Aku merebahkan diri di atas ranjang dan menutup wajahku dengan selimut. Perasaanku menjadi tidak jelas, antara takut, cemas, malu, semuanya bercampur menjadi satu.
Ketika pulang dari perjamuan itu, Zhou Chuanyan memintaku untuk membuatkan sup ayam. Tapi aku menyuruh pelayan lain untuk melakukannya. Dan mengurung diri lagi di kamar. Aku merasa rencanaku tidak benar-benar berakhir buruk karena pada akhirnya aku berhasil menyampaikan niatku pada Ye Qingyu. Meski pun dia masih meragukan perkataanku …. Ya …, lagi pula pria mana yang tidak terkejut saat seorang gadis tak dikenal tiba-tiba mengajaknya menikah. Pasti dia juga mencurigaiku dan berpikiran buruk terhadapku. Tampaknya aku memang sudah terlalu terburu-buru …. Tapi keputusanku tepat dengan memberi tahu Ye Qingyu tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Setidaknya untuk musim dingin di tahun ke-50 ini, tidak akan terjadi hal buruk pada Beizhou. Di kehidupan sebelumnya, longsor salju menutup jalur gunung yang menghubungkan Beizhou dengan Ibukota. Karena satu-satunya jalur terdekat itu rusak karena tertimpa salju hingga berkilo-kilo meter, utusan Baginda yang mengirimkan bantuan bahan pangan jadi terlambat tiba karena harus memutar melewati sebuah kota besar. Sedangkan proses pembangunan jalur pegunungan membutuhkan waktu satu minggu, lebih lama dari jarak melewati kota besar itu. Sudahlah, untuk apa merenungkan apa yang terjadi di masa lalu. Sekarang aku memberi tahu Ye Qingyu tentang itu, aku yakin dia pasti akan mendengarkan perkataanku. "Nona, sudah masuk waktu berendam untuk Nona Kedua." Suara pelayan terdengar di depan pintu. Aku menarik napas dalam. Padahal Ibu bisa saja memerintah mereka langsung untuk menyiapkan air berandanya. Tapi malah lebih memilih untuk menyuruh mereka mengingatkanku agar aku melakukannya. Zhou Chuanyan selalu berendam air obat dan melakukan akupuntur di sore hari. Dan aku yang bertanggung jawab untuk menyiapkan hal-hal itu. Aku beringsut duduk. Sebenarnya tidak kulakukan pun tak apa. Ada banyak orang yang bisa melakukannya. Tapi sebaiknya aku jangan mencari masalah sampai awal musim dingin tiba. Setidaknya sampai lamaran Ye Qingyu sampai di telingaku! Aku keluar dari kamar, dan pergi ke sumur untuk menimba air. Lalu merebus sebanyak satu kendi berukuran satu liter. Setelah menunggu hingga air itu masak, aku mencampurkannya ke dalam bak yang sudah diisi air. Lalu mencampurkan obat. Saat suhunya sudah tepat, aku memanggil Zhou Chuanyan dan mengantarkannya ke kamar mandi. Kulihat, wajah adikku itu sangat lemas dan pucat, bahkan seperti orang yang sedang sekarat. Aku menuntun tangannya dan berjalan perlahan. Saat tiba di dalam, Zhou Chuanyan tersenyum ke arahku, "Kakak, terima kasih karena selalu membantuku." Haah …, trik ini lagi, ya? Aku membalasnya dengan senyum kaku, "Sama-sama, silakan berendam, Adik." "Bisakah Kakak keluar dulu? Aku perlu melepas pakaianku, kan?" Zhou Chuanyan bertanya lembut. Aku mengernyit, "Kau bisa melepaskannya di sini, kan? Untuk apa menyuruhku pergi?" "A-aku malu …, aku sudah besar, tidak mungkin begitu saja membiarkan Kakak melihatku telanjang, kan?" Aku menautkan alis, apa lagi yang mau dia lakukan? Ini pasti