Share

Mari Kita Bercerai, Mas

Bab 3

Mari Kita Bercerai, Mas

Tak ada lagi rasa sakit atas kalimat yang barusan meluncur dari mulut suamiku. Mungkin karena aku sudah terlanjur kecewa dengan semua pengkhianatan ini. Aku yang sudab terlanjur menantangnya dan aku harus siap dengan semua konsekuensinya.

Lagi pula, siapa sudi menerima barang bekas?

Lelaki yang sudah berkhianat, tak ubahnya seperti barang bekas yang seharusnya dimasukkan ke dalam tong sampah!

"Mari kita bercerai, Mas! Kalau kamu menganggap aku sebagai wanita yang membosankan, baiklah. Aku rasa semuanya sudah final." Aku membawa tubuhku bergerak menuju pintu keluar dan segera keluar dari tempat itu.

Tujuanku adalah kamar tidur utama yang biasa ditempati oleh mertuaku. Bukankah sekarang kami sudah bercerai? Ibu mertuaku dan adik perempuan Mas Gilang sudah tidak pantas lagi untuk tinggal di rumah ini.

Aku bermaksud untuk membereskan barang-barang di sana. Sementara untuk Mas Gilang, pastinya dia masih punya tangan dan kaki untuk membereskan sendiri barang-barangnya.

Ini rumahku.

Dan jikalau terjadi sesuatu diantara kami, maka Mas Gilang lah yang harus keluar dari rumah ini.

"Aku tidak selemah yang kamu duga, Mas. Setidaknya berpisah dari kamu lebih baik daripada meneruskan hidup dengan seorang lelaki tukang selingkuh!" Aku bergumam.

Dia memilih bercerai dan itu berarti dia membiarkan dirinya sendiri keluar dari rumah ini.

"Ngapain kamu di kamar ini?" Tiba-tiba suara berat itu terdengar saat aku baru saja merebahkan Keisha di ranjang ukuran besar yang ada di kamar ini. Kamar tidur utama yang cukup luas. Ruangan berukuran 5x5 meter dengan kamar mandi di dalam dan dilengkapi oleh bak mandi. 

Sangat nyaman. Seharusnya aku dan Mas Gilang yang menempati kamar ini, tetapi ibu mertuaku memaksa untuk menempati kamar utama ini, dan aku mengabulkannya dengan alasan untuk memuliakannya sebagai orang tua.

Setelah semua yang aku lakukan untuk keluarga suamiku, inikah balasan yang kudapat?

Sudah cukup semuanya. Sudah cukup. Aku masih bisa bersabar dengan uang belanja yang kurang, toh aku juga bekerja meskipun mas Gilang tidak tahu dengan pekerjaanku. Aku bisa menutupi kekurangan pengeluaran rumah tangga kami dengan uangku sendiri.

Bahkan sejak Keisha hadir, akulah yang membelikan semua keperluannya, bahkan Mas Gilang pun juga tidak tahu, lebih tepatnya tidak peduli dari mana uang untuk membelikan semua keperluan Keisha, sehingga Keisha minum susu dan memakai perlengkapan selayaknya bayi-bayi yang lain.

"Aku ingin membereskan barang-barang Mama, karena mulai hari ini akulah yang akan menempati kamar ini bersama Keisha," jawabku seraya membuka pintu lemari dan mengeluarkan barang-barang milik ibu mertuaku yang sekarang sudah menjadi mantan.

"Tidak boleh! Kamu punya hak apa untuk tinggak di rumah ini, hah?" Mas Gilang mendelik. 

"Kamu itu sudah aku ceraikan. Kenapa malah mengeluarkan barang-barang punya Mama?" Mas Gilang merebut tumpukan baju-baju ibunya dari tanganku, lalu mengembalikannya lagi ke dalam lemari dan menutup pintunya dengan keras. 

Pria itu lantas mendorongku hingga akhirnya tubuhku membentur dinding dekat tempat tidur.

"Segera kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini. Sekarang kamu sudah aku ceraikan. Kamu sudah nggak berhak lagi tinggal di sini. Ini rumahku!" bentaknya. 

"Rumahmu? Apa aku salah dengar?" Klaim macam apa ini? Aku mengerutkan kening, penuh keheranan. 

"Bukannya uang yang kita gunakan untuk membangun rumah ini adalah uang dari hasil penjualan rumah warisan kedua orang tuaku?!" protesku mengingatkan Mas Gilang.

Namun, sebuah seringai terbit dari bibirnya.

"Oh, ya? Memangnya kamu punya bukti jika rumah ini adalah milikmu?" Tiba-tiba suara wanita itu terdengar dan aku menoleh. 

Mataku terbelalak. Aku tidak menyangka jika Anggita masuk ke dalam kamar ini pula. Wanita itu memegang sebuah map dan melemparkannya kepadaku.

"Ini sertifikat rumah ini dan itu atas nama Mas Gilang. Silahkan baca sendiri," ujar Anggita di barengi dengan senyumnya yang sinis, karena mungkin dia membayangkan akan menjadi nyonya di rumah ini menggantikanku.

Aku segera membuka map dan keningku seketika berkerut. Aku menepuk jidatku tanpa sadar. Benar, sertifikat rumah ini memang atas nama Mas Gilang, meskipun uang yang digunakan untuk membangun rumah ini berasal dariku. 

