“Jangan begitu, Bos! Ingat Nisa baru saja melahirkan. Wajarlah menurut gue. Apalagi si kembar masih kecil-kecil.” Nada bicara Haris terdengar lebih serius.
“Di rumah sudah disediakan asisten rumah tangga masa iya masih kewalahan?”
“Biarkan saja, pasti maulah dimadu secara Nisa kan salihah.” Fredi kali ini memainkan alisnya seolah meminta pembenaran atas pendapatnya. Nisa memang istri yang sempurna. Namun benarkah dia mau jika dipoligami?
“Enggak usah ikut-ikutan si Fredi Bos, kasihan Nisa,” ucap Haris sembari menepuk pelan pundakku.
“Bukan itu saja masalahnya Ris, selera Nisa itu kuno banget anak-anak saja sampai ikutan ketinggalan jaman.”
“Lu itu cuma bosan. Ajak istri jalan-jalan bukan malah cari yang baru,” ucap Haris yang malah menasihatiku.
“Ah enggak asyik lu, Ris.” Fredi pun langsung berlalu dari hadapan kami.
Hari semakin larut anak-anak masih belum juga mau pulang. Selesai makan-makan malah mau lanjut karaoke. Sungguh aku tidak terbiasa berada dalam keramaian seperti ini. Bagiku sepi dan senyap adalah tempat ternyaman untuk tinggal. Keramaian seperti ini hanya mendatangkan kesenangan sesaat. Berbeda dengan kesunyian hadirnya mampu menenangkan jiwa selamanya. Kuputuskan untuk pulang lebih dulu. Tidak enak juga dengan Nisa takut dia menungguku, karena terlalu asyik aku sampai lupa memberinya kabar.Niat hati ingin sedikit berdamai dengan Nisa. Baru saja membuka pintu sudah disambut dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Apa Nisa juga tidak sempat menyalakan lampu. Sudah selarut ini dibiarkan gelap gulita. Kutekan saklar lampu hingga seketika membuat ruangan menjadi terang benderang. Mataku terbelalak menatap keadaan kamar yang sedikit berbeda. Ada tulisan “SELAMAT ULANG TAHUN PAPAH TERSAYANG” terpampang di tembok serta banyak balon berbentuk hati di mana-mana. Rasa penasaranku semakin menjadi. Ketika pandanganku beralih ke tempat tidur. Gegas aku berjalan mendekat. Rupanya tidak cukup sampai situ Nisa juga menaburi seprei dengan kelopak bunga mawar. Di tengah-tengah dia bentuk sedemikian rupa hingga terlihat seperti hati lalu di tengahnya ada sebuah kue ulang tahun. Seketika jantungku mendadak sakit ketika membaca kotak dari kue itu bertuliskan Lavanda Cake. Mungkinkah Nisa ada di sana, jadi dia mendengar semuanya? Aku mengatakan hal buruk tentangnya. Sekarang lihatlah yang dia lakukan. Aku yang bahkan lupa dengan hari ulang tahun sendiri, tapi dia mau susah payah mendekor kamar kami hingga tampak begitu indah. Di tengah rasa bersalah yang terus menjalar ke lubuk hati terdengar suara pintu terbuka.
“Selamat ulang tahun, Sayang.” Dia berkata dengan mata nanar. Perempuan yang beberapa jam yang lalu telah kubuka aibnya di depan teman-temanku lalu kami menertawakannya tanpa merasa berdosa sedikit pun. Sekarang bagaimana bisa dia tengah tersenyum manis, dengan segala persiapan yang cukup merepotkan. Aku merasa begitu tidak tahu diri.
“Abang tahu bagian paling menyakitkan dari kehilangan?” tanya Nisa, sekaligus memulai pembicaraan di antar kami.
“Apa?”
