menjawabnya?" Ye Qingyu mendengus. Astaga. Sepertinya dia kesal? "Cepat katakan." Aku menahan napas sejenak, "Aku tidak akan menceritakan apapun padamu sebelum kau bersedia bekerjasama denganku!" lalu berseru seperti itu. Ye Qingyu menatap jijik, "Apa-apaan kau?!" "Dengarkan aku, Ye Qingyu, kau bisa menjadi orang paling berjasa di Beizhou tahun ini hanya jika kau mendengarkanku," aku menatapnya dengan serius. "Ini berkaitan dengan nasib seluruh Beizhou." Aku memukul meja dengan semangat. Ya …, seharusnya dia terpancing kalau aku memasang wajah seperti ini, kan? "Memangnya apa yang begitu penting sampai berkaitan dengan seluruh Beizhou?" Responnya mengatakan bahwa dia sangat tidak percaya padaku rupanya …. "Pada awal musim dingin, suku barbar dari utara menyerang perbatasan kita untuk menguasai kota. Mereka akan datang dari gerbang timur, dan memusatkan penyerangan di sana." "Tapi itu semua hanya untuk mengalihkan pasukan Perbatasan yang dipimpin Tuan Muda Kedua Ye dan ayahmu. Sementara mereka mengirim sekitar empat ratus prajurit untuk menyelinap melalui celah kecil di sekitar gerbang utara." "Lalu masuk tanpa diketahui dan mencuri semua persediaan pangan di gudang kota. Penyerangan itu akan membuat seluruh Beizhou kelaparan pada musim dingin. Dan keluargamu bekerja sama dengan keluargaku untuk mengisi kekosongan gudang pangan itu sambil menunggu bantuan dari Ibukota yang terhambat di tengah perjalanan." "Tapi, kalau kau membawa sedikitnya seratus prajurit ayahmu untuk menjaga lumbung padi dan gudang bahan pangan. Maka rencana mereka tidak akan berhasil." Senyap. Ye Qingyu mendengarkanku dengan serius meski wajahnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak memercayaiku. Aku mengembuskan napas pasrah. "Aku harap kau percaya padaku." Karena penyerangan itu benar-benar membuat Beizhou lumpuh sepanjang musim dingin. Banyak orang yang akan mati kelaparan. Saat itu aku tidak terlalu mengerti dampak kerugiannya. Karena kediaman kami tidak pernah kekurangan makanan. Tapi musim dingin tahun ini benar-benar musim dingin yang buruk. penyakit Zhou Chuanyan juga semakin parah saat memasuki musim dingin. Dan aku benar-benar tidak punya waktu selain merawat Zhou Chuanyan setiap saat. Di kehidupan sebelumnya Ye Xuanqing bertanggung jawab atas penyerangan itu dan berhasil melumpuhkan mereka. Tapi gudang bahan pangan dan brankas kota berhasil dicuri oleh mereka secara diam-diam. Setidaknya aku tahu hal itu akan terjadi, dan bisa terselamatkan kalau Ye Qingyu menempatkan diri di gerbang utara untuk melindungi lumbung padi dan gudang bahan pangan. "Dari mana kau mendengar itu? Kau …, apakah kau memberontak?" Heh? Aku melotot terkejut dengan tuduhan tak berdasar itu. Setelah lama merenung, ternyata dia malah berpikir kalau aku bersekongkol dengan mereka? "Ha …, haha …, hahaha." Aku tertawa tak bertenaga. "Kau sungguh keterlaluan, Ye Qingyu." "Aku tidak akan percaya kalau kau tidak mengatakannya." Ye Qingyu melipat lengan di depan dada. Sial …. Tidak mungkin aku mengatakan kalau aku mengatakan alasan yang sebenarnya, kan? Siapa juga yang akan memercayai hal yang tidak mungkin bisa dipercaya. Aku tertunduk dalam, "Setiap orang pasti punya rahasia yang tidak ingin dikatakan pada siapa pun. Begitu juga