Share

Suami Zalim?

Bab 4

Suami Zalim?

Icha menyambut kedatanganku dengan wajah keruh. Mungkin dia sudah menebak kedatanganku kali ini pasti dengan membawa masalah. Pasti terlihat jelas dari penampilanku yang kusut dengan travel bag dan buntalan yang berada di tangan kanan dan kiriku, sementara Keisha melekat erat dalam gendonganku.

"Masuk dulu, Kayla. Kamu butuh tempat untuk membaringkan Keisha," ujar Icha yang lantas menggiringku ke kamar Gian, putranya yang baru berumur setahun.

Aku hanya mengangguk lemah. Icha merebut travel bag dan buntalan kain dari tanganku, yang membuat bebanku seketika lebih ringan. kami melangkah beriringan masuk kamar Giant.

Kamar bayi yang cukup luas. Di samping tempat tidur bayi, ada juga tempat tidur berukuran besar yang biasanya digunakan Icha untuk menyusui bayinya. Sahabatku itu sangat beruntung, karena ASI-nya mengalir cukup lancar, sehingga bisa memberikan ASI eksklusif, berbeda dengan diriku yang harus berurusan dengan susu formula.

Berhubung tidak membawa stok susu dan popok Keisha, akhirnya aku meminta Icha untuk membeli kedua barang keperluan vital bayiku ini lewat layanan pesan antar.

"Tenanglah, Kay. Sebentar lagi barangnya akan sampai," beritahu Icha seraya menggeleng. Prihatin.

Aku sudah menceritakan sekilas soal perceraianku dengan Mas Gilang kepada Icha saat kami berjalan dari ruang depan ke kamar bayi ini.

"Iya, Cha. Makasih banyak ya, udah mau direpotkan sama aku dan Keisha. Padahal kamu juga baru sampai, kan?" sahutku.

Sama sepertiku, Icha pun juga menghadiri reuni itu, meninggalkan Gian yang di urus oleh suaminya. Hanya saja, nasib Gian tentu lebih baik, karena mendapatkan seorang ayah yang penyayang dan telaten mengurusnya. Sekilas aku menatap bayi berumur setahun itu yang tengah lelap dalam tidur di dalam box bayi.

"Iya, Kay. Nggak usah sungkan gitu. Kayak sama orang lain saja." Perempuan muda itu menepuk pundakku, lalu mengusap kepala bayiku.

Keisha tidak rewel, meskipun belum menyusu sama sekali sejak dari rumah. Aku berinisiatif membuka pakaiannya. Beruntung, ada beberapa potong pakaian yang sempat terbawa yang bisa digunakan Keisha untuk pakaian ganti, meskipun kondisinya sudah tidak terlalu baik.

Setelah selesai melepas pakaian bayiku, aku segera membawanya ke dalam kamar mandi.

"Astaga... kasihan sekali kamu, Nak!" pekikku tertahan. Mataku terbelalak melihat bercak kemerahan yang sangat banyak di selangkangan putri mungilku, bahkan sampai ke bokongnya.

Keisha ruam parah, bahkan ada pup di popoknya. Kondisi popoknya pun sudah sangat penuh oleh pipis. Aku sampai tidak menyadarinya, karena waktu itu terbakar emosi melihat perselingkuhan Mas Gilang.

"Maafkan Mama, Nak. Mama nggak menyangka jika papa kamu setega itu. Padahal uang yang digunakan untuk membeli keperluan kamu berasal dari Mama, bukan dari Papa. Kenapa papa kamu sampai tega mengganti susu sama popokmu, bahkan menjual semua perlengkapan kamu?!" Aku menggigit bibirku hingga terasa sakit. Lebih sakit lagi di dalam hatiku melihat bayiku yang terlantar. Mas Gilang bukannya mengurus Keisha dengan baik saat kutinggalkan, malah membawa selingkuhannya ke rumah kami.

