Share

Apa Alasannya?

“Enggak usah panggil Adik lagi Bang! Sekarang bagimu aku cuma orang asing ‘kan? Yang pendapatnya tidak perlu dihiraukan lagi.”

Tiba-tiba kilatan cahaya sejenak menerangi seisi ruangan, lalu tidak lama suara petir menggelegar tepat di saat Nisa selesai bicara. Aku sedikit tersentak, sedangkan Nisa tak bergeming sedikit pun. Untuk menenangkan diri dari keterkejutan. Kuhembuskan nafas perlahan berkali-kali sembari memberi jeda untuk kami mendinginkan hati dan kepala yang mulai tersulut emosi.

“Apa lagi? Pergi! Cari kebahagiaan Abang sendiri. Untuk apa lagi di sini, bukankah sudah seperti neraka bagimu?”

"Dik, kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Kuraih lagi tangannya yang sudah terlepas dari genggaman memaksanya berada dalam pelukan.

“Untuk apa tetap mempertahankan aku, kalau hatimu telah milik orang lain.”

“Enggak Sayang, Abang enggak akan maksa kalau kamu enggak mau.” Kuusap punggungnya perlahan, mungkin saja hal itu bisa sedikit membuatnya tenang.

“Benar?”

“Iya percaya sama Abang, maaf telah membuatmu terluka.” Tak ada jawaban darinya hannya tangisnya yang kian bertambah intensitasnya.

Bagaimana mungkin aku bisa setega itu, hanya karena nafsu sesaat.

“Kamu bisa bilang kurangku apa, enggak perlu nyari perempuan lain yang lebih menarik. Bukankah aku juga sama-sama perempuan.”

“Enggak ada yang salah dengan kamu.”

“Bohong! Kamu bilang aku kuno, kampungan, apa semua itu bukan sebuah kesalahan?”

“Maaf Sayang, aku kelepasan.”

“Abang tahu istri itu pakaian untuk suaminya dan Abang dengan sengaja menanggalkan pakaianku di depan teman-temanmu." Tatapan itu, aku yakin ada amarah dan kekecewaan yang teramat sangat, tapi tertahan di sana. Apa perbuatanku memang sudah keterlaluan?

“Kenapa diem, seneng aku jadi bahan tertawaan?”

“Bukan begitu. Ah, sudahlah maafin Abang. Janji ini terakhir kalinya."

“Gak peduli kali pertama atau terakhir sebuah aib yang sudah terbuka gak akan mudah di lupakan begitu aja.”

“Aku malu Bang, bahkan untuk sekedar menampakkan diri di depan rekan kerjamu.”

“Maafin Abang." Aku bersimpuh di hadapan Nisa yang terduduk di bibir ranjang

“Maaf untuk semua kesalahan yang Abang lakukan.” Nisa menggeleng pelan. Aku tak mau menyerah kuraih tangannya, lalu meletakkannya di kepalaku.

“Demi Allah Nisa, Abang enggak akan pernah membuka aib rumah tangga kita pada siapa pun, tolong percayalah sekali lagi.” Aku tertunduk di pangkuannya. Sungguh melihatnya terpuruk seperti ini membuatku sadar tindakkan yang kulakukan telah melukainya. Sentuhan lembut Nisa di kepalaku, sungguh menentramkan hati. Apakah dia suah tak marah lagi? Kuberanikan diri menatapnya. Seutas senyum melengkung di bibirnya. Meski air mata masih belum mengering juga. Kuusap ekor matanya perlahan. Menghilangkan jejak basah di pipinya.

“Terima kasih buat kesempatan yang udah Adik kasih buat Abang.” Sekali lagi istriku hanya tersenyum simpul, diusapnya kembali kepalaku dengan lembut. Aku berdiri di depannya memegang kedua pundaknya, tapi dengan cepat Nisa menggeleng. Aku mengerti, lagi-lagi dia menolakku. Sungguh, aku benci penolakan. Aku beringsut dari tempat semula, berjalan menuju kamar mandi. Membasuh wajahku berkali-kali, berharap hal ini mampu mendinginkan amarah yang mulai memuncak kembali. Kugebrak dinding yang berada di sebelah cermin, hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Entah Nisa mendengarnya atau tidak aku tak peduli. Lebih baik melampiaskannya pada benda mati, dari pada langsung padanya.