denganku." Ye Qingyu menaikkan sebelah alisnya. "Tidak, tidak. Maksudku, kau tidak berhak bertanya apa pun padaku kalau kau tidak mau memercayaiku." Aku segera membenarkan kalimatku. Ye Qingyu mendekatkan diri ke wajahku dengan tatapannya yang dingin dan datar itu. Aku menelan ludah. Sial …, aku merasa takut. "Aku tidak percaya," ucapnya. Aku menggeram kesal. "Kalau perkataanku ini terbukti benar, kau harus segera pergi ke gerbang barat dan menyelamatkan gudang bahan pangan! Lalu kau harus mendatangiku dan melamarku!"Malam harinya, pesta kemenangan diadakan di pusat barak. mereka bersenda gurau seperti biasa, yang berduka memberikan penghormatan terakhir pada yang meninggalkannya. Kendi-kendi arak diturunkan, hidangan-hidangan khas Yangzhou memenuhi meja-meja panjang. Keluargaku berkumpul, Ye Qingyu sudah lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dia duduk menunggu makanan bersamaku. Aku mengamati Ye Xuanqing yang masih berwajah muram. Melihat orang yang biasanya ceria dan banyak cerita tiba-tiba menjadi begitu pendiam, membuatku merasa bersalah karena telah melimpahkan kesalahan padanya. Padahal kematian Xin Jian sepenuhnya kehendak Langit. Tanpa perlu campur tangan Ye Xuanqing pun, takdir tidak bisa dihindari begitu saja. Kemarin aku menyalahkannya, padahal seharusnya aku bersyukur karena dia tidak mati menggantikan Xin Jian. Selain itu, usahaku sama sekali tidak pernah sia-sia. Karena tujuh ratus prajurit wanita milik Xin Jian, tetap dapat melanjutkan hidup mereka dengan baik. Itu adalah
Barak besar di lapangan luas sisi timur berdiri muram dalam bayangan senja. Tak ada riuh sorak seperti di gerbang utama, di sini hanya sunyi yang menyayat telinga, seolah udara pun bahkan menolak bergerak. Langkah kakiku berat ketika memasuki ruangan, dan seketika pandanganku disergap oleh barisan prajurit wanita yang berjongkok di lantai, wajah mereka muram dan mata sembab. Ada sekitar tujuh ratus orang, aku tahu siapa mereka. Mereka adalah prajurit wanita yang dilatih sendiri oleh Xin Jian selama bertahun-tahun demi peperangan hari ini. Begitu melihatku, mereka spontan berdiri. Beberapa menunduk dengan mata basah, yang lain menatapku dengan sorot luka, seakan kepergian pemimpin mereka adalah luka yang tak bisa dijahit. Dada ini terasa diremas, napasku tercekat.Melihat mereka semua, membuatku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku merasa bersalah karena gagal menjauhkan Xin Jian dari kematian. Di sisi lain, aku merasa senang karena sebagian besar dari mereka berhasil bertahan
Pemakaman Xin Jian digelar keesokan harinya. Langit Yangzhou masih kelabu, seakan turut berkabung. Asap dupa mengepul tipis, bercampur bau tanah basah dan anyir darah yang masih melekat di udara pasca perang. Gerbang kota yang semalam dipenuhi sorak kemenangan kini berubah senyap; ribuan pasang mata menunduk hening.Aku berdiri di depan keranda sederhana yang ditutup kain hitam. Jantungku berat, dadaku seperti diikat rantai besi. Semalam aku meraung, memeluk jasadnya sampai tubuhku sendiri hampir ikut membeku. Kini, aku harus merelakan dia berbaring di sini, di hadapan pasukan yang datang memberi penghormatan terakhir. Dadaku sesak. Aku merasa gagal. Takdir ini bagai tali besi yang tidak bisa kutarik, tidak bisa kuputuskan.Ye Qingyu berdiri di sampingku, wajahnya tegang. Tangannya sesekali mencoba meraih lenganku, tapi aku menghindar pelan. Bukan karena aku ingin menjauh darinya, melainkan karena aku takut kalau aku bersandar, aku akan benar-benar roboh. Ia hanya bisa memandangku