sesuatu yang menjebak, kan? Fitnah murahan dan semacamnya? "Ka-Kakak …, aku sudah kedinginan dan ingin segera berendam, bisakah Kakak keluar sebentar saja?" Dia memeluk tubuhnya sendiri dan menggigil. Sialan, aku tidak tahu apa yang mau dia lakukan. Dan di saat seperti ini, aku tidak mengingat apa yang terjadi pada hari ini di kehidupanku sebelumnya karena sudah sangat lama. Aku menghela napas pasrah, "Baiklah, katakan kalau kau membutuhkan sesuatu." "Baik, Kak. Terima kasih karena sudah mengerti!" Tentu saja mengerti. Aku sudah terbiasa dengan kelicikanmu selama lima belas tahun, tahu! Aku keluar dari kamar mandi dan menunggunya sambil menyiapkan pakaian ganti untuk Zhou Chuanyan. Sebenarnya kenapa dia tiba-tiba ingin melepas pakaian sendiri? Apakah dia mau melakukan sesuatu pada pakaiannya? Atau memang karena merasa malu seperti yang dia katakan itu? Ah …, aku benar-benar tidak mengingatnya. Hal ini pasti pernah terjadi di kehidupan sebelumnya juga. Saat sedang berpikir, Zhou Chuanyan tiba-tiba berteriak, "Aaaaah! Sakit! Sakit …!" "Chuanyan! Ada apa denganmu?" Aku membulatkan mata dan segera masuk ke kamar mandi. Aku benar-benar terkejut dengan apa yang dia lakukan hanya untuk menjebakku. Aku tidak bisa berkata apa pun lagi. Lihatlah, seluruh tubuhnya merah-merah dan dia terus menggaruknya seperti orang kesetanan. "Panas, Kak! Panas! Tolong aku!" Aku mendengus kesal, "Keluarlah dari bak itu, Zhou Chuanyan!" aku berseru dan menarik tangannya supaya dia keluar. "Air itu sudah terkontaminasi obat lain!" aku berseru. Zhou Chuanyan melotot tidak percaya, "Apa? O-obat apa?" Dia terus menggaruk kulitnya yang merah-merah dan ruam itu. Teriakannya barusan, tentu saja menarik perhatian Ayah, Ibu dan Zhou Chenxi. Mereka segera berlari dengan panik seolah-olah ada orang mati. "Apa yang terjadi, Chuan'er?" Ibu berseru cemas dan langsung mendekat. "Gatal, Ibu, panas." Zhou Chuanyan menangis lagi. Zhou Chenxi menyambar handuk dan melilitkannya ke tubuh Zhou Chuanyan. "Bagaimana sekarang?" "Panas, Kak! Aku tidak mau pakai baju!" Zhou Chuanyan merengek. Aku menghela napas kesal, sekarang aku ingat apa yang akan terjadi setelah ini. Hanya perlu menghitung sampai tiga. Satu. Dua. Tiga. "Zhou Jingxi!" Ayahku berteriak marah. Aku tersenyum tipis, dugaanku benar. "Ya, Ayah." "Apa yang kau lakukan pada adikmu?!" "Saya hanya melakukan aktivitas biasa. Menyiapkan air obat untuk berendam Adik." "Maksudku obat apa yang kau campurkan itu? Kenapa Chuan'er bisa kesakitan begitu?" Ayah tidak mau mendengarkanku. Aku mengeluarkan botol obatnya. Untung saja aku masih menyimpannya. "Obat ini. Saya mendapatkannya dari Tabib Kediaman. Dan ini benar-benar tidak bermasalah karena saya mencelupkan separuh lengan saya ke dalam air obat ini sebelum membiarkan Zhou Chuanyan berendam." Mendengar penjelasanku, Ayah terdiam dan memeriksa botol obat itu. Wajah Zhou Chuanyan terlihat pucat, seolah-olah takut triknya akan terbongkar dengan cepat. "Gatal sekali, Ayah! Rasanya seperti perih dan panas!" Zhou Chuanyan berteriak sambil terus menggaruk tangannya yang merah. "Apa yang kau lakukan, Zhou Jingxi! Tidak mungkin obat itu tidak bermasalah kalau Adik sampai kesakitan