Share

Bab 6 : Bak Mandi Beracun

Author: Xiao Chuhe
last update Last Updated: 2025-05-19 11:38:18

Aku merebahkan diri di atas ranjang dan menutup wajahku dengan selimut. Perasaanku menjadi tidak jelas, antara takut, cemas, malu, semuanya bercampur menjadi satu.

Ketika pulang dari perjamuan itu, Zhou Chuanyan memintaku untuk membuatkan sup ayam. Tapi aku menyuruh pelayan lain untuk melakukannya.

Dan mengurung diri lagi di kamar.

Aku merasa rencanaku tidak benar-benar berakhir buruk karena pada akhirnya aku berhasil menyampaikan niatku pada Ye Qingyu.

Meski pun dia masih meragukan perkataanku ….

Ya …, lagi pula pria mana yang tidak terkejut saat seorang gadis tak dikenal tiba-tiba mengajaknya menikah. Pasti dia juga mencurigaiku dan berpikiran buruk terhadapku.

Tampaknya aku memang sudah terlalu terburu-buru ….

Tapi keputusanku tepat dengan memberi tahu Ye Qingyu tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Setidaknya untuk musim dingin di tahun ke-50 ini, tidak akan terjadi hal buruk pada Beizhou.

Di kehidupan sebelumnya, longsor salju menutup jalur gunung yang menghubungkan Beizhou dengan Ibukota.

Karena satu-satunya jalur terdekat itu rusak karena tertimpa salju hingga berkilo-kilo meter, utusan Baginda yang mengirimkan bantuan bahan pangan jadi terlambat tiba karena harus memutar melewati sebuah kota besar.

Sedangkan proses pembangunan jalur pegunungan membutuhkan waktu satu minggu, lebih lama dari jarak melewati kota besar itu.

Sudahlah, untuk apa merenungkan apa yang terjadi di masa lalu. Sekarang aku memberi tahu Ye Qingyu tentang itu, aku yakin dia pasti akan mendengarkan perkataanku.

"Nona, sudah masuk waktu berendam untuk Nona Kedua." Suara pelayan terdengar di depan pintu.

Aku menarik napas dalam. Padahal Ibu bisa saja memerintah mereka langsung untuk menyiapkan air berandanya.

Tapi malah lebih memilih untuk menyuruh mereka mengingatkanku agar aku melakukannya.

Zhou Chuanyan selalu berendam air obat dan melakukan akupuntur di sore hari. Dan aku yang bertanggung jawab untuk menyiapkan hal-hal itu.

Aku beringsut duduk. Sebenarnya tidak kulakukan pun tak apa. Ada banyak orang yang bisa melakukannya.

Tapi sebaiknya aku jangan mencari masalah sampai awal musim dingin tiba. Setidaknya sampai lamaran Ye Qingyu sampai di telingaku!

Aku keluar dari kamar, dan pergi ke sumur untuk menimba air. Lalu merebus sebanyak satu kendi berukuran satu liter.

Setelah menunggu hingga air itu masak, aku mencampurkannya ke dalam bak yang sudah diisi air. Lalu mencampurkan obat.

Saat suhunya sudah tepat, aku memanggil Zhou Chuanyan dan mengantarkannya ke kamar mandi.

Kulihat, wajah adikku itu sangat lemas dan pucat, bahkan seperti orang yang sedang sekarat. Aku menuntun tangannya dan berjalan perlahan.

Saat tiba di dalam, Zhou Chuanyan tersenyum ke arahku, "Kakak, terima kasih karena selalu membantuku."

Haah …, trik ini lagi, ya? Aku membalasnya dengan senyum kaku, "Sama-sama, silakan berendam, Adik."

"Bisakah Kakak keluar dulu? Aku perlu melepas pakaianku, kan?" Zhou Chuanyan bertanya lembut.

Aku mengernyit, "Kau bisa melepaskannya di sini, kan? Untuk apa menyuruhku pergi?"

"A-aku malu …, aku sudah besar, tidak mungkin begitu saja membiarkan Kakak melihatku telanjang, kan?"