"MENAAAANG!!!" Sorak sorai itu meledak di udara malam seperti guntur yang pecah. Dari puncak benteng hingga ke gerbang, suara ribuan pasukan yang bersorak bersatu menjadi gelombang yang mengguncang tanah. Aku berdiri tegak, tersenyum senang, air mata mengalir tanpa perlu kutahan lagi. Akhirnya. Setelah perjuangan selama berminggu-minggu, kemenangan berhasil kami rengkuh melakui tebasan Ayah Mertua di leher Jenderal Besar terakhir Kekaisaran Han. "Kita menang!" "Hidup Jenderal Besar!" "Hidup keluarga Ye!" Aku berlari ke gerbang untuk menyambut kepulangan para prajurit itu, jantungku ikut berdegup mengikuti teriakan itu. Api obor berkibar di kedua sisi jalan, memantulkan cahaya merah di wajah para prajurit yang kembali. Wajah penuh jelaga, pakaian compang-camping, darah menodai tubuh mereka. Tapi sorot mata mereka menyala, bangga, seakan semua luka dan lelah lenyap oleh satu kata, kemenangan. Aku melihat mereka berjalan masuk, barisan demi barisan, berbaris rapi mesk
Aku duduk di sisi ranjang, kain basah di tanganku menempel lembut pada dahi Ye Qingyu. Matanya meremang, tapi masih berusaha terbuka setiap kali aku mengusap peluh di pelipisnya."Suamiku, kau harus minum obat." Aku mengangkat mangkuk kecil berisi ramuan hangat, menyentuhkan bibirnya perlahan dengan tepi mangkuk. Cairan itu pahit, aku tahu, tapi aku menahan tangannya supaya tidak menepis. "Kalau kau menolak, luka di dadamu tidak akan mengering."Dia menatapku samar, dan tersenyum—senyumnya yang menyebalkan itu sudah kembali. "Ah, melihatmu di sini saja sudah cukup membuatku merasa sembuh." Aku menatapnya dengan mata memicing. "Merasa sembuh dan sembuh sungguhan itu berbeda, Ye Qingyu. Kau harus meminumnya agar sembuh sungguhan."Dia terbatuk, tubuhnya berguncang. Aku segera menahan bahunya, menunduk begitu dekat hingga keningku hampir menyentuh wajahnya. Bau obat, bau besi, dan aroma tubuhnya yang masih asing bercampur jadi satu. "Kau lihat, merasa sembuh saja tidak cukup. Kau harus
Udara di dalam tenda begitu pengap. Aroma herbal bercampur darah kering menusuk hidungku, membuat napas serasa berat. Aku masih menggenggam tangan Qingyu erat-erat, merasakan jemarinya yang dingin bergetar samar."Xi'er …," suara itu lirih, serak, hampir hilang ditelan dentuman jauh di luar perkemahan. Matanya terbuka hanya setipis celah, tapi cukup untuk menusuk dadaku dengan tatapan yang rapuh. "Xi'er, kenapa …, kau ada di sini?"Aku menunduk, air mataku jatuh satu-persatu ke perban yang melilit dadanya. "Aku tidak mungkin duduk diam di kediaman, YeQingyu. Aku istrimu. Tempatku ada di sini, bahkan jika dunia di luar runtuh sekalipun."Dia tersenyum tipis, tapi segera terbatuk. Darah merembes di sudut bibirnya. Tabib yang berdiri di dekat ranjang segera maju, melotot padaku."Nyonya Muda, saya menyarankan untuk tidak membiarkan Tuan Muda banyak bicara. Luka di dadanya terlalu dalam. Paru-parunya tertusuk. Setiap kata bisa memperburuk pendarahan."Aku tersentak. Tanganku refleks menut