Bukan tanpa alasan Keisha harus menggunakan susu dan popok premium. Sebab jika tidak menggunakan susu dan popok merk tertentu, maka Keisha akan menderita ruam parah dan diare berkepanjangan. Terbukti aku melihat pup-nya yang encer, padahal aku hanya meninggalkan Keisha selama tiga hari.

Dan tampaknya, bayi kecilku itu sudah pup berkali-kali di dalam popoknya tanpa diganti oleh mas Gilang. Pantas saja akhirnya Keisha dehidrasi, kekurangan cairan.

Aku menyabuni Keisha dengan hati-hati, terutama di bagian selangkangannya. Setelah memastikan tubuh bayiku bersih, aku mengangkat tubuh mungil itu, menyelimutinya dengan handuk, lalu keluar dari kamar mandi.

"Pesanan kamu belum datang, Kay. Keisha pakai popok punya Gian dulu ya. Nggak papa sedikit kebesaran, karena size-nya di atas Keisha. Daripada nggak pakai popok, kan repot. Takut dia pipis di mana-mana," ucap Icha memberikan sebuah popok kepadaku.

Aku menerimanya sembari mengucapkan terima kasih.

Aku menatap sekilas popok itu, kemudian tersenyum. Merk popok yang biasa dipakai Gian dan Keisha memang sama, hanya saja Gian sudah menggunakan size L, sementara Keisha baru size M.

Tak masalah. Keisha bisa memakainya untuk sementara. aku memakaikan popok dengan cepat, kemudian memakaikannya pakaian. Bayiku terlihat lebih nyaman setelah selesai mandi dan berpakaian, hanya saja seringkali menjulurkan lidah.

Aku tahu Keisha sangat kehausan.

"Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi susu buat kamu datang." Bibirku bergetar sembari mendaratkan ciuman di pipi bayiku.

"Habis berapa tadi, Cha?" tanyaku pada Icha yang nampak tengah sibuk mengutak-atik ponselnya.

"Ah, nggak usah lah, Kay. Kamu itu ya, udah kayak sama siapa aja," tolak Icha. Dia menaruh ponsel di atas ranjang, kemudian segera membawaku ke dalam pelukannya.

"Jangan gitu dong, Cha. Kita kan sama-sama ngerasain bagaimana memenuhi keperluan si kecil," ujarku tersenyum kecut.

Aku meraih tas, mengeluarkan dompet, lalu mengambil empat lembar uang kertas berwarna merah. Aku mengangsurkan kepada Icha. Namun wanita itu mendorong tanganku, lalu menggeleng dengan tegas.

"Aku ikhlas kok bantu kamu. Nggak apa-apa, cuma satu kaleng susu dan satu ball popok. Sedikit itu, Kay." Icha terkekeh.

Aku menggelengkan kepala. Bagi Icha, uang empat ratus ribu rupiah memang sedikit, tapi bagiku itu besar nilainya.

"Kamu ini, Cha. Jadinya aku kan nggak enak," keluhku. Mulutku seketika mengerucut. Diam-diam aku menyesal sudah menyuruh Icha untuk membeli susu dan popok Keisha. Tahu gini, mending aku beli sendiri menggunakan akun milikku.

Tapi aku tak memaksa, takut Icha tersinggung. Akhirnya aku mengembalikan empat lembar uang itu ke dalam dompet, dan dompet itu kembali ku masukkan ke dalam tas.

"Jangan merasa nggak enak, Kay. Kita kan sudah lama temenan."

"Oh, ya, sebaiknya kamu istirahat dulu di sini. Aku mau cek ke muka. Ada suara bel. Sepertinya Om kurir sudah datang mengantarkan pesanan kita." Wanita muda itu segera beranjak dari tempat tidur. Dan masih dengan menggenggam ponselnya, dia melangkah keluar dari kamar.

***

Keisha benar-benar tenang setelah aku memberinya susu yang biasa ia minum. Bayi kecil itu nampak lahap menyusu dari botol dot, kemudian akhirnya kembali tertidur dengan perut yang sedikit menggembung, mungkin lantaran kekenyangan.