begitu, kan!" Kini, Zhou Chenxi pun ikut campur. Aku menggeleng tegas, "Obatnya benar-benar tidak bermasalah!" "Kalau begitu, celupkan tanganmu ke dalamnya sekarang!" Zhou Chenxi menarik tanganku. Ah …, apakah harus? Kalau begitu, akulah yang akan disalahkan, ya? Karena air itu sudah tercampur dengan obat yang dipakai Zhou Chuanyan untuk menyakiti dirinya sendiri itu. Aku harus mencelupkan tanganku ke sana, ya?Saat matahari akhirnya bersembunyi di balik atap-atap berlapis salju, aku dan Xin Jian kembali ke kediaman lewat jalur samping. Angin mulai menggigit lebih dalam, dan jalanan pelan-pelan disapu bayangan malam.Begitu tiba, langkah kami terhenti mendadak ketika melihat seseorang duduk tenang di atas kudanya, tepat di depan pintu gerbang kecil kediamanku.Ye Xuanqing.Jubah perangnya rapi, rambutnya diikat tinggi. Kuda perbatasannya yang berbulu hitam pekat tampak gelisah menjejak tanah, seolah tahu bahwa pemiliknya akan pergi jauh sekali.Xin Jian mengembuskan napas panjang. "Oh. Dia masih di sini."Aku menatap mereka secara bergantian. "Xin Jian, kurasa kau harus—""Aku tidak akan menahannya kalau dia memang ingin pergi." Potong Xin Jian sambil tetap berjalan. Tapi baru lima langkah, suara langkah kuda berhenti, dan Ye Xuanqing turun.Langkahnya mantap. Pandangannya langsung menatap lurus ke arah Xin Jian."Aku ingin bicara sebentar."Aku memilih menahan diri untuk tidak ikut campur.
Langit Beizhou siang ini cerah dan nyaris terlalu biru untuk musim dingin. Salju yang masih tersisa di atap-atap rumah tampak memantulkan cahaya lembut, menyilaukan mata. Aku menyipitkan pandangan saat keluar dari kediaman, mengenakan mantel panjang dengan kerah berbulu rubah putih. Di belakangku, suara langkah kaki cepat terdengar, berisik seperti itik masuk pasar."Menungguiku sejak kapan?" tanyaku malas, tidak perlu menoleh pun aku sudah tahu siapa pelakunya."Sejak sebelum matahari naik," jawab Xin Jian, melangkah setengah berlari ke sampingku sambil menepuk-nepuk kedua tangannya yang tampak membeku. "Aku pikir kita akan pergi pagi-pagi sekali untuk berburu sarapan legendaris di Kota Beizhou, tapi nyatanya kau bahkan sempat minum dua cangkir teh dan menyisir rambutmu sebanyak lima kali!""Berburu sarapan?" Aku mengangkat alis. "Kupikir kau hanya ingin mencari keberadaan Ye Xuanqing yang katanya 'kabur karena rasa malu akibat kelelahan'.""Dia tidak kabur," bantah Xin Jian sambil
Setelah bermalas-malasan satu hari di kamar sambil memulihkan diri, aku tidak bisa lagi menahan kebosanan ini. Pagi-pagi sekali, aku mempersiapkan diri untuk pergi ke Aula Utama dan menyapa Ayah dan Ibu. Chunhua membawa nampan berisi teh osmanthus yang biasa dia seduhkan untukku. Sesampainya di Aula Utama, aku tersenyum hangat dan sedikit menekuk lutut. "Zhou Jingxi memberi salam untuk Ayah dan Ibu Mertua."Ibu Mertua tersenyum, mempersilakanku duduk. Aku menatap Chunhua, dia berjalan ke depan dan meletakkan teko itu di atas meja di antara Ayah dan Ibu Mertua. Ayah mencium harumnya, lantas menceletuk, "Aroma osmanthus yang harum." Aku tersenyum. "Aku melihat Ayah dan Ibu Mertua juga kelelahan selama berada di rumah dan tidak beristirahat dengan baik. Aku mendapat kesempatan untuk beristirahat seharian penuh, tapi Ayah dan Ibu Mertua masih disibukkan dengan pekerjaan militer." "Aku merasa harus menunjukkan bakti di saat seperti ini. Teh ini dibuat oleh pelayanku, Chunhua. Semoga A