“Dilupakan, meski kenyataannya ragaku selalu disisimu. Dulu kita tidak saling mengenal hingga seiring berjalannya waktu. Aku jadi segalanya buat Abang tapi kemudian rasa itu mulai memudar. Hingga datang hari ini. Ketika hadirku tidak lagi berarti dan bukan lagi jadi prioritasmu. Meski tidak pernah mengungkapkannya secara langsung. Aku tahu hatimu telah lama berpaling. Entah di bagian mana namaku tersimpan atau jangan-jangan sekarang sudah terhapus seutuhnya?" Tidak menyangka dia akan mengatakan kalimat itu. Bukan salahnya lagi juga bukan salahku. Entah salah siapa yang jelas kami tidak bisa menolak ketika rasa bosan itu mulai menyapa. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Mengakuinya atau tidak semua itu berawal dariku. Sengaja menabur api ke dalam rumah tanggaku sendiri. Kejenuhan ini membuatku lupa akan arti cinta sesungguhnya.
“Maafkan Abang, Dik.” Aku berjalan mendekatinya sembari berusaha memeluk tubuh mungil yang berbalut daster kumal yang menjadi gaya khasnya ketika di rumah. Mengabaikan bau pesing yang sekali lagi menyeruak masuk mengganggu Indra penciuman. Aku tetap merengkuhnya, membenamkan tubuh itu ke dalam dada. Untuk beberapa saat, kami larut dalam suasana yang entah. Sampai akhirnya dia berusaha melepaskan diri.
“Kalau aku maafkan. Maukah Abang menautkan hati padaku lagi seperti semula?” tanya Nisa seraya menahan tanganku yang hendak memeluknya kembali.
“Dik.” Aku tidak mau kalah, tetapi lagi-lagi Nisa menahan sekuat tenaga hingga tanganku tidak kuasa memeluknya.
“Aku tahu pasti tidak mungkin ‘kan?” Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa.
“Benar kata Abang aku ini istri yang membosankan dan seleraku itu kampungan, kuno! Sampai anak-anak pun ikut kelihatan kampungan.”
“Siapa yang berani mengatakan seperti itu, Dik?” Mataku kian lekat menatapnya tapi dia malah tertunduk. Aku bisa tahu ada kesedihan yang mendalam di sana. Nisa bersandar pada dinding, sedang tangannya mengepal kuat. Seperti berusaha menahan emosi yang sebentar lagi mungkin akan meledak.
“Abang sendiri yang bilang tadi sore, di depan semua teman-teman.”
“Tadi sore? Jadi Adik ada di situ?” Melihatnya begitu hancur mendadak sekelebat bayangan Fredi dan Haris yang tertawa di Cafe tadi sore melintas tanpa dapat kucegah. Tawa mereka yang nyaring itu. Kenapa justru membuat rasa bersalah kian menjalar ke dalam dada?
“Aku sama anak-anak ada di belakang, melihat saat kami jadi bahan lelucon teman-teman Abang.”
Nisa menatap lekat, tidak ada lagi tangisan hanya badannya yang sedikit bergetar.
“Kenapa enggak bilang, kita mungkin bisa pulang sama-sama?”
“Enggak usah pura-pura, kami sudah dengar semuanya kok tadinya kami mau buat pesta kejutan ulang tahun. Kebetulan di sana ada banyak kue kesukaan Abang. Niatnya mau beli beberapa potong untuk dibawa pulang, tetapi di sana malah melihat orang yang begitu kami hormati menjadikan kami bahan tertawaan,” ujarnya sedikit tercekat. Tatapannya yang memilukan seakan menghipnotisku hingga ikut larut dalam kesakitan yang ia rasakan.
“Harusnya bilang. Abang enggak tahu kalau Adik ada di sana.”
“Untuk apa, kalau dengan kehadiranku cuma bikin malu?”
“Enggak seperti itu.” Aku berusaha meraih tangan Nisa menggenggamnya erat supaya membuatnya percaya padaku.
“Abang mau menikah lagi?” tanya Nisa.
“Kamu mengizinkannya?” Nisa refleks merenggangkan tanganku. Namun, aku tetap mengeratkannya kembali.
“Kasih kesempatan Abang sekali saja.” Aku meletakkan tangannya di depan dadaku. Nisa menatap Nanar, bibirnya mulai bergetar.