Aku menghela nafas lega. Kutatap wajah putriku yang terlihat begitu damai dalam tidurnya, sembari tanganku menggenggam ponsel. Mengingat kondisi Keisha yang masih rawan, aku memutuskan untuk membeli obat anti diare dan salep untuk mengobati ruam popok Keisha. Lagi-lagi melalui layanan pesan antar.

Selesai bertransaksi, aku segera menutup aplikasi itu, lalu menggulir layar, masuk ke beberapa aplikasi tempat aku mengais rezeki selama tiga tahun terakhir ini. Senyumku seketika terbit melihat saldo yang terpampang di sana. Bulan ini penghasilanku mencapai sekitar sepuluh juta rupiah. Aku mengucap syukur dengan suara lirih. Bagi orang kaya, mungkin uang seperti itu tidak ada apa-apanya. Namun bagiku, ini sangat besar, mengingat kini aku hanya sendiri, ah, berdua dengan Keisha.

Tapi beberapa detik kemudian aku menggeleng. Bukankah selama ini aku memang hanya berdua dengan Keisha?

Dulu aku memang memiliki suami, tetapi suamiku sendiri tidak pernah ada untukku. Dia tidak peduli dengan semua pengeluaran di rumah. Selalu aku yang menutupi kekurangannya, bahkan seluruh pengeluaran Keisha full aku yang urus.

Mungkin ini memang jalan yang terbaik, karena dengan begitu semua uang penghasilanku hanya untukku saja dan Keisha, tidak akan ada ceritanya berbagi dengan ibu mertua, adik ipar dan suami. Memang aku tidak pernah memberi mereka uang, tetapi tanpa sadar mereka numpang hidup di rumah, yang hampir semua keperluannya aku tanggung sendiri. Mas Gilang hanya memberi uang lima ratus ribu sebulan, padahal gajinya sebagai manajer di sebuah perusahaan berpuluh kali lipat dari itu.

Suami zalim?

Iya, puluhan detik kemudian aku menyadari, mungkin ini jalan Tuhan yang sudah diatur olehNya agar aku bisa terlepas dari laki-laki seperti itu.

Namun ada sebuah pekerjaan yang harus aku selesaikan, menyangkut soal rumah. Aku harus segera menyelesaikannya dan merebut kembali rumah itu.

Akan tetapi untuk satu dua bulan ke depan, mungkin aku harus menata hidupku dulu. Tidak mungkin aku mengandalkan Icha terus-menerus, apalagi harus menumpang di rumahnya. Aku harus segera mendapatkan tempat tinggal baru.

Aku segera mengecek m-banking dan mendapati saldo rekeningku masih cukup untuk menyewa sebuah rumah. Syukurlah.

Ada baiknya mas Gilang tidak tahu apa pekerjaanku yang sebenarnya, karena dengan begitu dia akan menganggap aku akan terpuruk setelah bercerai darinya. Dan yang lebih membuatku senang, aku berhasil menyelamatkan barang-barang berharga yang kumiliki, walaupun barang-barang bermerek seperti pakaian, tas, sepatu dan aksesoris wanita lainnya tidak bisa kubawa, karena Anggita melarangnya. Namun, aku bisa membawa sebuah kotak perhiasan emas, tiga kartu debit milikku dan ponsel berlogo apel digigit yang keberadaannya memang tidak diketahui oleh Mas Gilang. Lelaki itu memang tidak memperhatikan barang apa saja yang aku miliki.

Sepertinya Tuhan memang begitu baik kepadaku, karena di saat akan berangkat menghadiri acara reuni itu, aku membawa barang-barang berharga itu dan kumasukkan ke dalam travel bag. Itulah kenapa aku bisa membawa barang-barang itu tanpa sepengetahuan Anggi ataupun Mas Gilang.

"Mas, di Gian Parfum atau di cafe, ada lowongan pekerjaan nggak buat Kayla?" tanya Icha kepada sang suami. Saat ini kami bertiga tengah makan malam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status