Kutatap wajahku di cermin. Meletakkan tangan di dagu, lalu beralih ke rahang. Apa yang salah, kurang menarikah? Kenapa dia terus-terusan menolakku? Kamu jahat, Nisa! Membiarkanku kelaparan begini. Kamu bisa bilang apa kurangku. Jangan terus menolakku tanpa sebab. Sepertinya sudah terlalu lama aku berada di dalam toilet hingga terdengar suara pintu di ketuk dari luar.

“Dik, kenapa?” tanyaku sedatar mungkin, Nisa menatap khawatir padaku. Pandangannya langsung tertuju pada kedua lenganku. Kali ini tak mungkin kucari gara-gara lagi dengannya meski emosi ini sulit sekali di kendalikan.

“Jangan melampiaskan amarah pada benda mati, Bang,”

“Kenapa memangnya?

“Agama kita melarangnya.”

“Sejak kapan, aku gak pernah mendengar ada ayat alquran yang melarang tentang hal itu?”

“Ada.”

“Kamu harus menyebutkannya dulu baru Abang percaya,” ucapku yang tak mau kalah. Dia bisa tau hukum seperti itu, lalu apakah dia lupa dengan kewajibannya. Seorang istri yang menolak akan di laknat oleh malaikat sampai suaminya ridho atas perbuatannya. Tentang hal ini apa dia mengingatnya juga? Seharusnya sudah di luar kepala. Kenapa juga dia melakukannya padaku. Jelas-jelas itu perbuatan dosa yang mengundang murka yang Maha Kuasa. Aku tak mau melepasnya kali ini kuraih lengan Nisa dengan cepat menahannya agar tak segera berlalu dari hadapanku.

“Jelaskan dulu, sejak kapan melampiaskan emosi pada benda mati dilarang agama?”

“Sejak kapan Abang tertarik dengan hal semacam ini, sudahlah biarkan kuobati luka di tanganmu dulu.” Perempuan ini bukannya menjawab malah berusaha meraih lenganku.

“Jawab, Dik." Kuangkat tangannya tinggi-tinggi sejajar dengan kepalaku. Agar dia tak lagi meneruskan aktivitasnya mencari luka di tanganku.

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." [QS. Al-Israa': 44] terang Nisa.

“Yang Abang lakukan tadi sudah pasti mengganggu tasbih mereka.” Aku tersenyum kecut ke arahnya.

“Kalau kamu tahu hukum agama dengan jelas dan detail, kenapa terus-terusan menolakku.” Aku berjalan mendekati Nisa tapi wanita itu malah berjalan mundur semakin menjauh dariku.

“A-aku punya alasan, Bang?” ucapnya sedikit tercekat.

“Apa alasannya?” tanyanya.

“Aku belum siap,” jawab Nisa senvari tertunduk. Ah, lagi-lagi belum siap.

“Kenapa belum siap, mau sampai kapan menunggumu siap?”

“Aku belum siap Bang, Maaf.” Dia malah tiba-tiba menangis terisak, membuatku sedikit bingung. Setelah melahirkan secara Caesar kenapa dia jadi begitu emosional lebih sering menangis. Bahkan untuk hal-hal yang tak perlu ditangisi. Seperti kali ini, dia hanya perlu menjawab alasannya tapi kenapa lagi-lagi tangisan yang dia berikan.

“Tunggu dulu?” Kutahan lengannya kian lama semakin erat, takut kalau dia malah pergi lagi.

“Tolong jangan paksa aku."

“Kenapa memangnya, jangan bersikap seolah aku ini penjahat, Nisa? Katakan yang sebenarnya ada apa?” Nisa sungguh membuat emosi yang kutahan susah payah ini malah melonjak naik lagi, Tuhan aku tak mau menyakitinya lagi, tapi kenapa wanita di hadapanku ini selalu saja menguji kesabaranku.

“Katakan Nisa, jangan diam seperti ini?” ucapku.

“Maaf Bang, aku enggak bisa,” Nisa malah menggeleng pelan, lagi ditambah dengan tangisnya yang tergugu.

“Nisa tolong katakan alasannya jangan membuat Mas bingung seperti ini,” ucapku dengan sedikit menekankan nada bicaraku berharap kali ini dia mau mengemukakan alasannya, sudah terlalu lama di gantung tanpa alasan seperti ini. Aku hanya butuh jawaban.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status