Aku menautkan alis, apa lagi yang mau dia lakukan? Ini pasti sesuatu yang menjebak, kan? Fitnah murahan dan semacamnya?

"Ka-Kakak …, aku sudah kedinginan dan ingin segera berendam, bisakah Kakak keluar sebentar saja?" Dia memeluk tubuhnya sendiri dan menggigil.

Sialan, aku tidak tahu apa yang mau dia lakukan. Dan di saat seperti ini, aku tidak mengingat apa yang terjadi pada hari ini di kehidupanku sebelumnya karena sudah sangat lama.

Aku menghela napas pasrah, "Baiklah, katakan kalau kau membutuhkan sesuatu."

"Baik, Kak. Terima kasih karena sudah mengerti!"

Tentu saja mengerti. Aku sudah terbiasa dengan kelicikanmu selama lima belas tahun, tahu!

Aku keluar dari kamar mandi dan menunggunya sambil menyiapkan pakaian ganti untuk Zhou Chuanyan.

Sebenarnya kenapa dia tiba-tiba ingin melepas pakaian sendiri? Apakah dia mau melakukan sesuatu pada pakaiannya?

Atau memang karena merasa malu seperti yang dia katakan itu? Ah …, aku benar-benar tidak mengingatnya.

Hal ini pasti pernah terjadi di kehidupan sebelumnya juga.

Saat sedang berpikir, Zhou Chuanyan tiba-tiba berteriak, "Aaaaah! Sakit! Sakit …!"

"Chuanyan! Ada apa denganmu?" Aku membulatkan mata dan segera masuk ke kamar mandi.

Aku benar-benar terkejut dengan apa yang dia lakukan hanya untuk menjebakku. Aku tidak bisa berkata apa pun lagi.

Lihatlah, seluruh tubuhnya merah-merah dan dia terus menggaruknya seperti orang kesetanan.

"Panas, Kak! Panas! Tolong aku!"

Aku mendengus kesal, "Keluarlah dari bak itu, Zhou Chuanyan!" aku berseru dan menarik tangannya supaya dia keluar.

"Air itu sudah terkontaminasi obat lain!" aku berseru.

Zhou Chuanyan melotot tidak percaya, "Apa? O-obat apa?" Dia terus menggaruk kulitnya yang merah-merah dan ruam itu.

Teriakannya barusan, tentu saja menarik perhatian Ayah, Ibu dan Zhou Chenxi. Mereka segera berlari dengan panik seolah-olah ada orang mati.

"Apa yang terjadi, Chuan'er?" Ibu berseru cemas dan langsung mendekat.

"Gatal, Ibu, panas." Zhou Chuanyan menangis lagi.

Zhou Chenxi menyambar handuk dan melilitkannya ke tubuh Zhou Chuanyan. "Bagaimana sekarang?"

"Panas, Kak! Aku tidak mau pakai baju!" Zhou Chuanyan merengek.

Aku menghela napas kesal, sekarang aku ingat apa yang akan terjadi setelah ini.

Hanya perlu menghitung sampai tiga.

Satu.

Dua.

Tiga.

"Zhou Jingxi!" Ayahku berteriak marah.

Aku tersenyum tipis, dugaanku benar. "Ya, Ayah."

"Apa yang kau lakukan pada adikmu?!"

"Saya hanya melakukan aktivitas biasa. Menyiapkan air obat untuk berendam Adik."

"Maksudku obat apa yang kau campurkan itu? Kenapa Chuan'er bisa kesakitan begitu?" Ayah tidak mau mendengarkanku.

Aku mengeluarkan botol obatnya. Untung saja aku masih menyimpannya. "Obat ini. Saya mendapatkannya dari Tabib Kediaman. Dan ini benar-benar tidak bermasalah karena saya mencelupkan separuh lengan saya ke dalam air obat ini sebelum membiarkan Zhou Chuanyan berendam."

Mendengar penjelasanku, Ayah terdiam dan memeriksa botol obat itu.

Wajah Zhou Chuanyan terlihat pucat, seolah-olah takut triknya akan terbongkar dengan cepat.