“Untuk apa?” tanyanya lirih hampir saja tidak terdengar.
“Izinkan aku menikahi Santi Dik.” Bulir bening yang sedari tadi dia tahan akhirnya mengalir tanpa dapat dicegah. Tidak ada jawaban hanya air matanya yang seakan bicara. Aku tahu bukan hal mudah baginya memberikan izin untuk menikah lagi tapi rasa ini tidak mampu lagi dicegah. Bukankah aku hanya laki-laki normal yang butuh asupan. Hidupku berantakan karena pikiran yang tak karuan. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya hampa bagai mati rasa. Aku bukan tak mencintainya tapi Nisa bahkan dia tak lagi mampu menyediakannya untukku.
“Aku tidak mengizinkannya, Bang.”
“Kenapa? Bukannya Adik sendiri yang bilang dari pada melakukan sesuatu yang diharamkan Tuhan akan lebih baik menghalalkannya.”
“Kalimat itu Abang ucapkan sebelum memintaku untuk jadi istri dan sekarang kenapa mengatakannya lagi sebelum melamar perempuan lain?”
“Dik, Abang tidak bisa menahannya kali ini. Takut nantinya terjerumus dalam dosa. Bukannya Adik pernah bilang tidak akan pernah menentang poligami.” Aku masih ingat dengan jelas dahulu saat kami sering diskusi tentang poligami hal itulah yang Nisa katakan. Bisa kurasakan dari tangannya yang masih dalam genggaman. Tubuh Nisa bergetar hebat. Apakah ini terlalu menyakitkan?
“Aku enggak pernah menentangnya bukan berarti aku harus mengamalkan sunah itu? Aku belum siap. Selamanya aku tidak akan siap.” Nisa mengentakkan tangannya cukup keras membuatnya terlepas dariku.
“Tapi Dik ....”
“Ini demi anak. Kamu yang meminta untuk punya banyak keturunan tapi kamu malah mau menikah lagi hanya karena syahwatmu tak tuntas. Ini hanya soal waktu. Tidak bisakah kamu menunggu sebentar lagi?” Nafasku tercekat semua yang dia katakan benar. Aku telah memilih seseorang untuk masuk ke dalam rumah tanggaku hanya karena alasan nafsu yang tak tersampaikan. Apa bedanya aku dengan pria brengsek.
“Kamu tidak mengerti bagaimana laki-laki, Nisa.”
Sudah tiga bulan dia tak kunjung memberi hakku. Aku mencoba mengerti kalau dia belum suci tapi ini sudah terlalu lama. Apakah melahirkan membuatnya trauma? Kurasa tak mungkin bukankah dia baik-baik saja saat melahirkan putri kembar kami sebelumnya.
“Aku tidak pernah memintamu mengerti perasaan perempuan, tapi yang kamu minta sama saja merenggut kebahagiaan hidupku,” kata Nisa. Kali ini bahunya ikut naik turun seolah larut dalam emosi.
“Abang bisa adil, kalaupun kamu tak mau ....”
“Abang mau bilang laki-laki tidak perlu izin istri untuk berpoligami? Lain kali tidak perlu minta izinku. Lakukan saja semaumu! Sesuai hukum yang kamu tahu.”