Waktu itu dengan begitu bodohnya aku menyetujui permintaan Mas Gilang agar sertifikat rumah ini atas namanya.

Waktu itu aku memang sama sekali tidak keberatan karena mengira rumah tangga kami akan baik-baik saja ke depannya, apalagi saat itu aku sedang hamil Keisha. 

"Tapi...." Lidahku mendadak terasa kelu. Otakku langsung dipaksa berpikir keras mencari jalan keluar. 

Sayang sekali jika aku harus meninggalkan rumah ini. Ini rumahku. Uang yang digunakan untuk membangun rumah ini adalah uangku dan Mas Gilang tidak punya hak, apalagi ibu mertua dan adik perempuan Mas Gilang.

Aku harus mempertahankan hakku dan Keisha. Tapi bagaimana caranya?

"Tidak ada tapi-tapian, Kayla. Sekarang bereskan barang-barangmu. Ingat jangan membawa barang-barang berharga dari rumah ini, karena semua itu dibeli dengan uangku." 

"Bawa bayimu juga. Aku tidak butuh anak itu. Merepotkan saja. Aku tidak sudi mengurusnya!" bentak mas Gilang. 

Dia mendorong tubuhku, lalu tanpa belas kasihan sedikitpun dia mengangkat tubuh Keisha yang masih tertidur, lalu melemparkannya seperti melempar barang saja. 

Beruntung tanganku dengan sigap menangkap tubuh mungil putriku. Sempat mata mungil itu terbuka. Namun aku mendekapnya dengan begitu kuat, sehingga mata mungil itu kembali terpejam.

"Mas, rumah ini memang atas namamu, tetapi uang yang digunakan untuk membangun rumah ini adalah uang yang berasal dariku. Uang itu berasal dari hasil menjual rumah warisan orang tuaku. Kalau kamu memang ingin memiliki rumah ini, ganti semua uangku!" Tiba-tiba aku berteriak. 

Kesabaranku habis. Aku bahkan hampir tak percaya jika lelaki yang pernah hidup bersamaku selama dua tahun ini tak memiliki hati nurani sedikitpun.

Bagaimana mungkin dia bisa mengusirku begitu saja dari rumahku sendiri?

Ini rumahku dan Keisha. Tak boleh ada yang mengambil rumah ini.

"Bukan urusanku! Rumah ini sudah atas namaku dan aku adalah pemiliknya. Aku berhak mengusir siapapun yang tinggal di rumah ini. Kamu sudah tidak ada gunanya lagi, Kayla. Sekarang sudah ada Anggi yang bisa menggantikan kamu. Kami akan segera menikah dan tunggu saja surat cerai dariku!" Mas Gilang balas berteriak.

"Akan jadi urusanku jika Mas tidak bisa mengembalikan uang yang sudah aku keluarkan untuk membangun rumah ini. Mas boleh saja menempati rumah ini bersama dengan mama dan Gita, tapi ingat, Mas harus mengganti semua uang yang sudah aku keluarkan," balasku.

"Mana boleh begitu? Kamu harus membayar lunas semuanya. Aku akan menghitung berapa uang yang seharusnya Mas berikan kepadaku," ucapku tegas. Sama sekali tidak kupedulikan tatapan Mas Gilang yang mendelik.

Aku sudah tidak takut lagi dengan tatapan itu. Aku, Kayla Arudati Inayah tidak boleh lemah dan merasa gentar. 

"Halah! Bilang saja kamu sedang butuh uang agar bisa hidup di luar sana. Kamu nggak mau kan jadi gelandangan?" Anggi mengejekku. Dia mengambil sebuah buntalan kain yang belakangan aku sadari jika itu berisi pakaianku.

"Aku sudah begitu baik membereskan barang-barangmu, jadi kamu tidak perlu repot membereskan sendiri. Pergilah, Kayla, dan bawa Keisha. Aku memintamu secara baik-baik. Jangan sampai Mas Gilang berbuat yang lebih kasar lagi kepadamu." Lagi-lagi senyum mengembang dari bibir Anggita. Senyum penuh kemenangan. Barangkali dia merasa bangga karena sudah berhasil mengusir seorang istri dari rumah suaminya. 

Bukankah itu prestasi yang pasti dibanggakan bagi seorang pelakor seperti Anggita?

Tanganku diam-diam mengepal. Namun aku sudah kehabisan energi untuk berdebat dengan dua manusia berhati batu ini. Akhirnya dengan langkah gontai aku mengambil buntalan itu, lalu mengambil kain untuk menggendong Keisha. Dengan sebuah buntalan kain serta travel bag yang sebelumnya tergeletak di lantai, aku mengayunkan langkah keluar dari rumah ini.

Ada rasa sedih yang tak bisa kulukiskan. Namun sebisa mungkin aku tahan. Aku harus kuat, agar bisa terus berjuang. Suatu saat rumah ini harus kembali kepadaku Aku tidak sudi rumahku ditempati oleh Mas Gilang dengan istri barunya. Aku nggak akan biarkan semua itu terjadi.

"Kamu sudah mencoba bermain-main denganku, Mas. Tunggu pembalasanku!" Aku berucap dalam hati saat berhasil menyetop sebuah taksi yang akan membawaku ke rumah sahabatku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status