"Gatal sekali, Ayah! Rasanya seperti perih dan panas!" Zhou Chuanyan berteriak sambil terus menggaruk tangannya yang merah.

"Apa yang kau lakukan, Zhou Jingxi! Tidak mungkin obat itu tidak bermasalah kalau Adik sampai kesakitan begitu, kan!" Kini, Zhou Chenxi pun ikut campur.

Aku menggeleng tegas, "Obatnya benar-benar tidak bermasalah!"

"Kalau begitu, celupkan tanganmu ke dalamnya sekarang!" Zhou Chenxi menarik tanganku.

Ah …, apakah harus? Kalau begitu, akulah yang akan disalahkan, ya?

Karena air itu sudah tercampur dengan obat yang dipakai Zhou Chuanyan untuk menyakiti dirinya sendiri itu.

Aku harus mencelupkan tanganku ke sana, ya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 177 : Kepulangan Ye Tinghan

    Tiga hari setelah kemenangan besar itu, kami berdiri berderet di depan gerbang kota, barisan panjang yang memenuhi jalan utama. Langit Yangzhou begitu cerah, matahari bersinar lembut, seakan turut merayakan tercapainya perdamaian. Kibar bendera Beizhou dan panji Yangzhou berjejer, melambai ditiup angin musim semi. Sorak-sorai rakyat membahana, bergema hingga jauh ke balik tembok kota. Semua orang menanti kedatangan orang yang menjadi utusan sekaligus saksi kemenangan ini, Ye Tinghan.Ia muncul dari kejauhan, menunggang kuda hitam gagah. Di belakangnya, para prajurit yang mengawal surat itu bersamanya berjalan tegap, membawa kotak berukir naga emas, tempat disimpannya surat perdamaian dari Kekaisaran Han. Surat itu akan segera diserahkan pada Baginda Kaisar, bukti bahwa perang panjang telah berakhir, setidaknya untuk belasan tahun mendatang.Suara rakyat semakin membahana ketika rombongan semakin dekat. Aku bisa merasakan getaran tanah dari derap kuda, juga aroma debu bercampur kerin

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 176 : Makan Malam

    Malam harinya, pesta kemenangan diadakan di pusat barak. mereka bersenda gurau seperti biasa, yang berduka memberikan penghormatan terakhir pada yang meninggalkannya. Kendi-kendi arak diturunkan, hidangan-hidangan khas Yangzhou memenuhi meja-meja panjang. Keluargaku berkumpul, Ye Qingyu sudah lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dia duduk menunggu makanan bersamaku. Aku mengamati Ye Xuanqing yang masih berwajah muram. Melihat orang yang biasanya ceria dan banyak cerita tiba-tiba menjadi begitu pendiam, membuatku merasa bersalah karena telah melimpahkan kesalahan padanya. Padahal kematian Xin Jian sepenuhnya kehendak Langit. Tanpa perlu campur tangan Ye Xuanqing pun, takdir tidak bisa dihindari begitu saja. Kemarin aku menyalahkannya, padahal seharusnya aku bersyukur karena dia tidak mati menggantikan Xin Jian. Selain itu, usahaku sama sekali tidak pernah sia-sia. Karena tujuh ratus prajurit wanita milik Xin Jian, tetap dapat melanjutkan hidup mereka dengan baik. Itu adalah

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 175 : Pemimpin Baru

    Barak besar di lapangan luas sisi timur berdiri muram dalam bayangan senja. Tak ada riuh sorak seperti di gerbang utama, di sini hanya sunyi yang menyayat telinga, seolah udara pun bahkan menolak bergerak. Langkah kakiku berat ketika memasuki ruangan, dan seketika pandanganku disergap oleh barisan prajurit wanita yang berjongkok di lantai, wajah mereka muram dan mata sembab. Ada sekitar tujuh ratus orang, aku tahu siapa mereka. Mereka adalah prajurit wanita yang dilatih sendiri oleh Xin Jian selama bertahun-tahun demi peperangan hari ini. Begitu melihatku, mereka spontan berdiri. Beberapa menunduk dengan mata basah, yang lain menatapku dengan sorot luka, seakan kepergian pemimpin mereka adalah luka yang tak bisa dijahit. Dada ini terasa diremas, napasku tercekat.Melihat mereka semua, membuatku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku merasa bersalah karena gagal menjauhkan Xin Jian dari kematian. Di sisi lain, aku merasa senang karena sebagian besar dari mereka berhasil bertahan