“Enggak usah panggil Adik lagi Bang! Sekarang bagimu aku cuma orang asing ‘kan? Yang pendapatnya tidak perlu dihiraukan lagi.”Tiba-tiba kilatan cahaya sejenak menerangi seisi ruangan, lalu tidak lama suara petir menggelegar tepat di saat Nisa selesai bicara. Aku sedikit tersentak, sedangkan Nisa tak bergeming sedikit pun. Untuk menenangkan diri dari keterkejutan. Kuhembuskan nafas perlahan berkali-kali sembari memberi jeda untuk kami mendinginkan hati dan kepala yang mulai tersulut emosi. “Apa lagi? Pergi! Cari kebahagiaan Abang sendiri. Untuk apa lagi di sini, bukankah sudah seperti neraka bagimu?” "Dik, kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Kuraih lagi tangannya yang sudah terlepas dari genggaman memaksanya berada dalam pelukan. “Untuk apa tetap mempertahankan aku, kalau hatimu telah milik orang lain.” “Enggak Sayang, Abang enggak akan maksa kalau kamu enggak mau.” Kuusap punggungnya perlahan, mungk
“Aku laki-laki Nisa, jangan membuatku seperti ini. Kamu menyiksaku tanpa alasan,” lirihku, walau amarah ini sudah naik sampai ke puncak melihatnya serapuh ini, hatiku tak kuasa melampiaskan kekesalan ini padanya.“Maaf sudah bikin Abang menunggu selama ini,” lirih Nisa sambil terisak. Kulepaskan pelukannya dengan kasar. Dia sedikit tersentak ke belakang. Tak tahan rasanya berada dalam satu ruangan dengan wanita yang sudah jadi mahramku, tapi tak bisa kusentuh.“Mau ke mana, Bang?” tanya Nisa ketika aku sudah sampai daun pintu.“Panggil aku kalau kamu sudah siap!” Kututup pintu dengan kerar. Biarkan saja kalau gebrakannya membuat terkejut seisi rumah. Aku tak peduli. Apa kurangku, aku sudah tak menarik lagi bagimu?“Papah?” Kutengok ke arah sumber suara. Ternyata Reina berada tepat di depanku, dipeluknya kaki kananku dengan kedua lengannya.“Kenapa Papah
Kamu ke mana, Nisa? Kenapa selalu membuatku kesal! Ada baiknya kutelepon Nisa saja, tapi dering ponselnya malah terdengar di telinga. Dia bahkan meninggalkan ponselnya di rumah. Bisa-bisanya dia pergi seperti ini. Sial, aku tidak henti-hentinya mengumpat. Segera kucari ponsel Nisa. Kuperiksa saja sekalian barangkali saja dia meninggalkan jejak di sana. Di mana ponselnya aku terus mencari ponsel itu mengikuti nada deringnya. Di lemari? Sejak kapan dia menyembunyikan ponsel di lemari? Aneh. Gegas kuperiksa ponselnya. Pesannya kosong. Tidak ada riwayat chat sama sekali. Hanya ada 5 panggilan tak terjawab dari Indri. Setahuku dia tak pernah punya teman dengan nama Indri. Tidak ada salahnya bukan, kalau aku melakukan panggilan dengan Indri. Mungkin saja dia tahu sesuatu tentang Nisa.“Hallo selamat malam, maaf mengganggu waktunya sebentar,” ucapku. Ini memang sudah larut malam aku tahu ini bukan waktu yang baik untuk menelepon.“Selamat malam juga, maaf in
“Loh Pak, itu obat siapa?” Bi Sumi sedikit terkejut, sampai-sampai bola matanya nyaris saja keluar.“Ini obat Khalid Bi, kayaknya sakit deh. Pantas rewel. Nih kasih aja, saya menemukan obat ini di tumpukan pakaiannya.” Bi sumi segera mengambil obat yang aku sodorkan. Terlihat dia membolak-balikkan lembar demi lembar obat-obatan itu. Wajahnya terlihat bingung hingga sesekali melihat ke arahku, kemudian dia membaca lagi tulisan yang tertera dalam obat-obatan itu. Kali ini dia meraba kening bayiku. Hingga bisa kulihat dia mengerutkan dahinya. Lagi-lagi ekspresi heran dia tunjukkan padaku.“Kenapa, Bi?”“Maaf Pak, ini kayaknya bukan obat Khalid.”“Loh, tahu dari mana? Memangnya dia itu dokter. Kenapa yakin sekali kalau itu bukan obat untuk Khalid?“Saya juga punya anak di rumah. Waktu anak saya sakit pasti obatnya di kasih yang sirop, kalau pun ada yang tablet pasti sudah dalam bentuk serbuk.&