Saat suara-suara terakhir dari aula besar mulai menghilang, langkah kakiku menyusuri koridor menuju kamar terasa jauh lebih ringan daripada saat aku datang. Langkah kemenangan memang tidak pernah berat. Chunhua membukakan pintu, aku berjalan masuk dan melepaskan jubah buluku, Chunhua mengambilnya, lalu membungkuk kecil sambil berkata, "Saya akan menyiapkan air hangat untuk mencuci kaki, Nyonya Musa.”Aku hanya mengangguk pelan, lalu mengambil posisi duduk di tepi ranjang. Suasana kamar telah ditata ulang. Lampu gantung dimatikan, digantikan cahaya lembut dari lampu minyak di sudut ruangan. Aromanya harum dan tenang, aroma dupa yang hanya digunakan saat aku hendak tidur.Tanganku mengangkat lapisan luar pakaianku, membuka kancing pita emas di bahu dan membiarkannya jatuh separuh. Kulit bahuku terbuka, terkena dingin sebentar, lalu perlahan terbiasa.Saat terdengar langkah kaki di lorong, aku menoleh ke arah pintu, Chunhua sudah mau datang, aku meluruskan kaki dan memejamkan mata. Pi
Setelah suara musik terakhir berhenti berdenting dan kudapan manis terakhir diletakkan di atas piring giok, para tamu mulai bersiap untuk meninggalkan aula. Namun, sesuai tradisi keluarga bangsawan, tak seorang pun diperkenankan pergi sebelum satu sesi terakhir diumumkan—pembacaan daftar hadiah, simbol pertautan rasa dan kekuasaan.Bibi Chun, selaku Kepala Pelayan Kediaman Ye, melangkah maju ke panggung kecil di sisi kanan aula. Gaunnya menjuntai rapi, suara langkahnya tenang, namun tegas. Di tangannya, ia membawa gulungan kain merah berbordir bunga lotus keemasan—samar berkilau di bawah cahaya lampu gantung di atasnya, seperti bunga suci yang tumbuh dalam bisu.'Sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi dan untuk mencatat silaturahmi yang terjalin malam ini," ucapnya lantang, suaranya jernih dan datar namun memuat otoritas bertahun-tahun dalam mengatur ritus keluarga, "berikut adalah daftar hadiah yang diterima oleh Nyonya Muda keluarga Ye dari para tamu undangan yang terhormat."
Saat penari-penari mulai masuk dan melenggak-lenggok anggun di tengah aula, Chunhua menuangkan teh di cangkirnya, tapi setelah itu tidak menyentuhnya sama sekali.Zhou Chenxi meletakkan teko berisi arak dengan sedikit tenaga, dia melirikku dengan tatapan tajam. "Aku tak menyangka kau bisa menyusun pesta sebesar ini. Bahkan aku mendengar dari kepala pelayanmu bahwa tamu yang hadir hampir melebihi pesta ulang tahun Adipati Agung dua tahun lalu."Zhou Chenxi. Suaranya tenang, tapi tidak bisa menyembunyikan kegetiran.Aku menoleh padanya, senyumku lembut seperti gula. "Ah, benar. Mungkin karena tamu-tamuku kali ini datang bukan karena kewajiban …, melainkan karena ingin."Tawa kecil dari kalangan tamu terdengar, halus tapi menampar."Aku yakin semua ini hasil kerja kerasmu," ibuku akhirnya bicara. "Kau memang selalu punya bakat menyenangkan orang lain."Aku tersenyum padanya. "Ibu terlalu memuji. Tapi memang, menyenangkan orang lain itu lebih baik daripada menghancurkan mereka, bukan?"Ma