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 174 : Pemakaman

    Pemakaman Xin Jian digelar keesokan harinya. Langit Yangzhou masih kelabu, seakan turut berkabung. Asap dupa mengepul tipis, bercampur bau tanah basah dan anyir darah yang masih melekat di udara pasca perang. Gerbang kota yang semalam dipenuhi sorak kemenangan kini berubah senyap; ribuan pasang mata menunduk hening.Aku berdiri di depan keranda sederhana yang ditutup kain hitam. Jantungku berat, dadaku seperti diikat rantai besi. Semalam aku meraung, memeluk jasadnya sampai tubuhku sendiri hampir ikut membeku. Kini, aku harus merelakan dia berbaring di sini, di hadapan pasukan yang datang memberi penghormatan terakhir. Dadaku sesak. Aku merasa gagal. Takdir ini bagai tali besi yang tidak bisa kutarik, tidak bisa kuputuskan.Ye Qingyu berdiri di sampingku, wajahnya tegang. Tangannya sesekali mencoba meraih lenganku, tapi aku menghindar pelan. Bukan karena aku ingin menjauh darinya, melainkan karena aku takut kalau aku bersandar, aku akan benar-benar roboh. Ia hanya bisa memandangku

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 173 : Duka Kemenangan

    "MENAAAANG!!!" Sorak sorai itu meledak di udara malam seperti guntur yang pecah. Dari puncak benteng hingga ke gerbang, suara ribuan pasukan yang bersorak bersatu menjadi gelombang yang mengguncang tanah. Aku berdiri tegak, tersenyum senang, air mata mengalir tanpa perlu kutahan lagi. Akhirnya. Setelah perjuangan selama berminggu-minggu, kemenangan berhasil kami rengkuh melakui tebasan Ayah Mertua di leher Jenderal Besar terakhir Kekaisaran Han. "Kita menang!" "Hidup Jenderal Besar!" "Hidup keluarga Ye!" Aku berlari ke gerbang untuk menyambut kepulangan para prajurit itu, jantungku ikut berdegup mengikuti teriakan itu. Api obor berkibar di kedua sisi jalan, memantulkan cahaya merah di wajah para prajurit yang kembali. Wajah penuh jelaga, pakaian compang-camping, darah menodai tubuh mereka. Tapi sorot mata mereka menyala, bangga, seakan semua luka dan lelah lenyap oleh satu kata, kemenangan. Aku melihat mereka berjalan masuk, barisan demi barisan, berbaris rapi mesk

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 172 : Kemenangan?

    Aku duduk di sisi ranjang, kain basah di tanganku menempel lembut pada dahi Ye Qingyu. Matanya meremang, tapi masih berusaha terbuka setiap kali aku mengusap peluh di pelipisnya."Suamiku, kau harus minum obat." Aku mengangkat mangkuk kecil berisi ramuan hangat, menyentuhkan bibirnya perlahan dengan tepi mangkuk. Cairan itu pahit, aku tahu, tapi aku menahan tangannya supaya tidak menepis. "Kalau kau menolak, luka di dadamu tidak akan mengering."Dia menatapku samar, dan tersenyum—senyumnya yang menyebalkan itu sudah kembali. "Ah, melihatmu di sini saja sudah cukup membuatku merasa sembuh." Aku menatapnya dengan mata memicing. "Merasa sembuh dan sembuh sungguhan itu berbeda, Ye Qingyu. Kau harus meminumnya agar sembuh sungguhan."Dia terbatuk, tubuhnya berguncang. Aku segera menahan bahunya, menunduk begitu dekat hingga keningku hampir menyentuh wajahnya. Bau obat, bau besi, dan aroma tubuhnya yang masih asing bercampur jadi satu. "Kau lihat, merasa sembuh saja tidak cukup. Kau harus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status