Sepulang kerja penyakit vertigoku sepertinya kambuh lagi, pasti karena semalam tidak bisa tidur, dan tadi pagi lupa sarapan di tambah lagi aku malah mengambil lembur. Aku berpegangan pada dinding, terus berjalan perlahan menuju area parkir.Di sana aku lagi-lagi bertemu dengan Santi, rupanya dia juga lembur. Area parkir sudah sepi hanya tinggal beberapa karyawan yang masih di dalam, wanita itu sepertinya sadar dengan keadaanku yang tak baik-baik saja. Santi dengan sigap menghampiriku, lalu memapah sampai ke mobil.“Saya antar Bapak pulang, ya. Saya bisa nyupir kok.”“Terus motor kamu?” Seingatku dia biasa pergi ke kantor dengan scooter matic merah muda.“Enggak apa-apa saya tunda saja di sini.”“Terus nanti kamu pulangnya bagaimana, saya enggak bisa nganter kamu lagi?”“Banyak ojek Pak, lagian baru jam 8. Belum terlalu malam. Mari biar saya bantu!”Aku hanya mengangguk semba
“Kenapa melihatku seperti itu, Nisa. Mau marah?” tanyaku hati-hati, sakit di kepalaku belum reda sepenuhnya akan bertambah runyam urusannya kalau sampai Nisa marah-marah.“Enggak.” Nisa malah menggeleng pelan suaranya tak kalah lembut dengan Santi, bibirnya bahkan tersenyum lagi. Kali ini terlihat ada ketulusan di dalamnya. Meski tidak bisa di bohongi matanya berkaca-kaca.“Terima kasih sudah membantu suami saya,” ucap Nisa sembari menatap Santi.“Oh iya Mbak, sama-sama.”“Lain kali anda tidak perlu repot-repot membukakan kancing bajunya, masih gadis ‘kan? Perbuatan yang kamu lakukan bisa mengundang syahwat?”“Hmm iya Mbak, saya minta maaf.” Santi langsung tertunduk malu, suaranya tercekat dia terlihat sangat gugup, hingga kulihat berkali-kali jarinya bergerak-gerak tanpa kontrol, gerakan khas seseorang
“Apa syaratnya?” Nisa terdiam entah syarat apa yang akan dia berikan, tapi apakah aku tidak sedang bermimpi dia benar-benar mengizinkanku untuk menikah lagi?“Menikahlah bulan depan, jangan sekarang!” kata Nisa setelah itu dia meninggalkanku begitu saja, tanpa penjelasan apa pun lagi. Hanya itu syarat yang dia ajukan. Itu artinya tinggal 20 hari lagi. Aku menghentikan langkahnya yang semakin menjauh.“Kamu mengikhlaskanku menikah lagi?”“Iya.”“Apa alasannya?”“Apa itu perlu dijelaskan, bukannya Abang yang terus memaksaku buat setuju?” Nisa melepaskan lenganku dengan perlahan.“Khalid nangis, aku ke atas duluan. Telepon saja calon istri Abang, pastikan dia bersedia.” Nisa mengusap pundakku dengan lembut. Senyumnya lagi-lagi mengembang sempurna. Aku tahu itu hanya senyum palsu,
“Belum tentu juga Santi mau jadi istri ke dua.” ucap istriku.“Siapa bilang?” Tentu saja dia mau kulihat dia sepertinya menyukaiku.“Kalau Santi malah menyuruh Abang menceraikanku. Apa yang bakal Abang lakukan?” Pertanyaan macam apa ini. Meski rasa cintaku pada Nisa kian memudar, tapi tak sampai hati kalau harus berpisah dengannya, terlebih anak-anakku.“Ah sudahlah enggak usah dibahas. Kemarin Abang menemukan obat di tumpukan baju Khalid, itu punya siapa?”“Obatku, Bang.”“Oh.”“Cuma Oh?”“Syukurlah Abang pikir Khalid yang sakit.”“Abang enggak mau tanya aku sakit apa?”“Bukannya kamu memang sering minum obat itu sejak melahirkan?” Nisa malah tersenyum, tapi di sana ada garis kecewa yang terukir jelas. Apa lagi ini, kenapa dia jadi begitu emosional?“Iya.”“Memangnya kam